Senin, 06 Agustus 2012

Skripsi tentang: KRISTOLOGI; Kajian Dogmatis terhadap Pemahaman Teologis Frans Donald tentang Yesus Kristus.





 Penulis: Chrisvil Mawuntu, S. Teologi
 Ini adalah karya ilmiah penulis sebagai salah satu syarat menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia di Tomohon.
Untuk informasi hubungi: maivanmawuntu@yahoo.co.id

PENDAHULUAN
                                                                                                           
A.    LATAR PEMIKIRAN DAN ALASAN PEMILIHAN JUDUL
            “Yesus Kristus adalah adalah Jagoan atau Pahlawan saya”. Ini adalah pernyataan dan pengakuan penulis sewaktu kecil. Pernyataan dan pengakuan ini muncul setelah mendengar cerita-cerita dari guru sekolah minggu, orang tua yang menceritakan dan mengajarkan kehebatan dari Yesus Kristus yang menyembuhkan orang sakit, mengusir roh jahat, menyeberangi laut dan sebagainya. Seiring bertambahnya usia, pemahaman penulis tentang hal ini bertambah. Dari pelajaran katekisasi anggota sidi jemaat yang diikuti,  penulis mandapati bahwa  Yesus Kristus bukan hanya sekedar Jagoan atau Pahlawan, tapi Ia adalah Allah yang menjelma menjadi manusia untuk menyelamatkan dunia. Ia adalah Tuhan dan Juruselamat. Karena hal inilah penulis sangat tertarik untuk belajar tentang Yesus Kristus. Itu sebabnya, saat penulis kuliah di Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia di Tomohon (UKIT), Kristologi menjadi mata kuliah favorit.
            Selama kuliah, penulis mendapatkan banyak pembelajaran secara menyeluruh dan mendalam tentang Yesus Kristus. Dari pembelajaran yang ada, topik yang sangat menarik bagi penulis adalah  topik yang membahas bahwa Yesus Kristus bukanlah Allah. Yang penulis ketahui sampai sekarang, pemahaman ini berbeda dengan ajaran Gereja. Topik ini semakin menarik karena ternyata pemahaman ini sudah ada di Indonesia, dan justru dikemukakan oleh orang Kristen sendiri. Misalnya saja pemahaman dari Frans Donald.[1] Ini menjadi perhatian penulis, karena ia menulis tiga buku yang intinya mengemukakan Yesus Kristus bukan Allah. Buku-buku tersebut ialah “Kasus Besar yang Keliru: ternyata Yesus Malaikat, Allah dalam Alkitab & Al Qur’an, Sesembahan yang sama atau berbeda dan Menjawab Doktrin Tritunggal tentang Ke-Allah-an Yesus. Buku “Kasus Besar yang Keliru, ternyata Yesus Malaikat mulai terbit tahun 2004 dan sampai sekarang ini telah direvisi.[2] Dalam edisi lama ada sedikit topik mengulas tentang kekeliruan Trinitas, tapi dalam edisi revisi hal tersebut tidak ada, sebab telah dituangkan (dialihkan) ke buku yang berjudul Menjawab Doktrin Tritunggal tentang Ke-Allah-an Yesus sejak Agustus 2007.[3] Ia mengemukakan bahwa sejatinya ketiga  bukunya ini merupakan semacam trilogi dan sangat berkaitan erat satu dengan lainnya.[4] Tulisan-tulisannya lahir dari pengaruh komunitas Kristen Tauhid (Christian Unitarian)[5].
            Ada fakta yang menarik tentang tulisan Frans Donald ini. Di tokoh buku Gramedia[6], buku yang berjudul “Allah dalam Alkitab & Al Qur’an, Sesembahan yang sama atau berbeda” menjadi buku best seller.[7] Ini berarti di Sulawesi Utara ada banyak orang yang sudah membaca buku ini dan mungkin telah mempengaruhi iman mereka kepada Yesus Kristus.
            Menanggapi hal ini penulis hendak melakukan penelitian lebih lanjut terhadap pemahaman tentang Yesus adalah Malaikat Mikhael. Dalam kaitannya dengan studi dogmatika, yaitu supaya bisa fokus dalam penelitian, maka penulis memfokuskan pada pemahaman “Yesus adalah Malaikat Mikhael”, seperti pemahaman Frans Donald.  Pemahaman Frans Donald ini, terdapat dalam bukunya Kasus Besar yang Keliru: ternyata Yesus Malaikat. Dari hal ini dapat dilihat ternyata studi dogmatika tentang Kristologi tetap relevan dalam konteks sekarang.
            Penulis ingin mempelajari dan memberikan tanggapan kritis terhadap pemahaman “Yesus adalah Malaikat Mikhael”, seperti pemahaman teologis Frans Donald. Jadi bukan dalam maksud saling menyalahkan. Untuk memberikan tanggapan kritis atau kajian dogmatis terhadap pemahaman Frans Donald ini, maka akan dilihat juga berdasarkan perbandingan ataupun refleksi dari pemahaman Kristologi Abad Mula-mula sampai Konsili Chalcedon dan Yesus Kristus dalam konteks Indonesia dalam Dokumen Keesaan Gereja (DKG) oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Hal ini diharapkan bisa memberikan bahan perbandingan terhadap buku-buku kontroversial tentang Yesus Kristus yang beredar di masyarakat dan memberikan kontribusi kepada jemaat.
            Dari latar pemikiran di atas, penulis memilih judul dalam tulisan ini: KRISTOLOGI; Kajian Dogmatis terhadap Pemahaman Teologis Frans Donald tentang Yesus Kristus.

B.                 IDENTIFIKASI MASALAH
            Dari pemikiran dan alasan pemilihan judul di atas, maka penulis mengidentifikasikan masalah-masalah yang ada:
Ø  Adanya pemahaman  yang mengemukakan bahwa Yesus Kristus bukanlah Allah
Ø  Pemahaman  Frans Donald tentang Yesus adalah Malaikat Mikhael
Ø  Adanya  aliran Kristen Tauhid yang berpikir bebas tentang ajaran-ajaran Gereja.
Ø  Keragu-raguan terhadap dogma Trinitas.
Ø  Allah dalam Alkitab dan Allah dalam Al Qur’an adalah Allah yang sama.

C.    PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
Pembatasan Masalah:
            Dari identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi masalah pada pemahaman Frans Donald yang mengemukakan bahwa Yesus adalah Malaikat Mikhael. 
Perumusan Masalah:
            Dari pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: APAKAH YESUS ADALAH MALAIKAT MIKHAEL?

D.    TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan Penelitian:
Ø  Untuk mengetahui pemahaman teologis Frans Donald bahwa Yesus adalah Malaikat Mikhael,
Ø  Untuk menelusuri tentang Yesus Historis, pemikiran tentang Yesus Kristus adalah Allah dalam Kristologi Abad Mula-mula sampai Konsili Chalcedon,  Yesus Kristus di tengah konteks Indonesia dalam DKG; tafsiran Yesaya 63:9; Daniel 9:25; Maleakhi 3:1; I Tesalonika 4:16; Ibrani 1:5, 9 dan Wahyu 12:7-9.
Ø  Untuk memberikan tanggapan kritis terhadap pandangan Frans Donald yang mengemukakan tentang Yesus adalah  Malaikat Mikhael.
Manfaat Penelitian
Ø  Memberikan sumbangan pemikiran tentang Yesus Kristus kepada jemaat dalam rangka menghadapi pemikiran yang mengemukakan bahwa Yesus Kristus bukanlah Allah.
Ø  Memberikan sumbangan pemahaman tentang Kristologi bagi pendidikan Teologi, khususnya studi dogmatika dalam upaya berteologi.
Ø  Memberikan pemahaman kepada penulis dalam usaha berteologi dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat.

E.     PENDEKATAN STUDI  DAN METODE PENELITIAN
            Dalam tulisan ini penulis melakukan kajian dogmatis berupa studi literatur dengan menggunakan pendekatan studi kualitatif. Penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu suatu metode dalam memilih status kelompok manusia, suatu objek, suatu sistem pemikiran/ suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif  untuk membuat deskripsi/ gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.[8]
            Penulis mengumpulkan data lewat alat penelitian: observasi, wawancara dan studi dokumen dalam mendapatkan data yang perlu. Penulis melakukan observasi langsung dengan cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut.[9] Wawancara yang dilakukan di sini ialah wawancara tidak terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang hanya memuat garis besar yang akan ditanyakan.[10] Penulis melakukan wawancara kepada Frans Donald sendiri untuk mendapatkan data-data yang diperlukan, karena ialah yang menulis bukunya dan paling tahu tentang tulisannya. Wawancara ini dilakukan melalui sms dan email karena jarak yang jauh. Dokumen yang dimaksud di sini adalah mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkrip, surat kabar,  majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dsb.[11] Dokumen dalam tulisan ini diambil dari internet.

F.     SISTEMATIKA PENULISAN
Pendahuluan   : Bagian ini terdiri dari latar pemikiran dan alasan pemilihan judul, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan  masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pendekatan studi dan metode penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB I               : “Tentang Frans Donald”, dan Pemahaman Frans Donald tentang Yesus adalah Malaikat Mikhael berdasarkan bukunya yang berjudul “KASUS BESAR YANG KELIRU: Ternyata Yesus Malaikat”.
BAB II             : Data teori tentang Yesus Historis, Kristologi Abad Mula-mula sampai Konsili Chalcedon, Yesus Kristus di tengah konteks Indonesia dalam DKG dan tafsiran Yesaya 63:9; Daniel 9:25; Maleakhi 3:1; I Tesalonika 4:16; Ibrani 1:3-5, 9 dan Wahyu 12:7-9.
BAB III            : Analisis dan refleksi teologis
PENUTUP      : Kesimpulan dan saran.

                                                                    BAB I :                                          
FRANS DONALD DAN
PEMAHAMANNYA TENTANG YESUS KRISTUS

A.  TENTANG FRANS DONALD
            Frans Donald lahir pada tanggal 5 Oktober 1977 di Jember, ia memiliki tiga saudara, yaitu Franz Prima, Raymond Johannes, dan Dhietz Radietya. Frans Donald pernah berstudi di SMA Negeri 1 Jember, dan kuliah di UNISA (Universitas Semesta Alam). Sekarang ia telah menikah. Ia juga menjadi Bos di Borobudur Indonesia Publishing. Dalam Facebooknya, ia mengemukakan status agamanya sebagai berikut: BAJU: KRISTEN UNITARIAN (KRISTEN YANG BUKAN PENGANUT DOGMA TRINITAS).[12]

            Setiap buku tulisan Frans Donald (dalam catatan tentang penulis), dikemukakan bahwa ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga Katolik yang sederhana. Sepeninggal ayahnya, karena kerinduan akan kebenaran ia telah melakukan passing over  ke dalam berbagai denominasi Protestan (Pantekosta/Kharismatik, Bethani, Saksi Yehovah, Adventis, dll), Hindu Dharma dan Islam. Hal ini dilatarbelakangi karena Frans Donald suka belajar dari berbagai denominasi Gereja dan Agama. Ia juga suka yang namanya "kebebasan berpikir”.[13] Kebebasan beripikir yang dimaksudnya ialah memikirkan secara bebas dogma-dogma yang ada sekarang ini. Latar belakang ia menyukai kebebasan berpikir karena ia "muak"[14] dengan tembok-tembok agamis, terutama doktrin-doktrin para agama monoteis (Yahudi-Kristen-Islam) bahkan setelah ia mempelajari lebih jauh tentang hal ini, ia menyimpulkan  bahwa doktrin-doktrin agama selama ini ternyata mengandung racun-racun dan jebakan.[15]  Inilah salah satu hal yang menurut Frans Donald menyebabkan terjadinya konflik antar agama di Indonesia, khususnya agama Islam dan Kristen.

             Ia menulis tiga buku yang kontroversial, yaitu “Kasus Besar yang Keliru: ternyata Yesus Malaikat, Allah dalam Alkitab & Al Qur’an, Sesembahan yang sama atau berbeda[16] dan Menjawab Doktrin Tritunggal tentang Ke-Allah-an Yesus. Dalam bukunya “Kasus Besar yang Keliru: ternyata Yesus Malaikat Frans Donald memberikan pandangan teologisnya sekaligus pengakuan imannya bahwa ternyata Yesus itu Malaikat Mikhael, ini dikemukakannya setelah menggumuli imanya selama ini dan mengkajinya berdasarkan teori-teori yang ada. Dalam bukunya “Allah dalam Alkitab & Al Qur’an, Sesembahan yang sama atau berbeda ia mengemukakan bahwa ternyata Allah orang Islam dan Kristen adalah Allah yang sama, dan oleh sebab itu Yesus Kristus bukanlah Allah sejati, tapi hanya nabi, Mesias, “Anak Allah”. Dalam bukunya Menjawab Doktrin Tritunggal tentang Ke-Allah-an Yesus” ia memberikan pandangannya (melalui tafsiran-tafsirannya tentang ayat-ayat Alkitab) bahwa konsep Trinitas itu bukanlah produk Alkitab tapi lebih pada produk dari konsili-konsili dalam kurun waktu tahun 300-400. Ia mengemukakan bahwa sejatinya ketiga bukunya ini merupakan semacam trilogi dan sangat berkaitan erat satu dengan lainnya.[17]       

            Alasan Frans Donald menulis buku-bukunya antara lain adalah  untuk meruntuhkan tembok dogma pemisah agama yang selama ribuan tahun telah menjulang tinggi, mengakar dalam, berlumut tebal, angker dan haus darah, dan juga agar supaya orang Islam benar-benar taqwa dan berserah kepada Allah dengan segenap hati, bukan dalam arti hanya beragama Islam dalam KTP saja, begitu pula orang Kristen benar-benar menghormati dan taat pada Alkitab lebih dari pada segala dogma hasil kesepakatan manusia yang bisa berubah-ubah dan bisa salah di setiap zaman[18] (alasan dan tujuan penulisan buku Allah dalam Alkitab dan Al Qur’an) dan juga alasannya ialah sebagai ekspresi iman[19] (alasan penulisan buku Kasus Besar yang Keliru: Ternyata Yesus Malaikat).
            Akibat tulisan-tulisan lewat buku-buku dari Frans Donald ini, maka muncul juga reaksi-reaksi dari masyarakat dan para teolog di Indonesia. Reaksi masyarakat tentang buku-buku Frans Donald ini ada yang positif dan negatif. Yang positif mengatakan bahwa: “Puji Tuhan, ini karya yang sungguh luar biasa”, “Gila! Saya ini atheis, tapi buku ini (buku Frans Donald) benar-benar membuat saya merasa gila!.... saya rasa setiap orang yang mengaku beragama, apalagi yang namanya Islam dan Kristen, Ustad dan Pendeta wajib baca buku ini”, “Frans Donald seperti nabi di zaman ini”, “setiap dekade selalu muncul buku yang mempengaruhi peradaban manusia menjadi lebih baik. Buku ini adalah salah satunya!”, “buku anda (buku Frans Donald) sangat bagus sekali, saya sudah selesai membacanya dan sangat senang sekali, sendainya semua orang punya pemikiran seperti anda”, “bersyukur setelah membaca buku anda (buku Frans Donald), semoga pak Frans Donald semakin dipakai Tuhan”.[20]
            Dan ada tanggapan atau reaksi negatif yang mengatakan bahwa: “Frans Donald, “guoblok sekali!”, “Frans Donald kamu salah ajaran, kamu bidat, sesat, ilegal!”[21]  Dan ada juga tanggapan yang lebih ilmiah yang dikemukakan oleh para teolog di Indonesia seperti Pdt Esra Alfred Soru dan kawan-kawan yang menulis di Koran Timor Express 10 hari lebih bahwa Frans Donald penipu ulung, sesat, dll. Juga Pendeta Budi Asali, Bambang Noorsena yang menulis 2 buku menyerang Unitarian.[22] Tapi tanggapan keluarga terhadap Frans Donald ini sangat positif. Kedua orangtuanya (almarhum) bersikap liberal terhadap iman anak-anak mereka karena sudah dianggap dewasa, walaupun dalam hal ini baik kedua orang tua Frans Donald dan keluarganya tidak ikut bergabung dengan Frans Donald karena memiliki pandangan dan kebebasan tersendiri terhadap iman mereka.[23]
            Tulisan-tulisannya ini lahir tidak lepas dari pengaruh komunitas Kristen Tauhid (Christian Unitarian). Kristen Tauhid adalah sebuah aliran atau kelompok yang berbeda dengan aliran Kekristenan pada umumnya. Perbedaan yang paling mendasar antara Kristen Tauhid dan aliran Nasrani lainnya adalah ketidakpercayaan Kristen Tauhid terhadap doktrin Trinitas. Berdasarkan kesaksian salah seorang yang pernah mengikuti kebaktian Kristen Tauhid, dapat diketahui beberapa hal menarik yang menjadi ciri khas Kristen Tauhid. Seperti kebanyakan penganut Islam, dalam kebaktian mereka (Kristen Tauhid) juga mengucapkan sejenis sahadat. Mereka menyebutnya dengan sahadat kristiani. Mereka mengucapkan lailahailallah Isarukhallah. “Yang merupakan shahadat Kristiani, artinya tiada Tuhan selain Allah, Isa adalah roh Allah”. Aliran Kristen Tauhid telah disahkan oleh Bimas Kristen Departeman Agama RI pada tahun 2000. Di Indonesia aliran kristen Tauhid membuat gebrakan dan serangan kepada aliran-aliran besar (Katolik, Protestan, dan semua yg mengakui doktrin Trinitas). Kristen Tauhid tergabung dalam persatuan Unitarian Internasional (yang sering memakai lambang yg mirip dengan lampu teplok minyak).[24] Sampai saat ini Frans Donald ‘berlabuh’di kominitas religius Kristen Tauhid (Christian Unitarian) yang ia nilai terbuka dan tidak dogmatis, dan memberi kebebasan kepada setiap orang untuk merumuskan iman berdasarkan hati nurani dan akal sehatnya. Ia tertarik dengan hal ini karena dalam komunitas Kristen Tauhid sering melakukan diskusi terbuka tentang dogma tertentu, berprinsip inklusif, “memiliki pengatahuan Alkitabiah yang cukup baik”. Frans Donald mengenal Kristen Tauhid dari temannya, yaitu Ibu Gian, kemudian ia sendiri yang mulai mengunjungi Ibu Gian untuk mempelajari lebih dalam mengenai komunitas ini. [25]
            Frand Donald juga disebut sebagai pemikir bebas yang meyakini bahwa umat Islam dan Kristen adalah sama-sama anggota keluarga besar ciptaan Allah. Kepedualiannya adalah agar kedua umat agama tersebut tidak berpikir sempit dalam kotak-kotak dogma doktrin hasil karya manusia, tetapi kembali pada hakikat ajaran kitab-kitab suci dan menghormati kebebasan berpikir.[26]
                                            
B.  PEMAHAMAN FRANS DONALD TENTANG YESUS KRISTUS
            Frans Donald mengawali pemahamannya tentang Yesus adalah Malaikat Mikhael dalam bukunya ini dengan memberikan pengalaman pribadinya tentang nama Yesus Kristus. Ia mengemukakan bahwa pengenalan terhadap nama itu sempat banyak memakan pikiran dan bahkan penderitaan konflik batin yang cukup lama menggerogoti pikirannya. Beberapa kali dalam pandangan-pandangannya yang terdahulu tentang Yesus ternyata belumlah tepat dan memuaskan jiwanya, masih ada ganjalan. Dulu ketika ia masih memegang doktrin Katoliknya, ia sempat diyakinkan bahwa Yesus itu adalah Allah sejati yang menjelma menjadi manusia. Hampir setiap pagi sebelum masuk sekolah, ia selalu berlutut di depat altar Gereja Katolik Santo Yosep Jember, dan mulai berdoa kepada Allah yang saat itu ia kenal sebagai tiga pribadi yang satu dalam hakikat, yang salah satu pribadinya bernama Yesus Kristus.  Allah Bapa,  Allah Yesus Kristus (Allah Anak),  dan Allah Roh Kudus.[27]
            Frans Donald berdoa kepada tiga pribadi Allah yang katanya satu dalam hakikat. Itulah masa kanak-kanaknya. Kemudian setelah beberapa belas tahun berlalu, ketika kepalanya mulai merasakan jatuh cinta sama yang namanya kebebasan berpikir, terbang melayang menembus batas dogma, dan mulai melintasi dogma-dogma Islam, ia pun mulai mengkaji dari dogma-dogma yang diajarkan oleh mayoritas ulama Islam, ia diberitahu bahwa Yesus bukanlah Allah sejati, Yesus adalah Nabi yang sama hakikatnya seperti Musa dan Muhamad, 100 % manusia, tidak lebih. Dan saat ini pandangannya telah berubah. Ia mengaku sebagai seorang Kristen yang tidak percaya lagi bahwa Yesus itu adalah hakikatnya Allah sejati seperti dogma Trintunggal. Baginya, doktrin Trintunggal jelas terlalu mengada-ada. Tetapi ia juga tidak percaya bahwa Yesus hanyalah nabi yang berasal dari manusia biasa seperti yang diajarkan oleh banyak ulama Islam.[28]
            Frans Donald melanjutkan bahwa dari perkataan Yesus dalam Alkitab yang menyatakan bahwa  “hanya Bapa saja satu-satunya Allah yang benar dan Yesus adalah utusan Allah” (Yohanes 17:3),  jelas tidak bisa disangkal bahwa Yesus bukanlah Allah sejati. Sedangkan dari kesaksian Al Qur’an  yang menyatakan bahwa “Isa Almasih adalah seorang yang terkemuka di akhirat” (Ali Imran 45) menurut Frans Donald akan terlalu tergesa jika ditafsirkan bahwa Isa Almasih hanyalah manusia biasa. Jika Yesus seorang manusia biasa, tentu dia memang bisa menjadi “terkemuka di dunia”, tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah seorang manusia bisa pula “terkemuka di akhirat”? Dalam pandangan Frans Donald, setidaknya sampai bukunya ini ditulis, Yesus bukanlah Allah sejati, tetapi juga bukan manusia biasa. Dari berbagai penyelidikan dari banyak tulisan-tulisan, baik karya penulis Kristen maupun Islam, iapun mulai menelaah dan menemukan bahwa sosok Yesus yang berbeda dari Yesus yang ia kenal dari versi dogma, ataupun Yesus yang ia kenal dari versi tradisi Kristen.[29]
            Menurut Frans Donald, nama Yesus Kristus terdiri dari dua kata: Yesus (Arab: Isa) dan Kristus (Arab: Almasih). Yesus disalin dari bahasa Yunani ‘Iesous’, yang disalin dari bahasa Ibrani ‘Yehoshua’, yang mengandung arti “Hua (Allah) menyelamatkan”. Allah menyelamatkan umat manusia melalui Yesus, itu sebabnya dia juga yang disebut sebagai: Sang Juruselamat dunia. Yehoshua yang artinya “Allah menyelamatkan” bukanlah berarti bahwa Yesus itu adalah suatu makhluk hasil inkarnasi Allah itu sendiri, melainkan Ia adalah utusan Allah, yang datang sebagai  “agen penyelamat” mewakili Allah Sang Tokoh Penyelamat Sejati. Dalam hal keselamatan manusia. Allah adalah “Tokoh utama”, sedangkan para nabi atau hakim-hakim adalah “tokoh pelaksana” atau agen alias utusan. Dalam Perjanjian Lama juga ada dua orang yang bernama Yehosua. Dua orang itu adalah agen (utusan) Allah untuk menyelamatkan/menolong umat-Nya. Yang pertama adalah Yosus bin nun, pengganti Musa, yang dipakai Allah untuk menyelamatkan dan memimpin bani Israel memasuki tanah Kanaan (Yosua 1:1-2). Yang kedua adalah Yosua bin Yosadak, seorang Imam Besar yang bersama Zerubabel mengembalikan bani Israel dari pembuangan di Babel (Zakharia 3:1, 8). [30]
            Jadi, dalam kitab Perjanjian Lama, dengan perantaraan kedua orang bernama Yosua itu, Allah menyelamatkan umatNya dan menghantarkan mereka untuk sama-sama masuk ke tanah perjanjian, ke tanah Kanaan. Yosua - si agen penyelamat, menyelamatkan umat Allah dari perbudakan di Mesir, sedangkan Yosus yang lain – si agen penyelamat juga menyelamatkan umat Allah dari pembuangan di Babel. Demikian juga dengan “Yosua anak Maria” alias Yesus, sebagaimana dua Yosua yang lain, Dia juga diutus oleh Allah sebagai “agen penyelamat” bagi umat manusia. Disebut juga Sang Juruselamat. Dia adalah seorang “Kristus”. Kristus disalin dari bahasa Yunani “christos”, artinya “diurapi”, terjemahan dari bahasa Ibrani “maseh” (Arab: Almasih). Yesus Kristus, makhluk yang dipilih dan diurapi oleh Allah. Nama ‘Kristus’ ini menunjukkan bahwa Ia adalah utusan istimewa yang diperkenankan oleh Allah. Yang dijadikan Pemimpin dan Juruselamat dan Kristus bagi dunia. [31]
            Frans Donald menyimpulkan bagian ini dengan suatu pernyataan: Nama Yesus Kristus, Almasih, ini sangat penting untuk dipahami dengan benar dan jelas. Nama ini merupakan kunci rahmat ilahi bagi dunia, sekaligus juga nama ini telah mengundang kontroversi hebat dalam sejarah peradaban manusia. Siapa Yesus Kristus telah menimbulkan pertentangan besar di kalangan Yahudi, kemudian menjadi pertikaian di kalangan kaum Yahudi, kemudian menjadi pertikaian di kalangan umat Kristen sendiri dan menjadi konflik besar antara umat Kristen dan Islam. Sebuah kejujuran nurani yang berdasar kitab-kitab suci perlu dinyatakan untuk sunguh-sungguh memahami dan membuktikan siapakah Yesus Kristus itu sebenarnya.[32]
            Selanjutnya Frans Donald mengemukakan bahwa karena begitu besar kasih Allah pada manusia, maka Allah mengutus Yesus supaya manusia bisa mendapat hikmat pengetahuan untuk memperoleh hidup kekal dan tidak binasa (Yoh 3:16). Yesus menunjukkan suatu kunci untuk mendapatkan hidup yang kekal dalam Yohanes 17:3. Menurut Yesus, kunci untuk hidup kekal cuma dua. Yang pertama kenal satu-satunya Allah yang benar.  Kedua, kenal Yesus utusan Allah. Untuk mengenal Allah dengan benar, manusia harus, tidak bisa tidak, wajib mengenal Yesus! Mengapa harus kenal Yesus? Karena Yesuslah satu-satunya jalan dan pengantara untuk manusia bisa mencapai Allah (bnd. Yoh 14:6, II Tim 2:5, I Yoh 2:1b, Ibr 7:25). Yesus adalah perantara, mediator bagi manusia untuk mengenal Allah. Yesus memperkenalkan satu-satunya Allah yang benar, yaitu Allah yang mengutus Dia. Allah itulah yang dia sebut sebagai “Bapa”. Allah yang Esa, Allah yang tauhid bukan Allah yang tritunggal. Allah yan di sorga, yang mengutus Yesus ke bumi, bukan Allah yang menjelma menjadi manusia.[33]
            Frans Donald menggunakan ilustrasi untuk menjelaskan pemahamannya tentang istilah Anak Allah: “Selepas Sekolah Menengah, Frans Donald pernah tinggal dan mencari nafkah, mengembara, di Pulau Bali selama  delapan tahun lebih. Di sana, di pesisir pantai Kuta yang terkenal indah yang disebut surga dunia itu, di situ banyak orang tua dan muda yang disebut sebagai “anak pantai” atau versi internasionalnya “beach boy”. Banyak orang bisa memahami bahwa istilah “anak pantai tentu bukanlah berarti hurufiah. Pantai Sanur kawin dengan Pantai Nusa Dua kemudian melahirkan anak bernama Pantai Kuta. Jelas bukan begitu. Istilah “anak pantai” memiliki arti orang-orang yang tinggal dan hidup mencari nafkah dekat atau di sekitar daerah pantai.  Istilah anak pantai menekankan kehidupan orang-orang di Pulau Bali yang sangat dekat dengan pantai. Tanpa pemahaman yang jelas tentang konteks istilah “anak pantai” di Pulau Bali, orang-orang di daerah luar Bali lainnya bisa jadi salah paham atau bertanya-tanya “apa sih anak pantai itu?” Bisa jadi salah sangka “anak pantai’ dikira sebuah pantai yang kecil imut-imut, atau, “anak pantai” disangka sebagai seorang bocah yang oleh ibunya dilahirkan dipinggir pantai, atau, mungkin pemahaman-pemahaman yang lain yang sesuai dengan pola pikir daerahnya masing-masing. Yang jelas istilah “anak pantai” versi Bali tidak bisa sembarang disamakan dengan versi daerah yang lainnya. Bisa saja salah kaprah alias salah paham! Demikian juga tentang istilah “Anak Allah” yang ada tertulis di kitab Injil.[34]
            Menurut Frans Donald Bangsa Indonesia memiliki sense of language (rasa bahasa) yang berbeda dari bahasa asli Alkitab. Karena Injil diturunkan melalui bangsa Yahudi (Israel), maka harus dipahamai makna “Anak Allah” bersumber pengetahuan dari perbendaharaan kata, pemahaman, pola pikir, sense of language bangsa Yahudi juga. Pengertian “Anak Allah” dalam Taurat dan Injil, bukanlah anak secara jasmani, melainkan secara rohani. Dalam Yohanes 1:12-13 secara tegas dan terang benderang ayat ini mengatakan bahwa pengertian “Anak Allah” tidak bersifat jasmani. Pembawa damai layak disebut Anak Allah (Mat 5:9, Luk 6:35, Rm 8:14). Yesus datang untuk menjadi pendamai antara manusia dengan Allah, Yesus mendamaikan dosa manusia (Ibr 2:17), maka Ia layak disebut sebagai Anak Allah. Semua orang yang dipimpin Roh Allah adalah anak Allah maka Yesus yang dipimpin oleh Roh Allah juga sudah pasti disebut Anak Allah.[35]
            Frans Donald menambahkan bahwa selain disebut sebagai Anak Allah, banyak orang Kristen yang telah memahami Yesus sebagai Allah Anak alias Allah sejati. Istilah Yesus Anak Allah terkadang sering dipelintir menjadi Yesus Allah Anak, dua istilah yang sepintas hampir sama tetapi jelas sangat berbeda.  Anak Allah tentu tidak sama dengan Allah Anak. Istilah Allah Anak muncul dari hasil tradisi dogma Trintunggal yang mengajarkan adanya tiga pribadi Allah: Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Tak dapat dipungkiri, bahwa Yesus memang bisa saja disebut sebagai suatu “Allah” (elohym/theos), tetapi ayat tersebut tidaklah serta merta harus dipahami Yesus sebagai Allah sejati, karena jelas terbukti bahwa kata “allah/elohim” di Alkitab bukan hanya menunjuk pada Allah sejati. Misalnya Mazmur 82:6 makhluk-makhluk sorgawai atau malaikat-malaikat juga disebut sebagai “Allah”, di Keluaran 7:1 Musa juga disebut sebagai “Allah”. Makhluk sorgawi atau malaikat, Musa serta Yesus, mereka semua adalah suatu “Allah”, yang artinya kiasan, pembawa atau pengemban Firman Allah, bukan Allah sejati. Perhatikan kata-kata Yesus: “kepada siapa firman itu disampaikan, (pembawa, penerima, atau pengemban firman) boleh disebut sebagai “allah” (Yohanes 10:35). Memang, baik di sorga maupun di bumi, ada banyak apa yang disebut sebaai “allah” (I Korintus 8:5). Mereka (termasuk juga Yesus) adalah suatu “allah” tapi bukan Allah yang benar; karena satu-satunya Allah yang benar hanya Bapa (Yoh 17:3).[36]
            Kesaktian” Yesus (dalam mengadakan mujizat) bukanlah karena Dia adalah Allah sejati. Yesus menjadi hebat dan dasyat bukanlah karena Dia Allah yang berinkarnasi menjadi manusia, tetapi, Dia bisa hebat dan punya kuasa yang luar biasa semua itu bukanlah berasal dari dirinya sendiri (Yoh 5:30). Yesus bisa menjadi hebat penuh kuasa adalah karena Ia telah diberikan kuasa oleh Allah (Mat 28:18). Sebuah analogi, jika seorang menteri atau duta Negara bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan seorang Presiden, adalah bukan karena si menteri atau duta tersebut adalah seorang Presiden itu sendiri, melainkan karena kepadanya telah diberi kuasa penuh oleh sang Presiden. Begitulah kira-kiraYesus Kristus, Dia dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah adalah bukan karena dia Allah yang sejati, melainkan karena Dia telah dipercaya dan diberi kuasa oleh Allah untuk melakukan tugas dan pekerjaan-pekerjaan Allah yang besar. Mujizat-mujizat Yesus adalah berasal dari kuasa Allah, Allah yang bekerja sebagai mediator/perantara-Nya.[37]
            Catatan penting yang dikemukakan oleh Frans Donald  perihal kebangkitan Yesus menurut Alkitab adalah Yesus memang benar-benar bangkit, hidup kembali dari kematiannya, namun kebangkitan Yesus dari kematiannya itu bukanlah “Yesus bangkit sendiri” seperti yang sering didoktrinkan oleh teolog Trinitarian yang ‘kebablasan’ mengklaim Yesus sebagai Allah sejati. Kesaksian kitab suci jelas Yesus bukan hidup kembali atas hasil kuasanya sendiri, melainkan Dia bisa bangkit dari kematian  adalah karena dibangkitkan oleh Allah (Kis 2:32, 4:10, 5:30, 13:0,33,37).  Alkitab Yunani, Perjanjian Baru, mencatat bahwa Yesus tidak bangkit oleh kuasanya sendiri, melainkan Ia bisa hidup kembali dari kematiannya karena Ia dibangkitkan oleh Allahnya.[38]
            Frans Donald juga mengemukakan bahwa dari Alkitab bisa dipahami, jika di awal penciptaan, Allah telah berkarya melalui Yesus, Allah memberi kuasa kepada Yesus untuk menciptakan isi dunia (Ibr 1:2b, Kol 1:1), maka Yesus itu pula yang di akhir zaman akan kembali mengemban suatu tugas besar sebagai duta atau wakil Allah dalam menghakimi dunia. Sebenarnya Allah sendirilah Hakim yang sejati: Allah adalah hakim yang adil”, “Sebab Allah sendiri hakim” (Mzm 7:12, 50:6, 75:8). “Sebab Yahweh (Allah) adalah hakim kita”(Yes 33:22).  Nah, Allah sendirilah hakim yang sejati, mengapa yang akan datang menghakimi dunia di akhir zaman adalah Yesus? apakah itu berarti Yesus itu adalah Allah itu sendiri? Jawabannya adalah: bukan! Memang Allah (Yahweh) adalah hakim yang sejati, tetapi untuk menghakimi manusia yang fana dan penuh dosa adalah tidak memungkinkan Allah untuk datang sendiri dalam wujudnya yang sejati, sangat suci. Bukan karena Allah tidak maha kuasa, melainkan seperti tertulis dalam kitab suci karena begitu rapuh dan lemahnya manusia, maka tidak ada manusia yang sanggup melihat wujud asli dari Allah (Yoh 1:18, 5:7, I Tim 6:14-16). Jika wujud asli Allah yang sangat suci dan mulia dilihat oleh manusia, maka manusia tidak akan tahan, akan hancur dan binasa (Kel 33:2). Itulah sebabnya mengapa Allah sebagai Pencipta dan Hakim sejati, Ia harus mengirim wakil atau duta utusan untuk menghakimi dunia, menggenapi janji Allah! (Yoh 5:27-30).[39]
            Frans Donald mengemukakan bahwa tak bisa  menutup mata karena jelas ada tertulis dalam kitab suci bahwa  sebelum lahir sebagai wujud manusia, Yesus Kristus memang sudah ada (Yoh 8:8, 17:5, 24). Yesus sendirilah yang mengakui bahwa dirinya sudah ada sebelum Ibrahim ada. Bahkan katanya, dia sudah ada jauh sebelum dunia ada! Lalu, dia ada dimana? Jika Alkitab bersaksi bahwa Yesus Kristus sudah ada sebelum Abraham, bahkan sebelum dunia dijadikan, maka muncul pertanyaan: dimanakah dia berada? Alkitab, secara konsisten, menjawabnya: di Sorga. Yesus Kristus adalah utusan Allah yang berasal dari surga. Dia turun dari sorga (Yoh 8:23, 6:36). Bersama dengan Allah. Pra eksistensi, keberadaan Yesus sebelum datang ke dunia, dijelaskan pula dalam ayat berikut: “Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah, tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada dipangkuan Bapa¸ Dialah yang menyatakan-Nya (Yoh1:1-8). Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami dengan jelas bahwa Yesus (sebelum menjadi manusia yang bernama Yesus) sudah pernah ada di sorga bersama-sama dengan Allah. Permulaan keberadaan Yesus, sang pemimpin Israel yang lahir di Betlehem Efrata (Mat 2:1-5), memang dia sudah ada sebelum kelahirannya sebagai manusia di muka bumi (Mikha 5:1).[40]
            Frans Donald juga mengatakan bahwa malaikat itu nyata. Teolog Dr. Charles C. Ryrie, dalam bukunya “Teologi Dasar” mengatakan: Kitab suci selalu menyebutkan malaikat-malaikat sebagai makhluk yang nyata, yang berwujud, yang sunguh-sungguh ada. Mereka sama sekali tidak dianggap khayal. Doktor ahli teologi itu, di buku sama, juga mengatakan bahwa Yesus, sebelum menjadi manusia, Dia adalah berwujud malaikat! Frans Donald menambahkan bahwa sebenarnya sejak dulu sudah banyak orang yang mampu menganalisa bahwa Yesus itu malaikat. Tapi tidak sedikit pula orang yang masih bingung dan tidak percaya. Benarkah Yesus itu malaikat? Apa arti Malaikat? Baik dalam bahasa Ibrani (mal’ak) maupun Yunani (anggelos), kata “malaikat” berarti “pesuruh” atau “utusan”, Angel, Messenger. Malaikat Allah, berarti utusan dari Allah. Malaikat Iblis, berarti utusan/pesuruh dari Iblis.[41]
            Dari Yohanes 6:8 diketahui Yesus bersaksi bahwa Ia berasal dari sorga. Yesus adalah makhluk sorgawai. Dari kitab Ibrani diperoleh keterangan bahwa makhluk surgawi tidak lain adalah malaikat, para pesuruh atau utusan Allah. Yesus adalah utusan tapi bukan sembarang utusan. Berkali-kali, melalui kesaksiannya sendiri, Dia mengaku bahwa dia memang sungguh adalah utusan Allah (Yoh 5:30; 5:24; 5:36, 37; 6:29, 38, 57; 7:16, 28, 33, 17:3). Sebagai utusan, Yesus bukan sembarangan utusan. Yesus adalah utusan Allah yang berasal dari surga alias ma’lak. Dia bukan dari bumi, dia bersaksi “Aku bukan dari dunia ini, . . . Aku turun dari Sorga untuk melakukan kehendak Dia (Allah) yang mengutus aku” (Yoh 8:23, 6:38). Utusan/pesuruh surgawi tidak lain adalah malaikat. Ya, benar, dia adakah malak alias malaikat! Kitab Ibrani mengungkapkan dengan bahasa yang indah bahwa Yesus sebelum datang ke dunia, Ia telah dipilih oleh Allah dari antara malaikat-malaikat, dari teman-temannya yang lain: “Dan setelah Ia (Yesus) memuat persucian segala dosa, maka duduklah Ia di sebelah kanan yang Mahabesar, di dalam ketinggian, maka Ia menjadi sebegitu mulia daripada segala malaekat, sebagaimana nama yang diperolehnya menjadi waris terlebih indah dari pada malaekat itu. Karena malaekat manakah dari antara malaekat itu yang pernah difirmankannya: “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini,.. Engkau mencintai keadilan dan membenci kefasikan; sebab itu Allah, Allahmu, telah mengurapi engkau dengan minyak sebagai tanda kesukaan melebihi teman-teman sekutumu. (Ibr 1:3-5, 9, Alkitab 1958 & 2004)”. Teman-teman sekutu Yesus sebelum turun ke dunia adalah para makhluk surgawi alias malaikat.[42]
                               Hal itu cukup menjelaskan bahwa tentulah Dia yang termasuk dalam bagian kawanan para malaikat itu adalah berwujud malaikat. Hanya saja Ia ditinggikan melebihi teman-teman sekutunya itu. Benar! Yesus sangat dekat dengan Allah, sebagaimana Alkiab menggambarkan bahwa dia “duduk di sebelah kanan Allah” (Ibr 1:3, 13; Kol 3:1; Mzm 110; Mat 22:4; Mrk 12:36, 14; Kis 2:5 dll) dan berada “dipangkuan Bapa” (Yoh 1:18). Yesus malaikat bukan sembarang malaikat, karena dia adalah Malaikat Perjanjian, utusan surgawi yang dijanjikan oleh Allah. Sosok Yesus, sebagai Malaikat Perjanjian, yang kedatangannya ke dunia didahului oleh kedatangan seorang utusan yaitu Yohanes Pembabtis (Yoh 1:5-6), dapat dipahami dengan jelas, terang benderang, dari ayat Alkitab yang tertulis dalam kitab Maleakhi (Maleakhi 3:1).[43]          Dalam menyelamatkan manusia, Allah tidak menjelma menjadi manusia, melainkan Ia berjanji untuk mengutus mal’ak (esuruh)-Nya, malaikatNya. Dapat dipahami dari Perjanjian Lama terjemahan lama LAI (Yesaya 63:9) mengatakan: Malak-alhadliratya sudah memeliharakan mereka…” Dalalm Alkitab King James Version: “…The Angel of His presence saved them,..”.  Malaikat – utusan di hadirat Allah-lah yang menyelamatkan manusia. Allah menjanjikan keselamatan bagi manusia melalui pekerjaan yang ditugaskan kepada seorang malaikat dari hadirat Nya. Dari Maleakhi 3:1 diketahui bahwa Yesuslah malaikat/utusan surgawi yang dijanjikan itu, yang kedatangannya didahului oleh tampilnya Yohanes Pembaptis.[44] 
            Menurut Frans Donald, baik Islam maupun Kristen, telah mengakui adanya seorang Malaikat yang bernama Mikhael (Arab: Mikhail). Dalam bahasa Ibrani, Mi-kh-el artinya “Siapa seperti el”. El  dari kata eloah/elohiym, artinya Allah. Jadi bisa diketahui bahwa Mi-kha-el berarti “Siapa seperti Allah”. Tetapi siapakah Mikhael itu? Ini adalah hal yang menarik sekali, siapakah ciptaan Allah yang seperti Allah? Apakah itu menunjuk pada Yesus? Apakah Mikhael adalah nama lain dari Yesus? Di Alkitab memang bisa dijumpai beberapa orang yang memiliki nama lain. Misalnya Yakub juga dikenal sebagai Israel, atau Petrus ‘si batu karang’ juga disebut Simon. Dengan menyelidik ayat-ayat di Alkitab, tidaklah keliru jika disampulkan bahwa Yesus cukup memenuhi syarat jika disebut sebagai sosok yang “siapa seperti Allah” alias Mikhael. Bahkan, karena memang Yesus tampak seperti Allah, maka tidak heran kemudian muncul yang namanya doktrin Tritunggal, yang salah paham dan menganggap Yesus sebagai Allah yang sejati adanya. Yesus tidak sama persis dengan Allah, karena memang dia bukan Allah yang sejati, “sebab Allah lebih besar dari pada Yesus, dan Allahlah yang mengutus Yesus” (Yoh 14:8; 17:3), tetapi ada beberapa sifat yang dan karakter seperti Allah yang menonjol dalam diri Yesus. Di antaranya: Allah Bapa Pengasih, Yesus juga penuh dengan kasih Allah Mahakuasa, Yesus juga penuh dengan kuasa-kuasa yang ajaib, sehingga banyak orang sampai keheranan dan berkata: “Orang apakah dia ini kok bisa memberi perintah kepada air, dan angin pun taat kepadanya?” (Luk 8:5, Mrk 4:41).[45]
            Allah Maha Pencipta, dan Yesus, setelah diberi kuasa oleh Allah, ia juga menjadi berkuasa untuk mencipta, sehingga Alktab mencatat ”melalui”[46] Yesus, Allah menjadikan alam semesta; segala sesuatu diciptakan melalui dia; …dunia dijadikan melaluinya” (Ibr 1:2b; Kol 1:16; Yoh 1:3). Pekerjaan-pekerjaan Allah selanjutnya juga menjadi pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan Yesus, menghakimi dunia misalnya, juga melalui Yesus. Yesus menjadi wakil Allah dalam pekerjaan penghakiman, dia akan menghakimi dengan adil benar, seperti Allah adalah Maha Adil.[47]
            Dalam kitab Daniel, Mikhael memerangi malaikat-malaikat yang jahat; dalam kitab Yudas, Mikhael berselisih dengan Iblis; dan dalam kitab Wahyu, ia berperan melawan iblis dan pengikutnya. Mikhael dalam Alkitab disebut-sebut sebagai Penghulu Malaikat[48], Pemimpin Malaikat. Hal itu secara jelas diungkap dalam ayat berikut: “Mikhael, penghulu malaikat, ..(Yudas 1:9a)”; “..maka pada masa itu akan bangkit berdiri Mikhael, penghulu besar itu, ..(Dan 12:1, Alkitab LAI 1958)”; “..maka sesungguhnya Mikhael, seorang daripada segala penghulu yang terbesar itu,... (Dan 10:13, Alkitab LAI 1958)”.[49]
            Alkitab menyebut Mikhael sebagai Penghulu Malaikat. Sementara, kedatangan Yesus di akhir zaman, terkait pula dengan kedudukan Penghulu Malaikat. “Sebab pada waktu itu tanda diberi, yaitu pada waktu Penghulu Malaikat berseru dan sangkakala Allah berbunyi, maka Yesus sendiri akan turun dari sorga” (I Tes 4:16). Dari ayat-ayat yang dikemukakan ini jelas sekali Mikhael = Penghulu Malaikat. Diketahui bahwa Yesus adalah sang Almasih. Ayat nubuatan Daniel berikut ini akan mengungkapkan secara jelas, bahwa sang Penghulu Malaikat alias Mikhael itu tak lain tak bukan adalah sang Almasih alias Yesus Kristus. “Dan lagi ketahuilah olehmu dan hendaklah engkau mengerti, bahwa daripada keluar firman akan balik kembali dan membangun pula Yerusalem sampai kepada Almasih, Penghulu itu, itu akan ada tudjuh sabat… (Dan 9:25, Alkitab LAI 1958)”.  Karena “Almasih” = Yesus Kristus, dan menurut Yudas 9, Daniel 10:13 dan 12:1 “Penghulu itu” adalah Mikhael, maka dengan kata lain, ayat tersebut bisa diterjemahkan: “Dan ketahuilah, hendaklah engkau mengerti, bahwa daripada keluar firman akan balik kembali dan membangun pula Yerusalem sampai kepada Yesus, Mikhael itu, itu akan ada tujuh sabat …(Dan 9:25, terjemahan Frans Donald)”. Begitu pula dengan I Tesalonika 4:16 yang oleh LAI diterjemahkan: “Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu Penghulu Malaikat berseru dan sangkakala Allah berbunyi, maka Yesus sendiri akan turun bari sorga”. Ayat ini bisa diterjemahkan: “Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu Yesus (Penghulu Malaikat) berseru dari sangkakala Allah berbunyi, maka Yesus sendiri akan turun dari surga ( I Tes 4:16, terjemahan Frans Donald)”.[50]
            Dari Yudas 9, Daniel 12:1 dan Daniel 10:13 didapati bahwa Penghulu Malaikat itu adalah Mikhael. Dari Daniel 9:25 didapati Penghulu itu tidak lain dan tidak bukan adalah sosok yang disebut sebagai Almasih. Siapakah Almasih? Dialah Isa Almasih, Yesus Kristus. Maka tidak bisa tidak, Yesus Kristus itulah si Mikhael, Penghulu atau Pemimpin Malaikat.[51]  Frans Donald mengatakan bahwa menyelidik apa-apa saja yang dilakukan Malaikat Mikhael, akan semakin menguatkan bukti memang benar dialah Yesus Kristus itu. Apa saja itu? Pertama: Mengalahkan Iblis. Iblis dilambangkan sebagai Naga besar alias si ular tua. Alkitab menuliskan: “Maka timbulah peperangan di sorga. Mikhael dan malaikat-malaikatnya berperang melawan naga itu, dan naga itu itu dibantu oleh malaikat-malaikatnya, tetapi mereka tidak dapat bertahan; mereka tidak mendapat tempat lagi di sorga.[52] Naga besar itu, si ular tua, yang disebut Iblis/ Satan, yang menyesatkan seluruh dunia, dilemparkan ke bawah; ia dilemparkan ke bumi, bersama-sama dengan malaikat-malaikatnya (Why 12:7-9). Bagian Alkitab ini menjelaskan bahwa Mikhael-lah yang berperang dan mengalahkan Iblis. Sedang dari kitab Ibrani 2:14 didapati keterangan bahwa Yesuslah yang mengalahkan dan memusnahkan Iblis. Kedua: Pemimpin Pasukan Malaikat. Di akhir zaman keadaan akan sangat sulit dan penuh berbagai macam kesusahan (Mat 24:9-13). Alkitab bersaksi bahwa Mikhael, pemimpin besar itu akan datang disaat dunia menghadapi kesusahan besar itu (Dan 12:1). Dari kitab Matius 16:27, Markus 8:38b, Wahyu 19:14 dan juga kesaksian Hadits-hadits Islam serta wejangan dalam kita Durratun Nasihin, terdapat keterangan bahwa dihari akhir kelak Yesus Kristus sang Firman Allah, nabi Isa alis Arruhu (Malaikat yang Agung dan Besar) itu, akan datang bersama bala tentara malaikat surga untuk menyelamatkan dunia dari kejahatan dan kesusahan akibat ulah iblis. Dari situ jelas bisa diketahui: di akhir zaman saat ada kesusahan besar itu, Mikhael akan datang bersama pasukan malaikat, Yesus akan datang diiringi pasukan malaikat.[53]     
            Dari uraiannya di atas, maka Frans Donald menyimpulkan: Yesus mengalahkan Iblis, Mikhael mengalahkan Iblis. Yesus akan datang memimpin pasukan malaikat. Mikhael akan datang memimpin pasukan malaikat. Nah, karena Alkitab tidak pernah menunjukkan bahwa ada dua Pemimpin malaikat yang setia di surga (yang satu Mikhael dan satu lagi oleh Yesus), maka masuk akal sekali untuk menyimpulkan bahwa Mikheal, Pemimpin Malaikat itu tak lain dan tak bukan adalah Yesus Kristus, utusan surgawi![54]
             


BAB II:
DATA TEORI

            Dalam bagian ini akan dikemukakan data teori Yesus Historis, Kristologi Abad Mula-mula sampai Konsili Chalcedon, Yesus Kristus di tengah konteks Indonesia dalam DKG (Dokumen Keesaan Gereja) oleh PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) dan tafsiran terhadap beberapa teks-teks Alkitab yang dipakai Frans Donald sebagai landasan Alkitabiah untuk menyimpulkan bahwa Yesus adalah Malaikat  Mikhael.

A.      YESUS HISTORIS
            Yesus Kristus lahir di Betlehem, Yudea (Luk 2:4) dan dibaringkan di dalam palungan (Luk 2:6). Yesus berasal dari Nazaret, di daerah Palestina yang bernama Galilea (Mrk 1:9). Di Nazaret itu Yesus mungkin menjadi tukang kayu (Mrk 6:3). Jadi Yesus berasal dari lapisan rendah masyarakat. Kemudian Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan (Mat 3:13-17; Mrk. 1:9-11; Luk 3:21-22; Yoh 1:32-34). Waktu berumur kira-kira 30 tahun (Luk 3:23) Yesus meninggalkan tempat asal-Nya, keluarga dan mata pencaharian-Nya (Mrk 3:31-35; Luk 44:23). Yesus kemudian dicobai oleh Iblis selama 40 hari 40 malam di padang gurun (Mat 4:1-11; Mrk 1:12-13; Luk 4:1-13).
            Dalam pelayanan-Nya, Yesus  memanggil kedua belas rasul sebagai murid-Nya (Mat 10:1-4; Mrk. 3:13-19; Luk 6:12-16). Yesuspun secara menyolok bergaul dan berkerabat, makan bersama dengan orang yang menurut agama Yahudi justru terkucil dari umat Allah, dari ibadat dan dengan demikian terkucil dari keselamatan Allah (Mrk 2:15; Luk 7:34). Yesus berkerabat dengan “orang berdosa”, pemungut cukai dan pelacur, mereka yang tidak ambil pusing tentang hukum agama, hukum Allah (Mat 11:19; Luk 15:2, 5:30). Yesus juga mendekati orang malang pada umumnya, mereka yang cacat, sakit, dianggap kerasukan roh najis (Mat 4:23, 8:1, 9:35, 15:30, 21:14). Dan terutama Ia mendekati rakyat jelata, mereka yang tidak berdaya (Luk 4:18-19, 6:20-26, 7:2-23).
            Dalam mewartakan Kerajaan Allah dan kehendak Allah Yesus menggunakan berbagai cara, seperti “pepatah”, “teka-teki”, “petuah”, wejangan, dan sebagainya. Tetapi Ia terutama sering menggunakan “perumpamaan”. Dalam pelayanan-Nya, Ia melakukan berbagai mujizat. Oleh karena pelayanan-Nya ini, Yesus menjadi teka-teki. Orang bertanya-tanya tentang siapakah Yesus ini (Mat 8:27, 21:23; Mrk 6:2). Ia dapat dinilai seperti nabi (Mat 16:14; Luk 7:16; Mat 21:11) atau dicurigai sebagai tukang sihir dan nabi gadungan (Mrk 3:22; 14:65). Kadang-kadang orang mengira Yesus punya ambisi menjadi “mesias” yang tampilnya diharapkan orang Yahudi (Yoh 6:15; Mrk 11:9-10). Karena sering mengajar Yesus mirip seorang rabi (Luk 12:13), tetapi baik cara mengajar maupun ajaran-Nya toh berbeda juga. Bahkan bagi mereka yang mendukung-Nya dan menaruh harapan pada-Nya, Ia menjadi teka-teki yang sukar dipahami sepenuhnya (Mrk 8:18-9:32).[55]
            Seluruh pimpinan religius-politik bangsa Yahudi menganggap Yesus sebagai ancaman. Yesus akhirnya diadili di Mahkamah Agama, diserahkan kepada Pilatus, dan akhirnya Yesus dinilai dan dieksekusi sebagai pengacau, perusuh dan pemberontak (Mrk 15:26). Menjelang akhir hidup-Nya Yesus sendiri memfirasatkan bahwa jalan hidup-Nya akan berakhir dalam celaka (Luk 9:24; Mrk 9:31a; Mat 23:37a). Yesus kemudian disiksa; Ia dicambuk, dipermalukan, dihina, dan disalibkan di antara para penjahat. Bahkan ketika Yesus menghadapai penderitaan ini, murid-murid-Nya lari, bahkan ada yang menyangkal-Nya. Setelah kematian Yesus murid-murid-Nya menyendiri di suatu tempat. Tapi pada hari yang ketiga setelah kematian-Nya, Ia bangkit dan menampakkan diri, kemudian naik ke sorga (Mat 26:47-28:10; Mrk 14:43-16:0; Luk 22:47-24:53; Yoh 18:1-21:14).

B.       KRISTOLOGI ABAD MULA-MULA SAMPAI KONSILI CHALCEDON
            Bagian ini dikemukakan sebagai landasan teori untuk menganalisis pandangan Frans Donald tentang Yesus bukanlah Allah sejati, karena ia mengemukakan bahwa dogma Yesus adalah Allah sejati merupakan produk dari konsili-konsili Gereja pada kurun waktu tahun 300-400 yang tidak Alkitabiah.[56] Dari sejarah Kristologi abad mula-mula sampai konsili Chalcedon ini dapat dilihat pemahaman Yesus Kristus adalah Malaikat sudah dari dulu ada. Pemahaman  yang menolak Yesus adalah Allah sudah lama ada. Tapi di sisi lain sudah lama ada yang menerima bahwa Yesus itu benar-benar  Allah dan benar-benar manusia. Ini merupakan suatu kontroversi yang heboh dan besar dalam sejarah kekristnen, bahkan terjadi perbedaan pendapat yang ekstrem antara para teolog, dan pimpinan-pimpinan Gereja pada waktu itu. Perbedaan pendapat ini bukan hanya merupakan masalah agama Kristen saja, tapi juga menjadi masalah negara, sehingga kaisar Romawi terlibat dengan hal ini. Masalah ini menimbulkan permusuhan, pengutukan, penghukuman, pengucilan, dsb. Bahkan untuk memenangkan pandangannya beberapa teologpun melakukan segala cara baik yang negatif maupun positif.

1.      Pra Konsili Nicea
            Kristologi pada masa ini dipengaruhi oleh kebudayaan Yahudi dan Yunani. Alam pikiran Yahudi, cara mereka berpikir, visinya atas realitas secara menyeluruh boleh dikatakan “dinamis”. Yang penting bukanlah apa yang ada, melainkan apa yang terjadi, mana pengaruhnya yang nyata. Dan dengan cara itupun Allah dilihat dan dipikirkan. Yang penting ialah: Apakah Allah secara aktif hadir, bagaimana Allah bertindak dan berbuat, berkarya di dunia ini.[57] Jadi dalam cara berpikir inilah orang Kristen Yahudi berefleksi tentang Yesus Kristus.
            Jemaat Kristen Yahudi ini memiliki sejumlah karangan, misalnya Didakhe, Pastor karangan Hermas, Surat Para Rasul, sejumlah karangan Apokaliptik[58], mereka juga mengelolah karangan-karangan Yahudi seperti Kenaikan Yesaya, 4 Ezra, II Henokh, Wasiat XII Bapa Bangsa, dll. Mereka juga menyusun injil-injil sendiri, misalnya injil menurut orang-orang Ibrani. Hal ini yang menjadi dasar Kristologi Kristen Yahudi. Dari sekian pemahaman yang ada tentang Yesus Kristus menurut Kristen Yahudi, maka diantaranya ada yang mengajarkan tentang “Kristologi Angelis” yaitu konsep tentang Yesus Kristus yang digambarkan seperti malaikat. Pandangan ini sangat dipengaruhi alam apokaliptik. Dalam kepercayaan mereka yang didasarkan pada PL (Daniel, Zakharia, Yehezkiel), bahwa Malaikat dalam pikiran Yahudi adalah “utusan “ Allah yang dekat dan bahkan hampir tidak dibedahkan dengan Allah dalam hal pengurusan dunia. Dan berlawanan dengan mereka adalah malaikat-malaikat jahat yang dipimipin oleh Iblis. Dalam karya Hermas, yaitu Pastor, berulang kali tampil “Malaikat mutabir”, “Malaikat Kudus”, “Malaikat mulia”, yang perawakannya raksasa. Dan Malaikat ini ialah Anak Allah. Malaikat yang adalah Anak Allah ini melebihi semua malaikat yang lain dan setingkat dengan Tuhan sendiri. Malaikat yang adalah Anak Allah ini bernama “Mikhael”. Ia adalah kepala semua Malaikat. Ia turun ke rahim Maria untuk menyelamatkan jiwa-jiwa manusia. Ia mati untuk menebus dosa-dosa manusia, bangkit dan naik ke surga. Inilah Kristologi Hermas.[59]
            Selain Kristologi Angelis, ada juga pemahaman lain dari Kristen Yahudi, yaitu yang disebut dengan “Ebyonim”[60]. Mereka memiliki kitab sendiri, yaitu yang disebut “Injil kaum Ebyonim”. Menurut mereka, Yesus Kristus adalah manusia biasa anak dari Maria dan Yusuf. Pada waktu Ia dibabtis oleh Yohanes, Ia menerima Roh Kudus sehingga Yesus digabungkan dengan zat Ilahi, sehingga Ia menjadi Anak Allah atau Kristus. Rupa Kristus ini tidak lain dari Roh Kudus. Ia dipandang sebagai Nabi yang ditentukan untuk menjadi Mesias. Suatu saat nanti Ia akan kembali untuk mendirikan Kerajaan-Nya.[61] Pandangan ini disebut “heretis” (bidaah; dari bahasa Yunani: herein: “memilih”) karena bersifat berat sebelah yaitu lebih menekankan kemanusiaan Yesus Kristus. [62]
            Pemahaman Kristologi pun tidak lepas dari pengaruh budaya Yunani. Budaya Yunani tidak lepas dari pengaruh filsafat-filsafat yang berkembang waktu itu dan pengaruh gnostis. Pengaruh-pengaruh inipun tidak lepas dari alam pikiran Yunani. Alam pikir Yunani, visi atau realitas dapat diistilahkan sebagai “statis” dan “esensial”. Realitas dunia tidak dilihat sebagai serangkain kejadian dan peristiwa dengan awal dan akhir, melainkan sebagai suatu “kosmos”, semacam bulatan yang mantap dan serba teratur, meskipun kelihatannya berubah-ubah. Ada beberapa tingkat dalam kosmos itu, di mana setiap realitas mempunyai tempatnya sendiri yang mantap. Antara tingkat paling atas-tingkat bagi yang ilahi dan tingkat paling bawah-tingkat bagi manusia dan dunianya. Tingkat-tingkat ini dihuni macam-macam makhluk dan kuasa “rohani” yang turut mengatur dan menguasai tingkat manusia. Maka pentinglah manusia tahu akan makhluk-makhluk dan kuasa-kuasa itu untuk melindungi dirinya dan sedikit banyak melalui magi mengatur kuasa-kuasa itu. Maka yang paling penting bukanlah apa yang terjadi, melainkan apa yang ada. Mereka bertanya dan memeriksa: Apa itu Allah? Siapa Allah itu? Apakah hanya ada satu Alah atau banyak? Dan orang Yunani menanyakan: Mana hubungan Allah itu dengan dunia yang dilihat meski berubah-ubah sekalipun, serta mantap dan teratur? Dan kalau ada hubungan, bagaimana hubungan itu dipikirkan?[63] Maka dalam kerangka berpikir inilah Kristen Yunani berefleksi tentang Yesus Kristus.
            Filsafat Yunani ini berkembang dengan baik pada masa ini dan sangat dipengaruhi oleh Filsafat Plato[64], Aristoteles,[65] dan Stoa,[66] dll. Filsafat-filsafat ini dikembangkan sedemikian rupa, sehingga diajarkan dengan jelas bahwa ada satu Allah yang Maha Tinggi dan Trasenden. Ia tidak mempunyai hubungan langsung dengan dunia yang “menjadi dan berubah” ini. Ini juga berarti Ia tidak berperasaan, tidak mengenal emosi. Allah Yunani tidak berubah dan termasuk dunia keberadaan (dunia ilahi/adikodrati), Ia tidak mungkin mempunyai hubungan langsung dengan dunia ini (dunia materi/kodrati). Oleh sebab itu, Ia membutuhkan Penengah antara Dia dan Dunia. Nama yang lazim dipakai para pemikir Yunani untuk kuasa atau prinsip perantara ini ialah logos, yang berarti Akal atau Firman.[67] Dari hal ini muncul istilah “Kristologi logos”, yaitu Kristologi yang merefleksikkan Yesus Kristus berititik tolak dari “atas” dari pra eksistennya (logos), atau juga yang disebut pendekatan “Kristologi dari atas”[68].
            Dalam perkembangannya Kristologi harus berhadapan dengan pengaruh gnostik[69]. Gnostik merupakan salah satu sinkretisme yang dualistik-pantheistis yang berusaha menggabungkan filsafat barat dengan agama timur.[70] Gnostik, seperti yang tersirat dalam namanya (diambil dari kata Yunani: gnosis = Ilmu Pengetahuan), adalah suatu sistem yang menjanjikan keselamatan melalui pengetahuan,[71] suatu suasana rohani, yang dengan satu dan lain cara meresap dan kemana-mana dan memperlihatkan diri dalam seratus seribu bentuk dan rupa, aliran, ajaran dan kelompok.[72]
            Salah satu penganut gnostik ialah Marcion (sekitar tahun 140 seseorang tampil di Roma tapi kemudian dikeluarkan dari jemaat sendiri, dan kemudian mendirikan Gereja sendiri, lengkap dengan organisasi yang lengkap termasuk adanya para uskup, imam dan paroki). Ia memiliki kanon[73]-nya sendiri. Kanon Marcion[74] memuat beberapa kitab PB yang telah disadurnya. Ia mengajarkan bahwa Allah PL bukanlah Allah PB.  Allah dari PL adalah Allah dari orang Yahudi  yang menciptakan langit dan bumi. Tetapi Allah ini hanya memerangi keadilan, Allah yang murka, gemar akan perang, tidak mengenal kasih.[75] Allah PB adalah Allah sejati, Allah yang sebenarnya, yang baik dan penuh cinta kasih dan belas kasihan. Allah itulah yang diperkenalkan oleh Yesus Kristus. Penebusan atau pembebasan yang diwartakan Yesus Kristus ialah pembebasan dari hukum taurat, dari Allah PL, dari kuasa-Nya dan dunia ciptaan-Nya. Penebusan itulah karya penyelamatan Yesus Kristus. Yesus Kristus itu boleh saja disebut Anak Allah. Dan artinya: Yesus Kristus ialah penampakan Allah sejati, Allah Bapa. Dan Anak itu hanya dalam namanya berbeda dengan Bapa. Kristologi macam ini diisitilahkan sebagai monarkianisme modalistis. Allah hanyalah satu dan esa, tunggal. Itulah yang amat ditekankan alam pikiran Yunani. Maka Anak Allah, Yesus Kristus hanya suatu “modus”, rupa atau bentuk dari Allah Yang Maha Esa itu. Dan Anak Allah itu tidak menjadi sunguh-sungguh manusia.[76] Jadi Monarkianisme Modalistis memandang trinitas (Yesus Kristus) hanya sebagai tiga (dua) cara Allah mewujudkan diri dan bertindak demi diri-Nya sendiri dan demi kesalamatan bangsa manusia.[77]
            Selain paham Marcion di atas, ada juga ajaran yang berusaha merekfleksikan Yesus Kristus yang dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani, yaitu doketisme. Doketisme (Yunani: “penampilan”, “melihat”) mengajarkan bahwa Yesus Kritus yang adalah Putra Allah hanya seolah-olah saja seperti manusia. Kemanusiaan Yesus tidak diterima, hanya tampaknya saja Yesus Kristus mempunyai tubuh, yang sesungguhnya disalibkan adalah orang lain, misalnya Simon Orang Kirene. Yesus Kristus dianggap hanya memiliki tubuh surgawi.[78] Ajaran atau pola pikir ini muncul sebagai reaksi untuk memikirkan bagaimana logos Allah ini tidak mati atau tidak menderita, karena logos ini bersifat ilahi. Tapi Doketisme ini dibantah oleh Gereja, bahkan disebut bidah secara resmi pada Konsili Chalcedon.[79]   
            Dalam rangka menghadapi Gnostik, termasuk di dalamnya mengenai Kristologi, maka Bapa-bapa Gereja seperti Ignatius dari Antiokhia, Polycarpus, Irenius, danYustinus Martir, memberikan apologet-apologet[80] mereka. Tapi, usaha dari para Bapa Gereja ini belum menyelesaikan perbedaan pemahaman tentang Yesus Kristus. Terutama soal yang Ilahi dan yang insani pada Yesus Kritus. Kalau Yesus Kristus itu (Ilahi) bagaimana mungkin ia mati dan menderita? Dan sebaliknya kalau Ia manusia (insani) bagaimana mungkin yang disebut sebagai “Anak Allah”? Tertullianus dan Origenes dalam Kristologinya berusaha menjawab persoalan ini.
v  Yustinus Martir, Tertullianus, dan Origenes
            Yustninus Martir mengemukakan Kristologinya dalam pergumulannya dengan gnosis dan doketisme, seperti juga yang dilakukan oleh Ignatius[81] dari Antiokhia dan Polycarpus[82] sebelumnya.
            Selain bergumul dengan gnosis dan doketisme, kekristenan juga pada waktu itu bergumul dengan  situasi sosial politik pada waktu itu. Kekristenan harus berhadapan dengan kritikan dari masyarakat dan pejabat-pejabat negara. Sehingga para cendikiawan Kristen pada waktu itu membela kepercayaan Kristen. Para cendikiawan ini memperlihatkan bahwa kepercayaan Kristen tidak ateis, tidak politeis, melainkan monoteisme murni. Kepercayaan ini masuk akal dan mempunyai akarnya dalam tradisi yang paling tua. Salah satu cendikiawan ini ialah Yustinus Martir[83]. Menurut Yustinus Yesus Kristus adalah logos kekal yang berpancar dari Allah yang satu[84],  dan dalam arti inilah Ia disebut “Anak Allah”. Dengan perantaraan logos ini Allah menciptakan dunia. Logos Ilahi dalam kepenuhan-Nya hanya menampakkan diri pada Yesus Kristus, tetapi sebutir benih logos disebarkan di antara seluruh manusia, jauh sebelum kelahiran Yesus Kristus. Setiap manusia memiliki sebutir benih dari logos dalam akal budinya. Sehingga bukan hanya para nabi PL, tetapi juga para filsuf Yunani (yang tidak mengenal Allah Israel) memiliki benih logos tersebut. Dengan demikian ia tidak keberatan untuk menyatakan bahwa Socrates dan Heraclitus adalah orang Kristen. Tujuannya, tentu saja, adalah untuk menekankan signifikansi mutlak Kristus, sehingga semua yang pernah ada kebajikan dan kebenaran dapat disebut padanya. Para filsuf tua dan pemberi hukum hanya merupakan bagian dari logos,  sementara seluruh muncul dalam Kristus.[85]
            Kristologi Yustinus ini adalah Kristologi dari atas dan subordinasionistis. Ia mengakui bahwa Yesus sungguh-sungguh menjadi manusia; benar-benar lahir, membuat mujizat mati dan bangkit. Tapi menurutnya Yesus sebagai Firman Allah boleh disebut Allah, tapi “Allah kedua” dan tidak kekal sebagai pribadi. Yustinus terutama bukan pemikir spekulatif tetapi seorang Kristen yang ingin memberikan apologet dengan menggunakan penjelasan berdasarkan pengalamannya. Akibatnya ia menjelaskan logos yang dipengaruhi oleh budaya Yunani.[86]
            Selain persoalan Kristologis di atas, maka ada juga suatu persoalan pokok Kristologis yang ada, yaitu bagaimana pendekatan terhadap Yesus Kristus dalam kepra-adaan-Nya dapat disesuaikan dengan monoteisme? Baik oleh gnosis, baik oleh tradisi Yahudi, juga seperti tercantum dalam PL, baik oleh dunia (filsafat) Yunani yang Ilahi/Allah dilihat sebagai secara mutlak trasenden, tak tercapai, dan Yang Ilahi/Allah hanya satu dan tunggal. Di samping-Nya tidak mungkin ada sesuatu atau seorang yang setingkat. Monarkia, keesaan dan ketunggalan Allah tidak terganggugugat. Orang-orang Kristen (bersama dengan para filsuf) suka mengecam politeisme, kekafiran populer; apakah mereka dengan menyebut Yesus Kristus “Allah” dan berkata tentang Firman Allah, Anak Allah, tidak jatuh sendiri dalam politeisme yang halus?
            Cukup banyak  banyak pemikir Kristen merepotkan diri dengan masalah ini. Sejak awal dalam konfrontasi dengan orang-orang Yahudi masalah ini sudah muncul dan mengganggu. Pemikir-pemikir Kristen berusaha memecahkan soal itu. Maka muncullah pemikiran yang oleh (Tertullianus pertama kalinya) diistilahkah sebagai  “Monarkianisme”. Dalam (sebagian) Kristologi Kristen-Yahudi problem itu diatasi melalui adoptianisme. Yesus ialah seorang manusia yang secara khusus dianugerahi oleh Allah dan diangkat menjadi Anak-Nya, entah waktu dibangkitkan, entah waktu dibaptis entah sejak lahir. Itulah pendekatan Kristologi dari bawah. Tetapi bagaimana dengan Kristologi dari atas, yang bertitik tolak pada pra eksistensi Yesus Kristus?[87]
            Ada dua pemecahannya yang muncul. Yang satu, yang sebenarnya menyangkal pra-eksistensi Yesus Kristus, diistilahkan sebagai “monarkianisme dinamik”. Firman Allah atau Anak Allah yang sudah ada sebelumnya bukanlah pribadi, melainkan kekuatan, daya Ilahi yang mendatangi dan mendiami manusia Yesus Kristus, orang Nazaret. Hanya secara “dinamik” Ia boleh disebut Ilahi. Begitu misalnya Teodotus dari Byzantium (th 190) berkata: Yesus Kristus ialah seorang manusia yang di dalam dirinya menerima Kristus, ialah pneuma/roh Ilahi ialah Kristus. Begitu pula pemikiran kaum Ebyonim dan Kerintus. Modalisme dinamis menjadi fantastis, tercampur dengan unsur-unsur dari gnosis pada Teodotus, seorang pengedar uang (kr. th 200). Di antara Allah Yang Esa serta tunggal dan manusia  Teodotus menempatkan “Kuasa Tertnggi”, yang bernama Kristus. Dia itu rohani dan “Anak Allah”, kuasa tertinggi itu  (Roh Kudus?) turun atas Yesus, seorang manusia.[88]
            Tapi monarkianisme yang tersebar luas pada umat Kristen pada awal abad III ialah: Monarkianisme modalis, yang mendapat pendukung berbobot seperti Praxeas (kr. th 200), Neotus (kr. th 220) dan Sabellius (kr. th 20) kadang kala monarkianisme itupun diistilahkan sebagai “patripassionisme” (Bapa yang menderita). Menurut pemikiran monarkianisme modalis Allah memang Esa dan Tunggal secara mutlak. Firman Allah/Anak Allah (dan Roh Kudus) hanya rupa atau manifestasi dari Allah Yang Esa itu. Maka perbedaannya hanyalah sebutan nama saja. Yang menjadi manusia, menderita, mati dan bangkit ialah Allah (Bapa) sendiri.[89] Menurut Sabellius Allah yang Satu dan Tunggal itu memang kekal. Tetapi dalam penciptaan dan Perjanjian Lama Ia menyatakan diri, tampak atau berupa sebagai “Bapa”, berarti: asal usul segala sesuatu, Pencipta. Dalam inkarnasi Allah yang satu dan sama itu menyatakan diri sebagai Anak, mendapat rupa Anak dan menjadi Juruselamat dan dalam pengudusan manusia Allah Yang Esa dan tunggal itu menyatakan diri berupa “Roh Kudus”. Maka Yesus Kristus sebenarnya tidak pra-eksisten sebagai sesuatu, pribadi yang berdiri sendiri dan Firman Allahpun tidak ada.[90]  
            Dalam rangka menghadapi pemikiran Monarikianisme ini, maka Tertullianus[91] merumuskan Kristologinya. Tertullianus tetap mempertahankan monoteisme. Ia tidak mengakui adanya dua Allah atau dua Tuhan, tetapi ia menolak apa yang dikatakan Praxeas bahwa Bapa dan Anak dan Roh satu dan sama saja (unus, meskipun  “umum). Firman sudah ada dalam keallahan. Firman itu adalah sophia (hikmat). Melalui Firman/Hikmat itu segala sesuatu dijadikan. Firman itu keluar pada saat penciptaan dan dilahirkan dan menjadi Anak yang sesungguhnya. Firman/Anak itu mesti disebut sesuatu yang berdiri sendiri (persona). Ia itu, Anak “Sulung”, diperanakkan sebelum segala sesuatu. Ia keluar dari zat (substantia, hakikat) Bapa. Tapi sebagai “Anak” Ia tidak kekal. Bapa dan Anak (serta Roh Kudus) sebenarnya suatu kesatuan (unum), tetapi tidak satu (unus). Bapa adalah seluruh zat (substantia, hakikat), tetapi Anak suatu jabaran dari keseluruhan dan bagian, seperti sinar dari matahari. Bapa  dan Anak (serta Roh Kudus) adalah dua (tiga), tidak dalam keberadaan, tetapi dalam tingkat, tidak dalam zat (substantia, hakikat), tetapi dalam bentuk, tidak dalam kuasa, tetapi dalam rupa (specie). Jadi masing-masing kodrat Yesus Kristus bersifat utuh dengan ciri dan coraknya masing-masing. Keadaan rangkap dua ini digabungkan dalam satu Pribadi (Yesus; Allah dan Manusia) dan bukan dicampurkan. Kodrat Ilahi melakukan, misalnya berbagai mukjizat, perbuatan yang penuh kuasa, tanda-tanda heran. Dan Kodrat insani dapat dilihat saat Yesus Kristus lapar, haus, menangis, sedih, dan akhirnya mati. Kemudian Tertullianus juga menegaskan bahwa Kristus menyandang manusia (dan bukan malaikat) demi untuk keselamatan manusia, supaya memulihkan apa yang hilang. Allah memulihkan gambaran (imago) dan penyerupaan-Nya, yang dirampas oleh iblis.[92]
            Tertulianus sendiri memanfaatkan filsafat (terutama Stoa) ide-ide dalam tulisan-tulisannya.[93]  Dia setuju dengan Plato pada masalah keabadian jiwa.[94] Kristologi Tertullianus menjurus kepada “subordinasionis”. Anak dilihat dilihat seperti semacam “Allah Kedua” atau Allah yang kemudian.
            Origenes,[95] mengemukakan Kristologinya melalui pendekatan Kristologi dari atas. Anak Allah, Firman Allah dalam pra eksistensi-Nya mempunyai ciri ilahi. Ia sezat, sehakikat (homo-ousios), berarti: sejenis, dengan Bapa, yaitu Allah yang Mahaesa. Firman Allah benar-benar menjadi manusia, secara utuh lengkap, serupa dengan manusia lain. Origenes menerima apa yang diistilahkan sebagai “communicatio”, yang berarti: dua rangkaian ciri (ilahi dan insani) yang tergabung dalam satu subjek sehingga subjek itu dapat bersilih-ganti disebut menurut ciri-ciri yang yang berbeda itu, sehingga ciri-ciri yang berbeda itu serentak dikatakan mengenai objek yang sama. Misalnya: Allah menderita, manusia menciptakan, dsb.  Jadi, menurut Origenes Anak Allah lebih rendah dari Allah Bapa. Sehingga  Anak Allah adalah Allah yang Kedua. Origenes mempresentasikan gagasan bahwa Bapa adalah "lebih suci" daripada Anak.[96]
            Ia mengajarkan adanya subordinasi di dalam Trinitas, yaitu Allah Bapa pada tempat yang pertama, sedangkan tempat yang kedua adalah Allah Anak dan tempat yang ketiga adalah Roh Kudus. Origenes mengemukakan bahwa jiwa insani Yesus adalah pra eksisten, hanya saja berbeda dengan jiwa-jiwa pra eksisten lainnya yang jatuh meninggalkan Allah. Kemudian jiwa insani Yesus yang pra eksisten dipersatukan dengan logos Ilahi. Persatuan ini begitu erat sehingga jiwa Yesus yang pra eksisten itu memasukan logos seluruhnya ke dalam dirinya. Sehingga dari logoslah jiwa Yesus menerima terang dan kemuliannya. Dan karena kesatuannya dengan logos jiwa Yesus kehilangan kemampuan untuk berbuat dosa. Pada waku inkarnasi, logos yang sudah bersatu dengan jiwa Yesus itu masuk ke dalam tubuh Yesus. Sejak itu, Yesus menjadi Penengah antara logos abadi dengan tubuh Yesus yang terbatas. Sebagaimana jiwa telah menerima logos, begitupun tubuh menerima jiwa, dan melalui jiwa itu menerima logos juga. Sehingga Origenes mengemukakan bahwa Yesus adalah manusia sungguh-sungguh, sama seperti manusia lainnya (yang  dalam pandangan Origenes semua mempunya jiwa pra eksisten).[97]
            Origeneslah yang memberikan kepada Kristologi Yunani sejumlah istilah ilmiah yang sangat membantu untuk mengungkapkan secara intelektual dan konseptual apa yang diimani tentang Yesus Kristus. Istilah-istilah ini, khususnya adalah physis (kodrat), hypostasis (substansi), ousia (hakikat), homo ousios (sehakikat), dan theanathropos (kesatuan Allah dan manusia). Walaupun disadari istilah-istilah ini terjadi perbedaan penafsiran dari para teolog yang ada.[98]
            Pada masa ini “Kristologi logos” masih menjadi fokus pemikiran dari kekristenan waktu itu. Penekanannya sekarang adalah bagaimana melihat kesatuan ataupun perbedaan antara logos Ilahi dan tubuh insani Yesus Kristus. Berkaitan dengan hal ini, ada dua aliran atau dua garis pemikiran, yaitu yang menekankan kesatuan (Kristologi Firman-daging/logos sarks) dan yang menekankan perbedaan (Kristologi Firman-Manusia/logos-anthropos). Kristologi Firman-daging mengemukakan bahwa Firman Allah berada dalam daging dan menggerakkannya, selaku jiwa, dan daging menjadi alat bagi Firman. Kodrat yang Ilahi dan yang insani bersatu dalam Yesus Kristus. Pemikiran ini dikembangkan di Alexandria.[99] Kristologi ini didasarkan pada Yohanes 1:14. Dari hal ini kesatuan bukanlah masalah bagi pemikiran Kristologi. Sedangkan Kristologi Firman-manusia mengemukakan bahwa Firman berdiam di dalam manusia seperti dalam sebuah rumah.  Ini didasarkan pada Filipi 2:7 (logos mengambil rupa seorang hamba). Pada Yesus Kristus itu ada dua kodrat, yaitu kodrat Ilahi dan insani yang tetap berbeda dan terpisah dan dua-duanya mandiri. Yang Ilahi tidak tersentuh dengan yang manusiawi. Dari hal ini kesatuan menjadi masalah bagi pemikiran Kristologi ini. Pemikiran ini dikembangkan di Antiokhia.
            Perdebatan Kristologi ini menjadi perdebatan antara sekolah teologi di Alexandria dan Antiokhia dengan berbagai unsur-unsur kepentingan di dalamnya, termasuk kepentingan sosio-politis. Karena pada masa-masa itu, kekaisaran Romawi yang duluhnya menganiaya kekristenan kemudian berubah untuk mendukung kekristenan, bahkan agama Kristen dijadikan agama negara. Ini dilakukan oleh Kasar Kontantinus Agung yang menjadi Kristen, kemudian mengeluarkan Edik Milano (semacam dekrit) yang intinya mengemukakan bahwa agama Kristen secara resmi menjadi agama kekaisaran Romawi dan seluruh wilayah jajahannya.
            Sementara itu perkembangan dogma Kristologi semakin berlanjut. Pokok persoalannya relasi antara yang Ilahi/Firman Allah dan yang insani pada Yesus Kristus belum dituntaskan dan semakin lama semakin tenggelam, karena perhatian Kristologi ini bergeser pada suatu persoalan pokok yang lain, yaitu persoalan mengenai relasi yang Ilahi/Anak Allah yang pra eksisten dengan Bapa yang adalah Allah Yang Maha Esa. Berbagai teolog berusaha untuk merumuskan relasi Allah Bapa yang Esa dengan Yesus Kristus ini, diantaranya adalah Arius. 

2.      Konsili Nicea-Konsili Chalcedon
v Arius, Alexander, dan Konsili Nicea
            Arius,[100] berpendapat bahwa logos dan Bapa tidak berasal dari hakikat (ousia) yang sama. Anak Allah adalah makhluk yang diciptakan, dan Anak Allah ini yang menjadi Pencipta dari dunia, karena itu Dia ada sebelum segala sesuatu ada, tapi ada waktu dimana Dia tidak pernah ada. Jadi Yesus Kristus bukanlah Allah walaupun Ia bersifat Ilahi karena Ia adalah ciptaan dari Allah yang Maha Esa. Bagi Arius Allah tidak selalu Bapa. Anak Allahpun pernah tidak ada. Ketika Allah menciptakan Anak Allah, barulah Allah menjadi Bapa. Anak Allah boleh saja disebut “Allah”, tetapi keallahan-Nya ini tidak melekat pada eksistensi-Nya melainkan dianugerahkan kepada-Nya. Gelar ini diberikan secara kiasan, karena Allah yang Esa telah mengangkat-Nya menjadi Anak dengan melihat jasa-Nya. Tetapi hal ini tidak berarti Anak itu sebanding atau sehakikat dengan Allah Bapa. Karena Allah tidak mungkin sebanding dengan Anak yang adalah ciptaan-Nya. Anak atau logos menduduki tempat tengah antara Allah dan dunia. Logos menciptakan Roh Kudus sebagai ciptaan yang pertama. Roh tidak sebanding juga dengan logos. Logos telah menjadi daging dalam arti telah menunaikan tugas suatu jiwa di dalam Yesus Kristus.[101] 
            Pemahaman Arius ini, salah satunya diserang oleh Akexander.[102] Arius sendiri menyebut kalau Alexander itu adalah seorang modalis (Sabellius). Saat menjelaskan tindakan melawan Arius, Aleksander dari Aleksandria menulis surat kepada Alexander dari Konstantinopel dan Eusebius dari Nikomedia, dalam surat ini ia juga merujuk pada puisi Arius (Allah tidak selalu Bapa; ada satu momen ketika ia sendirian. Anak bukan dari keabadian).[103] Alexander berpendapat bahwa Yesus Kristus itu adalah gambar Allah, Anak Allah, kekuatan Firman atau hikmat Allah yang pra eksisten. Ia merupakan “pribadi” (hypostasis) dan “kodrat” (physis) yang mandiri, tapi berbeda dengan Bapa walaupun sehakikat dengan Bapa. Firman itu sejak kekal berasal dari Bapa, dan lahir dari diri-Nya. Kristologi Alexander tetap subordinasionis. Anak Allah ditempatkan antara Allah yang Maha Esa dengan ciptaan, tetapi bukan di pihak ciptaan melainkan di pihak Allah.[104]
            Tahun 325 di kawasan timur negara Roma terdapat dua kelompok besar yang bertikai satu sama lain, saling menuduh dan saling mengutuk. Kedua kelompok ini adalah kelompok uskup (sekeliling Aleksander dari Aleksandria) dan pendukungnya serta kelompok Eusebius (dari Kaisarea) dan pendukungnya. Situasi ini dapat menyebabkan perpecahan dalam wilayah kekaisaran Roma. Sehingga Kaisar Konstantin yang prihatin akan kesatuan negara dengan menggunakan uang negara mengumpulkan semua uskup untuk mengadakan suatu sinode menyeluruh di kota Nicea, Asia Depan dan menyediakan istananya sendiri sebagai tempat para uskup berkumpul. Kaisar menentang pemecah-belahan agama. Ia telah menyatukan secara politik kerjaaan Romawi. Ia menyatakan bahwa hanya ada satu raja, satu kerajaan, satu agama, dan satu Allah. Ia memanggil delegasi Gereja ke Nicea untuk memastikan bahwa agama dan Allah tidak boleh menjadi unsur-unsur pemecah-belah dalam kerajaannya.[105]
            Konsili diadakan untuk menentukan hal-hal doktrinal yang penting pada masa kekristenan awal. Konsili Nicea berlangsung kurang lebih empat belas tahun setelah penganiayaan terakhir orang Kristen di tangan Kaisar Galerius.[106] Konsili Nicea yang dipelopori oleh kaisar Konstantin Agung, dihadiri oleh kurang lebih 300 uskup dan juga oleh Kaisar sendiri. Hampir semua uskup yang hadir ini berasal dari kawasan timur (karena masalah ini timbul di timur). Uskup-uskup dari barat yang hadir diwakili oleh suatu delegasi yang dikirim ukup Roma, Silvester (kr th. 35). Delegasi ini terdiri dari uskup Hosius dari Corduba (kr th. 357) yang adalah penasihat “rohani” kaisar, dan dua imam pembantu, yaitu Vitus dan Vincentius.[107]
            Hasil dari Konsili ini adalah mengutuk Arianisme, merumuskan syahadat Nicea, menetapkan kapan paskah secara pasti dirayakan, mengesahkan beberapa peraturan mengenai imamat dan menyususn organisasi Gereja yang sejajar dengan organisasi Kekaisaran. Keputusan Konsili Nicea ini menjadi hukum negara. Kebanyakan uskup yang hadir, dan kebanyakan pendukung Arius menandatangani hasil konsili ini, kecuali Arius dan dua orang temannya, sehingga mereka dikucilkan.[108]
            Syahadat Nicea atau pengakuan iman ini merupakan ringkasan mengenai iman kepercayaan Kristen, menjadi semacam “asas tunggal”, penegasan dogmatis khususnya tentang Yesus Kristus. Kata kunci syahadat ini ialah homo ousia.[109] Syahadat ini merupakan syahadat iman yang diolah seperlunya dari syahadat iman di kota Kaisarea (Palestina) yang dipakai dalam upacara baptisan.[110]  
v Athanasius, Ketiga Orang Kapadokia: Basilius Agung, Gregorius dari Nyssa, Gregorius dari Nazianze,[111] dan Apollinaris dari Laodikaia, serta Konsili Konstantinopel
            Setelah konsili Nicea, maka perbedaan pendapat tentang istilah “homo ousios” semakin berkembang. Ada yang tetap mengikuti pandangan Arius, sehingga sering juga disebut Arianisme atau kaum Arian, seperti Aetius, uskup Antiokhia (kr th. 366) dan Eumomius, uskup Cyzikus (kr. th. 399). Dan ada juga pandangan yang menolak Arius serta menolak keputusan dari konsili Nicea, seperti Ancyra, uskup Antiokhia (kr th. 364), Cyrillus, uskup Yerusalem (kr th. 386). Kemudian ada juga yang tetap mempertahankan rumusan konsili Nicea, misalnya, Athanasius[112], uskup Alexandria (kr th. 373).
            Setelah kaisar Konstantinus mengangkat Konstantius sebagai kaisar di kawasan timur (th. 337-350) dan Konstans di kawasan barat (th. 337-350), maka pendukung Arius mendapatkan dukungan dari kaisar Konstantius. Para pendukung Arius menyusun syahadat sendiri yang menghilangkan kata “homo ousios”. Sedangkan kaisar Konstans di barat mendukung pembela Nicea, akibatnya kawasan baratpun secara mendalam terlibat dalam perdebatan ini. Setelalah kaisar Konstantius meninggal dan Julianus (361-363), yang murtad berusaha menghidupkan kembali kekafiran Roma kuno, maka pendukung Arius semakin mundur, tapi pemikiran ini terus ada. Tapi pemerintahan Julianus tidak berlangsung lama, sehingga pada pemerintahan kaisar Gratianus (kr th. 364) kekristenan kembali menjadi agama kekaisaran Romawi.[113]
            Athanasius yang tetap mempertahankan keputusan konsili Nicea dan dengan tegas menolak pemikiran Arius dan juga pendukungnnya mengungkapkan bahwa Bapa dan Anak adalah satu, pengertian satu ini bukan seperti satu benda yang dibagi dua bagian, dan kedua bagian ini tak lain tak bukan hanyalah satu, dan juga bukan seperti bila satu hal disebut dengan dua nama, sehingga Yang Sama kadang-kadang menjadi Bapa dan kadang-kadang juga menjadi Anak. Mereka itu dua dalam pengertian bahwa Bapa adalah Bapa dan Dia itu bukanlah Anak. Dan Anak adalah Anak dan Dia bukanlah Bapa. Tetapi hanya ada satu kodrat (physis). Anak adalah di dalam Bapa karena apa saja yang menjadi milik Anak merupakan milik khusus kodrat (ousia) Bapa sama seperti cahaya keluarlah pantulannya, dan dari sumber keluarlah sungai. Sehingga siapa yang melihat Anak melihat apa yang (menjadi milik) khusus Bapa, sehingga Ia satu dengan Bapa. Tetapi Bapa juga berada dalam Anak, sebab Anak adalah apa yang khusus dari Bapa, seperti matahari berada dalam semaraknya dan akal dalam kata dan sumber dalam sungai. Jadi Bapa dan Anak tidaklah sama saja, ada perbedaan, namun keduanya saling meresapi (“peri khoresis/circumincessuim, cercum-insessio”). Dasarnya adalah kesatuan atau keidentikan kodrat (ousia, physis) ialah keilahian (theotetes).[114] Athanasius mengemukakan bahwa hanya jika Kristus adalah sepenuhnya Allah maka keselamatan orang berdosa tidak mustahil. Dia satu dengan Bapa. Harus ada kesetaraan dalam substansi dari Bapa dan Anak, bukan hanya kesamaan.[115]
            Yang kurang dari Kristologi/Trinitas Athanasius adalah konsep yang tepat untuk menunjuk pada apa yang disebut “pribadi” atau “diri” (person). Sehingga Ketiga Orang Kapadokialah yang berjasa dalam mengatasi kekurangan ini. Mereka mengembangkan terminologi yang tepat untuk membedakan antara hakikat Allah pada umumnya di satu pihak dan para pribadi individual di lain pihak. Sebelumnya para teolog memakai istilah ousia (dalam arti “hakikat”, “substansi”) dan hypostasis (dalam arti “zat”, “kodrat”) secara campur baur. Sekarang para Kapadokia ini mempergunakan konsep ousia untuk menjukkan hakikat (esensi atau kodrat) ilahi yang dimiliki bersama oleh ketiga Diri, sedangkan konsep hypostasis untuk eksistensi pribadi yang dimiliki oleh masing-masing Diri Ilahi.[116]  Sehingga ousia menjadi istilah teknis bagi Ketuhanan, sedangkan hypostasis tidak lagi berarti “kodrat” melainkan “diri”, “pribadi”, serarti dengan prosopon. Jadi ousia menunjuk pada hakikat Allah yang umum, dan hypostasis menunjuk kepada bentuk-bentuk khusus yang diterima oleh hakikat ilahi ini dalam diri pribadi Bapa, Anak, dan Roh Kudus.[117]
            Mereka juga mempertajam kekhususan pribadi Bapa dan Anak (juga Roh Kudus) dibandingkan teolog sebelumnya. Basilius pertama-tama mengenakkan kepada Bapa “kebapaan”, kepada Anak “keanakkan/keputraan” (dan kepada Roh Kudus “kuasa pengudus” atau “pengudusan”). Dan yang menjadi perbedaan antara kegita Diri Ilahi ini dapat diungkapkan dengan mengatakan bahwa “Bapa ‘tidak dilahirkan’, Anak ‘dilahirkan’ (dan Roh Kudus ‘berasal’)”. Sehingga hubungan para Pribadi satu sama lain ciri khasnya digambarkan asas dan asalnya, Putra melaksanakan, dan Roh Kuduslah yang mengakhiri atau menyelesaikan pekerjaan itu.[118]
            Apollinaris[119], mengemukakan Kristologinya dalam rangka membela kesatuan Yang Ilahi dan yang insani pada Yesus Kristus; termasuk di dalamnya ia bermaksud membela keilahian Kristus yang berdaya guna, terutama keselamatan semua manusia, melawan Arianisme. Ia ingin memepertahankan kesatuan Anak Allah.[120] Akan tetapi, ia terpaksa mengorbankan kemanusiaan Yesus Kristus. Menurut Apollinaris, Kristus tidak mempunyai roh atau jiwa rasional.[121] Apollinaris tidak menemukan tempat bagi kesadaran terbatas seorang manusia dalam Kristus, atau untuk sebuah jiwa manusia yang dapat dianggap sebagai tempat pilihan manusia sejati. Menurutnya logika akan pribadi Kristus menuntut bahwa hal-hal ini harus dikorbankan demi kepentingan kesatuan pribadi Kristus.[122]
            Pada Kristus ada logos ilahi. Maksud utamanya ialah menentukan adanya kesatuan dalam diri Kristus, sebagaimana tampak dalam rumusannya “kodrat terjelma dari logos yang satu”. Sulit masuk dalam benak Apollinaris, bahwa dalam pribadi yang satu dan sama terdapat dua kodrat (yakni Ilahi dan insani) yang berbeda. Baginya, suatu unsur yakni keilahian Kristus, mutlak harus diunggulkan di atas unsur lainnya, yakni kemanusiaan Kristus. Pilihannya menekankan pada keilahian Kristus, mengingat sifat-sifat unggul yang menjadi ciri khasnya. Sifat-sifat itu adalah kekal, abadi, tidak dapat binasa, rohani, dan agung mulia. Sedangkan sifat-sifat lainnya, yakni kemanusiaan Kristus selalu bersifat rapuh, sementara, dapat binasa, dan sebagainya.[123]
            Permasalahan mengenai perdebatan pengikut Arius/Arianisme dan pembela syahadat Nicea, terlebih khusus Athanasius masih terus berlangsung. Dan akhirnya para pembela syahadat Nicea secara definitif mengalahkan Arianisme pada konsili Konstantinopel/Kontantinopelis I tahun 381[124]. Dan sebagai respon terhadap ajaran Apolinaris, maka konsili inipun mengutuknya dan ajarannya. Konsili Kontantinopel diprakarsai oleh Kaisar Teodosius I. Konsili ini dihadiri antara lain oleh  kurang lebih 100 uskup dari Gereja Timur. Konsili ini menghasilkan keputusan-keputusan, yaitu mengutuk berbagai jenis Arianisme, Masedonianisme (yang menyangkal keilahian Roh Kudus), melengkapi syahadat Nicea, dan menetapkan bahwa uskup Konstantinopel menjadi yang terkemuka di bagian timur (tanpa meragukan kedudukan Paus atas seluruh Gereja).[125]
v Nestorius, Cyrillus, dan Konsili Efesus (431)
            Nestorius[126] mengemukakan bahwa pada Yesus Kristus terdapat kodrat Ilahi dan insani. Dalam filsafat Aristoteles (yang mempengaruhi Nestorius) dikemukakan bahwa kodrat (physis) itu adalah keseluruhan ciri-corak dan sifat-sifat sesuatu. Supaya kodrat itu menjadi nyata maka setiap kodrat itu harus ada rupa (prosopon). Pada Yesus ada kodrat Ilahi dengan rupanya dan kodrat insani dan kodratnya. Yang menyatukan kodrat Ilahi dan insani pada Yesus Kristus adalah satu kodrat atau rupa yang lain atau “prosopon ketiga”. Prosopon ketiga ini menunjuk pada rupa Kristus. Dalam Kristus ini kedua kodrat yang lain (Ilahi dan Insani) bersatu; dalam Kristus ini Allah memakai realitas manusia dan manusia memakai realitas Allah. Persatuan kedua kodrat ini dalam satu rupa, bukanlah suatu persatuan dangkal dan lahiriah saja atau hanya kesatuan, kesejalanan kehendak saja. Persatuan ini dalam istilah Nestorius ialah persatuan menurut “eudokia”, perkenaan. Itu berarti Firman Allah memberikan diri (keilahian-Nya) kepada kemanusiaan real  (physis serta prosoponnya) dan kemanusiaan itu dengan bebas menerima tawaran itu sehingga seerat-eratnya berpaut pada Firman Allah, sehingga hanya ada satu Yesus, hanya satu Anak Allah dan hanya satu Manusia yang dipersatukan dalam Yesus Kristus.[127] Jadi, Nestorius menegaskan yang ada hanya dapat satu Anak, satu Kristus, yang adalah juga sepenuhnya Ilahi dan sepenuhnya manusia, dalam dua kodrat yang berbeda.[128]
            Nestorius juga menolak gelar theotokos atau Bunda Allah. Istilah Bunda Allah ini adalah suatu istilah yang mengakui bahwa Yesus itu adalah benar-benar Allah dan juga benar-benar manusia, sehingga siapa yang menerima gelar ini berarti mengakui Yesus adalah Allah dan juga Manusia, sedangkan yang menolak berarti dianggap tidak mengakui Yesus itu benar-benar Allah dan manusia. Gelar theotokos ini diterima oleh mazhab Alexandria, sedangkan mazhab Antiokhia menolaknya dan mengusulkan harus menambah juga gelar theoanthropon. Nestorius juga sependapat dengan hal ini karena gelar Bunda Allah pada Maria menimbulkan kesan bahwa Maria yang adalah manusia memperanakkan Allah. Pendapat ini menurut Nestorius tidak mungkin, karena Allah tidak diperanakkan, sehingga agama Kristen menjadi agama kafir jika mengakui hal ini, lagi pula sebutan ini tidak ada dalam kitab suci, dan bisa saja sebutan ini mengakibatkan terjadinya percampuran kodrat Ilahi dan insani pada Yesus sehingga bisa jatuh pada Apollinarisme. Tapi bukan dalam arti ini gelar Bunda Allah dikemukakan oleh mazhab Aleksandria. Gelar Bunda Allah ini adalah istilah communicatio idiomatum, yang dihubungkan pada Yesus Kristus, dapat berarti suatu istilah tertentu disebutkan dan dapat diartikan pada dua kodrat Yesus Kristus, misalnya boleh dikatakan bahwa Yesus sebagai Anak Manusia itu naik ke sorga, atau Anak Allah disalibkan, Yesus yang menderita, boleh juga dikatakan Anak Allah yang menderita. Karena penekanan dari hal ini ialah kesatuan antara Yang Ilahi dan insani pada Yesus Kristus, yaitu Yesus Kristus sungguh Allah dan manusia.[129] Karena Nestorius menolak gelar ini, sehingga ia dianggap menolak kesatuan Yang Ilahi dan insani pada Yesus Kristus.[130]        
            Teolog yang menentang Kristologi Nestorius adalah Cyrillus dari Alexandria.[131] Berbeda dengan Kristologi Nestorius, Kristologi Cyrillus yang dikembangkan menurut skema Firman-daging. Dalam pandangan Cyrillus, Kristologi Nestorius merupakan penyangkalan terhadap misteri iman bahwa Sabda Ilahi betul-betul menjelma menjadi manusia. Bagi  Cyrillus iman akan inkarnasi itu hanya terjamin kalau communicatio idiomatum diterima tanpa syarat, dan gelar Theotokos diterapkan pada Bunda Maria. Cyrillus menegaskan bahwa logos ilahi sendirilah yang menjelma menjadi manusia dalam Yesus Kristus. Perhatian Cyrillus tertuju kepada dua cara berada Sang logos berturut-turut: mula-mula pra eksisten-Nya dan kemudian inkarnasi-Nya. Dalam kedua cara itu terlibatlah logos yang sama. Cyrillus pun menggunakan istilah khusus untuk mengungkapkan baik perbedaan antara kedua cara itu maupun kesatuan logos dalam kedua cara. Dibedahkannya antara “logos di luar daging” (logos asarkos) dengan “logos di dalam daging” (logos ensarkos). Untuk menggambarkan kesatuan dari Ketuhanan dan kemanusiaan, Cyrillus suka memakai rumus “satu kodrat logos ilahi” dan kodrat itulah yang “menjelma menjadi daging”.[132]
            Bagi Cyrillus, mustahillah membagi atau memisahkan kedua kodrat yang ada pada logos  yang telah menjelma. Sang logos  sendiri yang betul-betul menjadi daging. Dengan “daging” dimaksudkan Cyrillus seluruh kodrat insani yang utuh, termasuk jiwa manusiawi. Ketuhanan dan kemanusiaan Kristus bersatu bukan hanya karena suatu penggabungan dari keduanya yang tinggal lahiriah ataupun bersifat moral (suatu kehendak), melainkan secara substansial atau hypostasis. Ini berarti bahwa kodrat insani Yesus Kristus tak pernah berada tersendiri, tetapi seluruhnya dimiliki logos. Dengan kata lain, kodrat manusawi Yesus Kristus itu tidak lain dari pada kodrat manusawi Sang logos. Tubuh Yesus adalah tubuh logos, bukan cuma sekedar tubuh seorang makhluk insani. Cyrillus menekankan bahwa keselamatan dikerjakan bukan dengan cara Allah merahmati seorang manusia, yakni Yesus, melainkan dengan cara Allah sendiri datang ke dalam dunia. Jadi, Cyrillus mempersatukan kedua tabiat Kristus.[133] Bertolak dari gagasan itu maka gelar “Bunda Allah” dapat disetujui Cyrillus secara mutlak, karena memang hanya ungkapan inilah yang sesuai dengan misteri inkarnasi.[134]
            Dalam polemiknya dengan Nestorius Cyrillus kurang mengerti istilah yang dipakai Nestorius (mazhab Antiokhia) dan sebaliknya. Dalam peristilahan Nestorius “kodrat” (physis) berarti: sesuatu yang real dan konkret yang mencakup berbagai ciri-corak dan sifat dan selalu pada kodrat ada suatu “prosopon” (rupa) atau Nestorius memahami hypostasis dalam makna antik sesuatu yang erat kaitannya dengan physis atau ousia[135].  Maka, demi realitas Keilahian dan kemanusian-Nya, pada Kristus ada dua kodrat semacam itu. Tetapi dalam peristilahan Cyrillus “physis” (kodrat, searti dengan ousia dan hypostasis) berarti: Realitas konkret, “benda” nyata. Physis ialah suatu individu konkret yang ada. Maka pada Kristus hanya ada satu “kodrat” (physis), sebab Ia memang satu individu konkret. Kalau Nestorius berkata bahwa pada Kristus ada dua kodrat (physeis), maka Cyrillus mengerti: dua individu. Kalau Cyrillus berkata bahwa pada Kristus hanya ada satu “kodrat” (physis), maka Nestorius mengerti: keilahian dan kemanusiaan melebur menjadi sesuatu yang baru.[136]
            Untuk menghindari bahwa Gereja Timur akan dipecah belah oleh pertentangan terbuka antara kedua kebatrikan, Aleksandria dari Konstantinopel, konsili umum berkumpul di Efesus. Akan tetapi, setelah konsili yang memenangkan Cyrillus itu kecondongan dalam kalangan tertentu untuk melawan Nestorianisme menjadi begitu ekstrem sehingga menelurkan bidaah yang berlawanan, yakni Monofisitisme,[137] yang ditentang oleh Paus Leo dalam dokumen yang terkenal sebagai Tomus Leonis: ‘Risalah Paus Leo’.[138]
            Surat-surat menyurat mengenai masalah Kristologi antara kedua batrik yang bersaingan, Cyrillus dari Alexandria dan Nestorius dari Kontantinopel, tidak menghasilkan kesepakatan. Maka, kedua-duanya naik banding kepada Uskup Roma, Paus Celestinus I. Suatu sinode di Roma pada tahun 430 menyatakan Nestorius tersesat dan membenarkan teologi Cyrillus. Sri Paus menugaskan Cyrillus menyampaikan keputusan ini kepada Nestorius. Maka, Cyriluus menyusun 12 anatema terhadap bidaah baru ini yang ditambahkannya pada surat Paus, dan ia mengancam Nestorius dengan pemberhentian dan ekskomunikasi kalau Uskup Konstantinopel dalam jangka waktu 10 hari tidak menarik kesalahannya. Akan tetapi, Nestorius tidak dapat menerima keputusan ini dan mendesak Kaisar Theodosius II untuk mengumpulkan konsili sedunia. Maka, dengan dukungan dari rekannya Valentianus III yang menjabat kaisar di Kawasan Barat, dan dengan persetujuan Paus Celestinus, maka Kaisar Theodosius II memanggil semua uskup dari seluruh kekaisaran supaya pada hari raya Pentakosta, tanggal 7 Juni tahun 431, berkumpul di kota Efesus. Jadi, Konsili Efesus diadakan di Efesus, Asia Kecil pada tahun 431 di bawah Kaisar Theodosius II, cucu Theodosius Agung.[139] Konsili inilah yang kemudian menjadi terkenal sebagai Konsili Ekumenis III.[140] Jadi, berbeda dengan konsili Nicea dan Konstantinopel, Konsili Efesus tidak membuat syahadat. Bahkan dalam arti sesungguhnya tidak membuat rumusan apapun.[141]
            Pada pertengahan bulan Juni sudah hadirlah banyak peserta, misalnya Batrik Aleksandria, Konstantinopel, dan Yerusalem, yaitu Cyrillus, Nestorius, dan Yuvenalis, masing-masing disertai uskup-uskup mereka. Akan tetapi, Yahones Batrik Antiokhia, bersama para uskupnya belum tiba, dan juga para utusan Sri Paus belum ada. Walaupun sekitar 60 persen (termasuk Nestorius) mengajukan protes dan kuasa, Kaisar pun tidak menyetujui dimulainya persidangan, dan Cyrillus sebagai mana tercantum dalam suratnya yang kedua kepada Nestorius itu ditegaskan kesesuaiannya dengan imam ortodoks akan inkarnasi Sang Sabda, sedangkan ajaran Nestorius ditolak. Gelar Theotokos diakui. Empat hari kemudian tibalah Batrik Yohanes dari Antiokhia bersama para uskupnya. Ia mengadakan sinode tandingan bersama para uskupnya serta teman-teman Nestorius. Sinode ini membalas dengan melakukan yang sama terhadap Cyrillus: memberhentikan dan mengekskomunikasikannya. Sri Kaisar mula-mula mendukung keputusan dari kedua sinode itu dalam arti: ia menyatakan baik Cyrillus maupun Nestorius dipecat dan menyuruh mereka masuk pembuangan. Akan tetapi, kemudian Cyrillus berhasil bukan hanya untuk diizinkan kembali ke takhta keuskupannya (ia tiba pada tanggal 30 Oktober dan disambut sebagai seorang Athanasius yang kedua), tetapi juga untuk memperoleh pengakuan dari pihak Sri Paulus bahwa konsili yang diketuai Cyrillus itulah Konsili Ekumenis yang ketiga. Dengan demikian konsili itu disahkan. Sebaliknya, Nestorius menarik diri ke dalam biara di Antiokhia.[142]
v  Eutykhes, Flavianus, Paus Leo I, dan Konsili Chalecedon
            Konsili Efesus ternyata belum memuaskan semua pihak dan belum menyelesaikan masalah yang ada mengenai Kesatuan dan Perbedaan Yang Ilahi dan insani pada Yesus Kristus. Eutykhes (rahib suatu biara, ia meninggal sekitar tahun 450) dekat kota Konstantinopel  mengajarkan bahwa sifat manusia Kristus diserap oleh logos. Eutykhes mengajarkan bahwa Kristus hanya sehakikat dengan Allah, bukan dengan manusia. Hanya ada satu tabiat ilahi di dalam Kristus, sedangkan daging lenyap.[143]  Jadi, ia menolak gagasan bahwa Yesus memiliki dua tabiat.[144] Para penganut Monofistisme ini memang menerima bahwa Yesus Kristus itu juga manusia, tetapi mereka begitu menekankan keilahian-Nya sehingga kemanusiaan-Nya tidak berarti apa-apa. Paling tidak secara praktis kemanusiaan itu diserap oleh keilahian, kalaupun secara formal mereka mengakui Yesus Kristus sepenuhnya manusia.[145]
            Suatu sinode yang diketuai oleh Batrik Konstantinopel, Flavianus, berkumpul di kota itu pada tahun 448 untuk menyelidiki pikiran Eutykhes. Semua uskup yang hadir itu menganut mazhab Antiokhia. Mereka menilai Eutykhes sebagai wakil mazhab Aleksandria. Pada sinode tersebut, Flavianus mengemukakan sebagai ajaran ortodoks rumus ini: “Kami mengakui bahwa Yesus sesudah inkarnasi (terdiri) dari dua kodrat (ek dua physeis), sambil menerima satu Kristus, satu Anak, dan satu Tuhan dalam satu diri (hypostasis) dan satu pribadi (prosopon).” Keterangan ini jelas melawan pendekatan mazhab Alexandria (satu kodrat/physis, hypostasis), dan secara tegas membedakan antara istilah physis (kodrat) dengan hypostasis (diri) yang serarti prosopon (pribadi). Dan diri/pribadi itu tidak lain dari pada diri/pribadi Firman/Anak Allah pra ada (pra eksisten). Dengan demikian, peristilahan akhirnya menjadi jernih (setelah lama sekali kacau dan kabur).[146]
            Setelah Eutykhes dikutuk dan dipecat oleh Sinode Konstantinapolis (tahun 448), ia naik banding ke beberapa sinode lainnya dan juga kepada Sri Paus. Ternyata Dioskoros, Batrik Aleksandria, membela Eutykhes dan menerimanya dalam persekutuan, tetapi Paus Leo Agung sebaliknya menentang ajaran Eutykhes, yakni monofisitisme, sebagai bidaah baru. Dalam sepucuk surat dogmatis (epistula dogmatica) kepada Flavianus, Batrik Konstantinopel itu, Sri Paus mengungkapkan dengan jelas apa yang membedakan kedua kodrat Kristus sambil mempertahankan kesatuan pribadiNya. Paus Leo terpaksa menghabiskan banyak surat berdebat untuk keberadaan kedua kemanusiaan dan keilahian dalam Yesus Kristus; "masing-masing bentuk (membawa) pada kegiatan yang tepat dalam persekutuan dengan yang lain”.[147]          Surat Paus Leo yang tertangal 13 Juni 449 dan terkenal dengan nama Tomas Leonis (Risalah Paus Leo) ataupun Tomus ad Flavianum (Risalah kepada Flavianus)[148] menjadi termasyur karena pengaruhnya terhadap konsili Chalcedon yang akan diadakan dua tahun kemudian. Berhadapan dengan diskusi yang sulit dan panjang lebar di Gereja kawasan Timur itu, Risalah Paus Leo merangkum secara singkat Kristologi Gereja kawasan Barat yang tradisional. Di dalamnya termasuk bukan hanya Kristologi Tertullianus yang memang bersifat dasaria bagi Gereja di Barat, tetapi juga pengembangannya lebih lanjut berkat usaha Hilarius (meninggal tahun 367), Ambrosius (meninggal tahun 397), dan Augustinus, yang pada dasarnya mengikuti pola Firman-manusia (logos anthropos) ala perguruan Antiokhia dan dengan demikian berhadap-hadapan dengan model Firman daging (logos sarks) yang dipakai di mazhab Alexandria.[149]
            Setelah Eutykhes dikutuk dan diberhentikan oleh sinode di Konstantinopel pada tahun 448, ia sendiri bersama Batrik Dioskoros dari Aleksandria berhasil membujuk Kaisar Theodosius II supaya mengumpulkan suatu konsili di Efesus. Pada bulan Agustus tahun 449 konsili itu diadakan, dengan Dioskoros sebagai ketuanya. Tekanan terhadap para uskup yang hadir itu luar biasa besarnya. Tanpa mereka diberi kebebasan untuk mengeluarkan suaranya, Eutykhes direhabilitasi dengan alasan bahwa ajarannya tepat. Batrik Flavianus dipecat dan dianiaya, begitu pula Theodoretus, Uskup Kirus. Ajaran  bahwa pada Yesus Kristus sesudah inkarnasi terdapat dua kodrat itu dinyatakan bidaah. Para utusan Sri Paus tidak diberi kesempatan mengemukakan apa yang diajarkan Uskup Roma itu (yaitu epistula dogmatica). Sinode yang oleh Paus Leo I disebut sinode “penyamun” Efesus (Latrocinum Efesinum) ini jelas memenangkan perkara Eutykhes, yang berarti: pikiran mazhab Aleksandria. Santo Leo Agung langsung bertindak dengan mengadakan sinode di Roma pada bulan September tahun itu juga, di mana akta sinode “penyamun” itu secara resmi ditolak.[150]
            Sinode Roma ini meminta Kaisar Theodosius II supaya mengumpulkan konsili ekumenis di Italia, tetapi Sri Kaisar yang memihak pada kelompok Dioskoros-Eutykhes tidak mengabulkan permintaan ini. Baru dengan meninggalnya Theodosius II, maka pasangan Dioskoros-Eutykhes tidak lagi di atas angin. Kaisar Baru, Marcianus dan istrinya Pukheria, ingin meredahkan suasana yang panas itu. Beliau mendukung pendirian Flavianus, dan meniadakan keputusan-keputusan sinode “penyamun”, sambil memutuskan untuk mengadakan konsili lagi. Konsili itu diselenggarakan pada tahun 451 di Chalcedon, dan dikenal sebagai Konsili Ekumenis IV.[151]
            Yang hadir dalam Konsili Chalcedon kurang lebih 600 uskup, hampir semua dari kawasan Timur dan beberapa utusan Sri Paus. Konsili Chalcedon menegaskan kesatuan Yesus dengan  sifat, dan identitas-Nya dengan zat Ilahi.[152] Konsili ini memutuskan bahwa semua keputusan dan tindakan sinode “penyamun” dicabut, mendiang Flavianus direhabilitasi dan Dioskoros serta pendukungnya dipecat, merumuskan ajaran tentang dua kodrat dalam kesatuan personal Kristus, mengutuk monofisitisme, mensahkan konsili Efesus sebagai konsili ekumanis III, syahadat Konsili Nicea dibacakan, dua surat Cyrillus kepada Nestorius (konsili Efesus) dibacakan juga, begitu pula surat Paus Leo Agung kepada Flavianus tentang masalah Eutykhes. Setelah Tomus Leonis ini dibacakan, para Bapa Konsili berseru, “Petrus telah berbicara melalui mulut Leo.” Mula-mula mayoritas para hadirin mau membatasi diri pada butir-butir acara tadi, tetapi atas desakan Marcionis akhirnya disusun dan diterima suatu syahadat[153] mengenai iman sejati kepada Kristus.[154]
            Syahadat Konsili Chalcedon meminjam istilah-istilah yang dikemukakan oleh Paus Leo untuk membantah Nestorianisme di satu pihak, dan bidaah Eutykhes di lain pihak. Sekaligus syahadat ini dimaksudkan sebagai sintesis antara mazhab Antiokhia dengan Aleksandria berhubung dengan misteri Sabda yang telah menjelma. Bagian pertama syahadat Chalcedon menyangkut kesatuan pribadi, sedangkan bagian kedua mengenai dua kodrat dalam Yesus Kristus.[155] Sampai konsili Chalcedon, persoalan ataupun konflik tentang Kristologi belum secara tuntas diselesaikan, masih ada lagi permasalahan-permasalahan yang ada dan diadakanlah konsili-konsili lagi untuk menanggulangi masalah-masalah itu.

C.      YESUS KRISTUS DI TENGAH KONTEKS INDONESIA DALAM DKG OLEH PGI
Refleksi tentang Yesus Kristus di Indonesia yang diakui secara umum, dapat dilihat dalam “Dokumen Keesaaan Gereja (DKG), oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)”
            Dalam DKG, disaksikan bahwa Allah di dalam Yesus Kristus adalah Tuhan atas sejarah dan atas seluruh bangsa-bangsa, dan seluruh dunia ini  merupakan sasaran kasih Allah (bnd. Yoh 3:16).[156] Yesus Kristus itu tidak berubah, karena Ia adalah sama, kemarin, hari ini, besok, dan selama-lamanya.[157] Dan Injil Yesus Kristus adalah Injil pendamaian yang adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan dan memperdamaikan segala sesuatu dengan Allah (bnd. Rm 1:16-177; Kol 1:20). Allah di dalam Yesus Kristus adalah Allah yang memberlakukan keadilan dan kebenaran yang menyelamatkan (bnd. Rm 1:16-17; Luk4:18-19), yang menuntut pertobatan, yang mengaruniakan pengampunan dosa dan keselamatan, yang memberikan keadilan-Nya kepada orang-orang miskin dan tertindas, yang mengaruniakan kesejahteraan kepada segala bangsa, kepada segala makhluk (bnd. Luk 24:47; Mrk. 16:15).[158]
“Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa” (Ul 6:4). Tidak Allah selain Dia (Kel. 20:3; Ul 5:7). Dialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi serta seluruh isinya, dan yang tetap memeliharanya hingga kesudahan alam (Kej 1:2: Mzm24:1-2; 89:12; 104:1: Kol 1:16).[159] Allah menyatakan diri dalam karya penciptanNya dan dalam sejarah umat manusia (Mzm 19:2-3; Rm 1:19-20) dan secara khusus dan sempurna dalam Yesus Kristus Anak-Nya yang Tunggal (Yoh 1:18). Oleh pimpinan Roh Kudus dikenal dan disembah sebagai Bapa dalam Yesus Kristus.[160] Yesus Kristus adalah Perantara dari Allah dan manusia.[161] Jadi, Allah yang Maha Esa dan kekal, yaitu Allah Bapa, Anak (Yesus Kristus) dan Roh Kudus (Yes 43:10, 44:6; Mat 28:19; II Kor. 13:13; Flp 4:20; Ibr 13:8; Why 4:8).[162]
            Yesus Kristus juga adalah Juruselamat. Allah mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal, Yesus Kristus, dan di dalam Dia Allah menyediakan keselamatan bagi orang yang percaya (Yoh 3:16; Kis 16:31). Hanya pada-Nya manusia beroleh keselamatan yang kekal (Kis 4:12; Yoh14:6). Keselamatan itu telah mancapai manusia karena Yesus Kristus “yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan-Nya dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan mengosongkan diri-Nya sendiri, dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2:6-8), dan “Allah telah membangkitkan-Nya dari antara orang mati sebagai buah sulung bagi segenap orang percaya” (Kor 15:20-23).[163]
            Pemerintahan Allah dalam Yesus Kristus berwujud di dalam lingkungan dan suasana hidup yang di dalamnya terdapat kasih, kebenaran, keadilan, damai sejahtera, kesukacitaan, pemulihan dan pembaharuan hidup (Mzm 145:11-13; Mat 9:35; Luk 4:21; 4:43; Rm 14:7; I Kor 4:20).[164]
            Yesus Kristus yang sama telah menjadi Tuhan dan membudaya dan diterima akrab dalam setiap komunitas orang percaya dengan kebudayaannya masing-masing, sehingga Tuhan Yesus Kristus menjadi Pengesa dan suatu keesaan yang sangat majemuk merangkum semua manusia dengan segala kekayaan budayanya. Keesaan ini dinamai Oikumene Gerejawi (OG) yang adalah GKYE (Gereja Kristus/Kristen Yang Esa). Secara hakiki GKYE dipercayai adalah tubuh Kristus dalam setiap budaya dan lintas semua budaya sekaligus. Karena itu diupayakan agar keesaan Gereja itu akan nyata di Indonesia dan mencakup seluruh Gereja termasuk Gereje-gereja di luar PGI.[165]






D.      TAFSIRAN    YESAYA   63:9;   DANIEL    9:25;     MALEAKHI     3:1;            
 I TESALONIKA 4:16; IBRANI 1:3-5, 9; WAHYU 12:7-9
            Pada bagian ini penulis akan melakukan penafsiran atas teks-teks Alkitab yang dijadikan Frans Donald dasar bahwa Yesus adalah Malaikat Mikhael.
            Seperti yang dikemukakan oleh Frans Donald dalam ilustrasinya tentang ‘anak pantai’ untuk menjelaskan istilah “Anak Allah”. Ia mengemukakan bahwa untuk memahami istilah tertentu harus memiliki pemahaman yang jelas tentang konteks istilah itu dengan jelas, sehingga tidak salah dalam mengerti istilah itu. Hal yang sama juga berlaku dalam penafsiran Alkitab. Perlu untuk memperhatikan konteks dari teks-teks Alkitab untuk mengetahui maksud dari kesaksian para Penulis Alkitab tentang tulisannya.
            Dalam penafsiran Alkitab hal ini dipelajari secara khusus, sistematis, logis, dan koheren. Hal ini dipelajari dengan apa yang disebut dengan Hermeneutik.[166] Perlunya penafsiran dalam Alkitab disebabkan karena Alkitab itu ditulis oleh para penulis Alkitab terhadap suatu alamat penulisan tertentu dengan situasi dan budaya tertentu. Antara penulisan Alkitab dan pembaca sekarang memiliki suatu “jurang”. “Jurang” ini berupa perbedaan budaya, bahasa, pemahaman, situasi, dsb antara zaman penulisan Alkitab dan zaman sekarang.
            Untuk menjembatani “jurang” ini diperlukanlah hermeneutik. Dalam hermeneutik sekarang ini ada berbagai metode penafsiran Alkitab yang dipakai, misalnya metode historis kristis dan motode naratif. Metode historis kristis melihat teks-teks Alkitab seperti jendela, yaitu untuk membuka hal-hal yang kurang dimengerti, membuka makna dalam teks dan melihat aplikasinya untuk konteks sekarang. Untuk mengerti akan teks-teks Alkitab ini maka dalam metode historis kritis ini melakukan kritik teks (konteks dari teks dan konteks dalam teks), kritik budaya (konteks budaya), kritik historis (konteks sejarah), kritik lingusitik (konteks bahasa yang digunakan), kritik bentuk dsb. Sedangkan metode penafsiran naratif melihat teks sebagai kesatuan teks dan refleksinya untuk konteks sekarang. Metode naratif ini melihat teks sebagai suatu “cerita” dengan memperhatikan para tokoh, alur, setting, dsb. Metode historis kritis menekankan eksposisi teks-teks Alkitab, melihat teks secara diakronis, yaitu melihat teks itu terdiri dari suatu bagian-bagian tertentu, dan mengeksplorasinya, sedangkan metode narasi menekankan aplikasi dari teks-teks Alkitab, dan melihat teks-teks secara sinkronis, melihat kesatuan dalam teks. Inti dari metode-metode ini untuk mendapatkan apa teologi dari teks-teks tersebut untuk berefleksi, atau melihat aplikasi atau aktualisasinya dalam konteks sekarang ini.[167]
            Jadi, saat ini penulis akan melakukan penafsiran terhadap teks-teks Alkitab ini dengan menggunakan prinsip-prinsip hermeneutik yang ada, dan dalam hal ini menggunakan prinsip metode historis kritis.

1.      Tafsiran dalam PL
v  Yesaya 63:9

              Frans Donald mengutip ayat ini untuk menunjukkan bahwa “Malaikat Utusan di hadirat Allah-lah yang menyelamatkan (“u malakh pana’r hosyiah”)” manusia. Dan Yesuslah malaikat/utusan surgawi ini jadi Yesus adalah malaikat. Kutipan Frans Donald ini didasarkan pada terjemahan lama  Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) dan King James Version (KJV). Jadi kalimat “u malakh pana’r hosyiah” adalah kalimat  kunci yang akan menjadi fokus kerja hermeneutik ini.
              Dalam bahasa Ibrani (Biblica Hebraica) kitab Yesaya[168] diberi nama “Yeshayahu, yang berarti keselamatan (kelepasan) dari Tuhan”. Dalam terjemahan Yunani, LXX dipakai nama Esias dan dalam terjemahan Latin (Vulgata) disebut Isaias. Melalui pengaruh terjemahan Vulgata ini, maka dipakailah nama Yesaya.[169]
              Yesaya 63:9 digolongkan dalam Trito Yesaya (Yesaya III). Sebagian besar Firman Yesaya II menjawab doa keluhan umat Israel, demikian pula berita Yesaya III dihubungkan dengan doa umat yang menanti-nantikan penyelamatan mereka. Mazmur dalam Yesaya 63:7-64:12 ini, berasal dari zaman sesudah tahun 587 sM; mazmur ini merenungkan karya penyelamatan oleh Tuhan yang dimulai-Nya dengan Musa, dan mengakui bahwa Tuhan adalah benar di dalam hukum-Nya atau umat yang memberontak terhadap-Nya; namun demikian Israel tetap percaya kepada Allah sebagai Bapanya dan menanti-nantikan saatnya Ia mengoyahkan langit dan  turun (Yes 64:1) dan tidak menahan diri lagi (Yes 54:12). Jawaban diberikan dalam Yesaya 61:1-2, 11 dan 57:17-18.[170]
            Dari uraian yang ada[171] dapat dilihat bahwa kata (“u malakh pana’r hosyiah”) oleh LAI terjemahan baru dan LXX sama-sama menerjemahkan “bukan malaikat/utusan melainkan (Ia) Tuhan sendiri yang menyelamatkan”. Sedangkan KJV menerjemahkan: “Malaikat dari wajah-Nya yang menyelamatkan” dan LAI terjemahan lama menerjemahkan “Malak alhdliratnya yang menyelamatkan”. Perbedaan ini disebabkan karena kata Ibrani yang digunakan di sini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi.
             George Knight mengemukakan bahwa ada dua hal yang dapat disebutkan dengan kata-kata Ibrani yang diterjemahkan dengan “The angel of God” atau “the angel of Yahweh” ini. Yang pertama “Dia” di sini berarti tidak memiliki wujud keberadaan dari dirinya sendiri; dia tepatnya menunjuk pada apa yang malaikat artikan, atau pembawa pesan. Dia tidak penting dari dirinya sendiri, karena yang penting adalah berita yang disampaikannya. Pembawa pesan ini keluar dari mulut Allah dalam rupa malaikat (bnd Kej. 48:16). Kedua, “Firman” ini mengambil rupa seorang manusia, atau malaikat TUHAN ini kelihatan seperti wujud manusia bisa berpribadi tapi lain kali tidak (Kej 16:7-11; Bil 22:22-35; Hak 2:1-4; 6:11-12; 13:3-21). Johanes Calvin menafsirkan ini bukan hanya menunjuk pada Yesus Kristus (kaum Evengelical menekankan ini) sedangkan kaum Katolik menafsirkan ini hanya menunjuk pada Yesus Kristus. Allah memberi (the angel of God atau the angel of Yahweh) atau malaikat Tuhan ini bukan untuk mengganti diri-Nya sendiri tapi Dia sendiri menyelamatkan menurut kasih setia-Nya. Karena itu Israel sebagai mitra perjanjian, harus menuruti dan jangan memberontak lagi padanya malaikat Tuhan ini karena nama Tuhan ada dalan namanya (Kel 23:21).[172]          Dalam cerita persitiwa Exodus (keluarnya Israel dari tanah Mesir) bukan Malaikat Tuhan yang menyelamatkan dan memaafkan kesalahan umat Israel, melainkan Tuhan Allah sendirilah yang bisa mengampuni dosa dan menyelamatkan Israel (Yes 43:11-13).  Dalam Keluaran 14:19; 23:20-22; 33:2, 14 dan berulang-ulang di bagian Alkitab yang lainnya, terlebih khusus dalam Yesaya 37:36 dapat dilihat aktivitas yang dilakukan malaikat dapat dilihat wajah dari Allah (Allah yang bertindak melalui perantaraan Malaikat Tuhan ini dan Malaikat Tuhan ini bersikap seperti Tuhan). Barangkali karena hal ini kenapa LXX merasa perlu untuk keluar dari penafsiran yang berlatar belakang tradisi Ibrani (tentang Malaikat), dan dalam pengaruh budaya Yunani menafsirkan “bukan duta, tapi diri-Nya sendiri yang menyelamatkan mereka”.[173]
            Sedangkan,  M. Barth mengemukakan bahwa sebagai Bapa, Allah menjadi Juruselamat umat-Nya (ay. 8-9); gelar ini pertama-tama terdapat dalam Hosea (ay. 8-9; I Sam 10:19) dan menjadi suatu istilah kunci pemberitaan Yesaya II (Deutero Yesaya) (Yes 43:1) dan seterusnya (Bnd Mzm 106:21). Ia juga adalah Penebus umat-Nya; gelar ini berasal dari cerita keluaran (Kel. 6:6; 15:15; bnd: Mzm 74:2 dan 77:16; 78:35; 19:15) dan penting pula bagi Yesaya II yang mengemukakan bahwa Tuhan langsung  menolong dan tidak menyerahkan tugas itu kepada seorang duta, utusan (malaikat) karena ia mengasihi umat-Nya.[174]
            Untuk mengerti tentang Malaikat Yahweh ini, atau Malaikat dari wajah Allah atau bukan duta tetapi Allah sendiri ini, dapat diartikan juga dengan melihat konteks penulisan Yesaya 63:9 ini. Seperti yang dikemukakan dalam bagian latar belakang umum, bahwa bagian ini memiliki keterkaitan erat dengan mazmur 63:1-8, 10-14. Bagian ini bersama Yesaya 63:15-19 merupakan suatu kesatuan mazmur. Yesaya 63:7-14 menekankan bahwa Tuhan adalah Juruselamat dari dahulu kala, walaupun umat-Nya memberontak. Tuhan adalah Jurselamat ini sejajar dengan Hosea 13:4; I Sam 10:19. Keselamatan ini diakui oleh umat berasal dari Tuhan. Dan dalam Yesaya 63:9, keselamatan dilakukan melalui “Malaikat Yahweh atau Malaikat dari wajah-Nya atau hadirat-Nya”. Ini dikemukakan dalam budaya Ibrani. Orang Ibrani sangat menjunjung tinggi peranan Malaikat dalam perjalanan hidup Israel. Mulai dari Bapa leluhur mereka Abraham malaikat berperan ketika Malaikat Tuhan bertemu dengan Abraham (Tuhan menampakkan diri kepada Abraham, lalu muncullah tiga orang, kemudian dua dari tiga orang ini pergi ke Sodom dan mereka disebut Malaikat/Kej. 8:1-29), penyertaan Tuhan lewat tiang Api dan Awan dan itupun dilihat lewat kehadiran Malaikat Yahweh. Dan ketika orang Israel dihancurkan oleh bangsa Babel, dan mereka yang tersisa yang dibuang mengakui keselamatan mereka dari Tuhan, bahwa mereka tidak dibunuh dan akhirnya selamat walau dalam pembuangan (walaupun mengalami penjajahan) adalah bukti penyertaan Tuhan. Dan ini disaksikan berasal dari Tuhan lewat Malaiakat Yahwe atau Malaikat dari wajah-Nya.
            Ini bukanlah menjadi masalah bagi umat Israel waktu itu karena pandangan positif tentang malaikat dan yang penting mereka mengakui Tuhanlah yang menyelamatkan, walaupun dari hal ini dalam rupa Malaikat Yahweh atau Malaikat dari wajah-Nya. Tapi ini dikemukakan dalam alam pikiran Ibrani/Yahudi yang dinamis; yang menekankan pada bukan tentang apa sesuatu itu tapi apa pengaruhnya sesuatu itu; dalam hal ini menekankan bukan pada siapa Malaikat Yahweh atau Malaikat dari wajah-Nya  itu tapi pada pengaruh penyelamatan itu sendiri, karena mereka tetap mengakui penyelamatan itu sendiri dari Tuhan. Dan ini menjadi suatu masalah ketika LXX menerjemahkan ini. Dalam budaya Yunani sulit diterima bahwa Malaikat Yahweh atau Malaikat dari wajah-Nya yang menyelamatkan. Budaya Yunani yang statis,  yang menekankan apa sesuatu itu dan dalam hal ini menekanakan pada siapa sosok yang menyelamatkan itu. Yang diakui adalah Tuhan saja yang menjadi Juruselamat. Sehingga untuk mengatasi masalah ini  (menurut penulis) maka LXX/Septuaginta menerjemahkan: bukan utusan atau duta atau malaikat melainkan Tuhan sendirilah yang menyelamatkan.
            “Tuhan sendirilah yang menyelamatkan umat Israel” itulah penekanan ayat ini. Mazmur ini dikemukakan dalam konteks sesudah pembuangan dimana umat Israel merenungkan penyelamatan dari Tuhan; mulai dari Mesir, ketika Tuhan melalui perantaraan Musa menyelamatkan mereka dari orang Mesir, ketika mereka dihancurkan oleh Babel dan dibuang. Mereka yang tetap selamat ini merenungkan penyertaan Tuhan ini. Dalam ayat ini kata “selamat” yang digunakan adalah hosyiah.. Kata ini juga muncul dalam mazmur 20:10 yang menunjuk pada kemenangan raja. Hosyiah adalah kata yang menunjuk pada keselamatan dalam konteks perang (pembebasan dari mesir) dan penyertaan Tuhan atas kehidupan Israel. Kata ini juga dekat dengan kata Ibrani yasa. Yasa menunjuk pada keselamatan, yaitu kemerdekaan dari larangan-larangan, ikatan-ikatan, melepaskan, menyelamatkan dari kehancuran moral dan memberikan kemenangan.[175]
            Jadi, menurut penulis, persoalan yang penting dalam ayat ini bukanlah tentang siapakah Malaikat Yahweh, Malaikat dari Wajah-Nya ini; apakah menunjuk pada Malaikat Tuhan secara khusus, atau penampakkan Tuhan dalam rupa malaikat. Yang penting bukan malaikatnya tapi adalah pesannya. Boleh saja terjadi perbedaan pendapat dari pada para penafsir. Tetapi yang penting di sini adalah Tuhan sendiri yang menyelamatkan melalui “malakh atau aggelos dari wajah-Nya”, karena dalam konteks ini, keselamatan menunjuk pada peristiwa pembebasan Israel oleh Tuhan di tanah Mesir, penyertaan Tuhan setelah pembuangan (yang direnungkan dalam bentuk mazmur ini). Jadi keselamatan dalam konteks ayat ini sama dengan keselamatan yang dilakukan oleh Tuhan melalui perantaraan Musa terhadap orang Israel di tanah Mesir. Sehingga kesimpulan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa Malaikatlah yang menyelamatkan umat dan Malaikat ini menunjuk pada Yesus Kristus tidak mendapatkan bukti yang kuat, karena keselamatan yang dilakukan oleh Yesus Kristus memiliki ciri khas yang khusus, yang hanya bisa dilakukan oleh Allah sendiri, yaitu menyelamatkan manusia, dalam arti hidup yang kekal.
v  Daniel 9:25[176]
              Frans Donald mengemukakan bahwa Yesus adalah Almasih. Menurutnya ayat ini mengungkapkan dengan jelas bahwa Sang Penghulu Malaikat alias Mikhael itu tak lain dan tak bukan adalah Almasih alias Yesus Kristus. Kata-kata di ayat ini yang ditekankan oleh Frans Donald adalah Almasih, Penghulu itu…”  yang dikutipnya dari LAI 1958.
              Jadi kata kunci di sini adalah ad mesyiah (masyiah) nagid (negid).[177] Dr. S.M Siahaan (dan kawan-kawan) mengemukakan bahwa kata bahasa Ibrani (nagid) yang diterjemahkan “raja” oleh LAI menunjuk pada bermacam-macam pemimpin atau penguasa. Sebab itu tidak ada keberatan jika ungkapan “seorang yang diurapi, seorang raja” dianggap menunjuk pada Yosua, dan karena hati penyusun kitab Daniel lebih tertarik oleh hal keagamaan dari pada hal politik, sehingga besar kemungkinan dialah yang dimaksud di sini.[178] John J. Collins juga mengemukakan bahwa melalui perbandingan dengan Daniel 9:26 datangnya seorang yang diurapi harus dikaitkan dengan Yosua, Imam agung pertama setelah pembuangan (kemungkinan lain adalah Zerubabel gubernur).[179]       Yosua bin Yosedek, adalah Imam Besar pada masa pemulihan tahun 537 sM. Pada zamannya dibangun kembali mezbah dan Bait Suci ditahbiskan.  Tapi laju pemulihan itu dihalangi oleh perlawanan. Tahun 520 sM hatinya diteguhkan oleh nubuat-nubuat Hagai dan Zakharia, yang juga mencakup pembenaran oleh kasih karunia Allah yang nyata. Dalam nubuat Yosua disebut “Tunas” (tsemakh, Zakharia 6:12).[180]
              Sedangkan Lynne Newell mengemukakan bahwa “Seorang yang diurapi” dalam ayat ini menunjuk pada Yesus Kristus. Di Israel orang yang diurapi ialah seorang raja atau seorang imam. Tuhan Yesus memenuhi syarat itu. Ia adalah Raja dari keturunan Daud (Luk 1:32-3), dan “Imam Besar menurut peraturan Melkisedek” (Ibr 7:11, 17). Lagi pula, istilah “seorang yang diurapi” adalah mesyiah, meskipun kata itu tidak berarti “Mesias”, namun kemudian hari kata itulah yang menjadi istilah “Mesias” yang dipakai untuk Dia yang dinantikan itu. Dan Mesias itu adalah Kristus.[181]
              Dari uraian di atas ternyata para penafsir ada yang sama dan ada yang tidak menafsirkan masyiah nagid ini. Ada yang menafsir itu menunjuk pada Yosua Imam Besar Agung,  ada juga yang mengatakan kemungkinan bisa menunjuk pada Zerubabel, dan ada juga yang menunjuk pada Yesus Kristus. Sedangkan menurut penulis, mengenai kata mesyiah (Almasih) ini untuk sekarang penulis masih setuju dengan para penafsir, yaitu kemungkinan saja kata ini bisa menunjuk pada Yosua Imam besar dan juga pada Yesus Kristus. Tapi kata yang mengikuti kata ini dalam bahasa Ibrani yang disebut nagid menurut penulis bukan diterjemahkan dengan kata penghulu (dihubungkan dengan penghulu malaikat). Karena kata ini berarti “Seorang pemimpin besar”; yang mana kata ini bisa diterjemahkan dengan kata “Pangeran, Raja, atau Pemimpin berkududukan tinggi”.
              Kenapa kata ini tidak cocok diterjemahkan dengan kata penghulu (penghulu malaikat)? Karena kata yang diterjemahkan dengan kata “penghulu” ini dalam dalam bahasa Ibrani adalah hashar. Contohnya dalam Daniel 12:1: “Mikhael, pemimpin besar itu”; kata pemimpin besar diterjemahkan dari kata hashar. Dan dalam Daniel 10:13: “Mikhael…salah seorang dari pemimpin-pemimin terkemuka”; kata “pemimpin-pemimpin terkemuka” ini diterjemahkan dari kata hasharim akar katanya hashar yang berarti “para penghulu, para penguasa, para raja”, dalam bahasa Inggris diterjemahkan “the ruler”.
              Jadi, berdasarkan uraian tafsir yang ada, Daniel 9:25 tidak menunjuk pada Yesus Kristus sebagai Almasih yang menunjuk bahwa Ia adalah Penghulu Malaiakat alias Mikhael.
v  Maleakhi 3:1[182]
              Frans Donald mengemukakan bahwa Yesus Kristus adalah Malaikat dan bukan malaikat sembarangan karena Dia adalah Malaiakat perjanjian. Pernyataan ini didasarkan Frans Donald dalam ayat ini. Jadi kata kuncinya adalah “Malaikat Perjanjian”.
              R M. Paterson mengemukakan bahwa Malaikat Perjanjian ini adalah ungkapan yang tidak terdapat di tempat lain, dan tidak mungkin mengetahui artinya secara pasti. Mungkin Maleakhi menunjuk kepada utusan di atas langit. Tidak jelas, tetapi rupa-rupanya ayat 2 sampai 4 menunjuk kepada tugas utusan itu dan ayat 5 kepada tugas Tuhan.[183]
              Ada juga yang mengemukakan dalam ayat ini Kristus disebut sebagai "Malaikat Perjanjian", namun ungkapan ini lebih tepat diterjemahkan sebagai "Utusan
Perjanjian". Dan istilah "perjanjian" adalah sinonim dengan Injil,
jadi Kristus adalah Utusan Injil. Ia adalah fokus utama dari Injil.[184]
            Kemudian ada yang mengemukakan bahwa Alkitab LAI Terjemahan Resmi sebenarnya sudah menjelaskan secara tidak langsung bahwa oknum yang dimaksud dalam kata ”Malaikat TUHAN” atau ”Malaikat Allah” atau ”Malaikat Perjanjian” (Maleakhi 3:1) menunjuk kepada Pribadi Yesus Kristus yang menampakkan diri waktu Perjanjian Lama (PL), yaitu dengan memberi kata ”Dia” (Hak 13:16 - ”Dia itu Malaikat TUHAN”).[185]     
            Jadi kesimpulannya yang dimaksud dengan ”Malaikat TUHAN” atau ”Malaikat Allah” atau ”Malaikat Perjanjian” (Maleakhi 3:2) dalam Perjanjian Lama – The or an angel of the LORD, the messenger of the covenant adalah Tuhan Yesus atau Yesus Kristus atau Allah Anak dalam bentuk Teofani (Penampakan diri Allah dalam bentuk seorang malaikat).[186]
              Dari uraian tafsiran di atas, maka penulis setuju dengan tafsiran yang mengatakan bahwa malaikat perjanjian menunjuk pada Yesus Kristus tetapi dalam bentuk Teofani. Karena dalam teks-teks PL dikemukakan bahwa Allah sering kali menampakkan diri dalam rupa malaikat. (Kejadian 16:7-11; Keluaran 23:20-22; Bilangan 22:22-35; Hak 2:1-4; 6:11-22; 13:3-21). Jadi, Maleakhi 3:1 tidak menunjukkan bahwa Malaikat Perjanjian ini adalah Yesus Kristus dalam hal substansi bahwa Ia adalah Malaikat. Sehingga Ia bukanlah Malaikat alias Mikhael.

2.      Tafsiran dalam PB
Frans Donald mengutip Yohanes 5:30, 5:24, 5:35, 5:37, 6:29, 6:38, 6:57, 7:16, 7:28, 7:33, 17:3 yang intinya menjelaskan bahwa Yesus adalah utusan Allah. Frans Donald mengatakan bahwa ayat-ayat ini jelas mengemukakan bahwa Yesus adalah utusan Allah, dan utusan Allah adalah Malaikat Allah karena dalam bahasa Ibrani maupun bahasa Yunani kata Malakh dan aggelos bisa diartikan utusan[187]. Tapi berdasarkan hasil penafsiran penulis terhadap ayat-ayat Alkitab Perjanjian Baru yang mengemukakan bahwa Yesus adalah utusan Allah, termasuk ayat-ayat yang dipakai oleh Frans Donald, maka didapati bahwa utusan yang dimaksud di sini bukan menunjuk pada Malaikat.
  Dalam Mat 10:40; Luk 9:48; Yoh 3:17, 5:30, 6:39, 5:36, 6:57, 8:16, 13:20, 17:3, 17:8, 17:21, 17:18. 20:21, Yoh 20:21; dan I Yoh 4:9, 10, 14, yang mana semua ayat-ayat ini mengemukakan bahwa Yesus itu utusan Allah. Utusan di sini bukanlah terjemahan dari kata bahasa Yunani aggelos, tapi kata utusan dalam ayat-ayat ini diterjemahkan dari kata bahasa Yunani  apostelanta, apesteilen, pemphantos, apestalken, pemphas, pempho, dan apesteilas. Kata-kata ini oleh KJV dan NIV dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kata send, sent, sending, dalam bahasa Indonesia bisa juga diterjemahkan dengan “yang dikirim”. Jadi Yesus Kristus itu “dikirim” Allah, sehingga ayat-ayat ini memang tidak menunjuk pada Yesus adalah Malaikat.   
v  I Tesalonika 4:16
              Frans Donald menggunakan ayat ini untuk mendasari pendapatnya bahwa Yesus adalah malaikat Mikhael. Ia mengemukakan bahwa Alkitab jelas menyebut Mikhael sebagai Penghulu Malaikat. Sementara, kedatangan Yesus di akhir zaman, terkait pula dengan kedudukan Penghulu Malaikat. Dalam ayat ini ia menyamakan Penghulu Malaikat dengan Yesus Kristus. Jadi kata kunci di sini adalah “Penghulu Malaiakat”.
              Kata arcaggellou berasal dari kata aggelloV  yang diterjemahkan dengan Penghulu Malaikat[188].  Kata ini ditemukan dalam PB hanya dalam I Tesalonika 4:16 dan Yudas 9 (Mikhael). Konsep ini juga ditemukan dalam Wahyu 8:2 (ketujuh malaikat); Wahyu 8: 7 (malaikat pertama dari ketujuh malaikat), 8 (malaikat yang kedua dari ketujuh malaikat), 10 (malaikat yang ketiga dari ketujuh malaikat), 12 (malaikat yang keempat dari ketujuh malaikat); Wahyu 9:1 (malaikat yang ke lima dari ketujuh malaikat), 13 (malaikat yang ke enam dari ketujuh malaikat); 11:15 (malaikat ke tujuh dari ketujuh malaikat). Nama yang diberikan pada aggelloV, hanyalah Gabriel (Lukas 1:19) dan Mikhael (Yudas 9; Why 12:7).[189]
              Jadi penghulu malaikat, malaikat agung atau malaikat terpenting ini juga menunjuk pada lebih dari satu malaikat, yaitu ketujuh malaikat dalam kitab Wahyu, malaikat Mikhael atau malaikat Gabriel. Dan khusus ayat ini tidak disebukan nama dari malaikat ini. Kemudian dari keterangan-keterangan ini tidak ada yang menunjuk pada Yesus Kristus, termasuk dalam ayat ini. Sebab dalam ayat 16 ini mengkisahkan beberapa tokoh yang berbeda dengan sifat atau tugasnya yang berbeda, yaitu “penghulu malaikat untuk berseru”, “Tuhan yang turun dari sorga,” dan “mereka yang mati dalam Kristus akan bangkit.”.
              Ayat ini dalam hubungannya dengan ayat 4:13-18 adalah suatu kesatuan tentang datangnya kembali Tuhan. Kedatangan kembali Tuhan ini disertai dengan adanya kebangkitan tubuh (ay 13). Orang-orang yang meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama Yesus (ay 14). Mereka yang hidup tidak akan mendahului yang mati (ay 15). Ini terjadi dengan gambaran tanda diberi dan penghulu malaikat berseru, kemudian sangkakala Allah akan berbunyi, dan Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan dibangkitkan dahulu dari pada mereka yang masih hidup (ay 16) karena mereka yang masih hidup akan diangkat bersama-sama dan selama-lamanya bersama Tuhan (ay 17).
              Penulis I Tesalonika menuliskan surat ini karena jemaat Tesalonika pada waktu itu ada yang tidak memiliki pengharapan tentang orang yang meninggal khususnya orang yang mereka kasihi. Mereka berdukacita dan kehilangan pengharapan (4:13-14). Hal ini memang sesuai dengan kepercayaan Yunani yang tidak mengakui adanya kebangkitan tubuh. Tapi penulis surat I Tesalonika mau mengingatkan bahwa dalam Yesus Kristus ada kebangkitan, “termasuk kebangkitan tubuh”. Orang yang meninggal dalam Kristus tidak akan mati selamanya tapi akan dikumpulkan Allah. Sehingga kabar sukacita inilah yang disampaikan penulis kepada jemaat agar mereka bisa memperoleh pengharapan kembali dan tidak larut dalam dukacita.
              Jadi berdasarkan uraian tafsir yang ada, dapat disimpulkan bahwa dalam ayat ini Yesus Kristus (yang akan turun dari sorga) dan Penghulu Malaiakat (yang berseru) bukanlah Oknum yang sama, sehingga Yesus bukanlah Penghulu Malaikat.
v Ibrani 1:3-5, 9
              Ayat ini juga (terjemahan lama LAI 1958) yang menjadi landasan Frans Donald yang mengemukakan bahwa Yesus termasuk kawanan para malaikat itu. Ia adalah juga berwujud malaikat. Hanya saja ia ditinggikan melebihi teman-teman sekutunya itu. Kalimat kuncinya adalah “karena kepada siapakah di antara malaikat-malaikat itu” dan (ayat 5) dan “teman-teman sekutu-Mu” (ayat 9).
              Dari uraian yang ada[190], maka dapat dilihat bahwa terjemahan LAI TB lebih tepat menerjemahkan ayat 5 ini dari pada terjemahan LAI tahun 1958/1970. Karena hanya ada satu kata (dan kata sandang) dan hanya satu kali yang menunjuk pada malaikat, yaitu tvn aggelwn (dari malaikat-malaikat itu) dan bukannya malaekat manakah dari antara malaekat (ini sudah bersifat tafsiran penerjemah).
              Ibrani 1:5 adalah bentuk sastra puisi.[191] Ayat 5 ini memiliki kesamaan pola pikir/ide pokok dengan pararellisme antitesis.[192] Yaitu menjelaskan suatu ide pokok tertentu dengan cara yang berlawanan atau sebaliknya. Dalam hal ini, ide Yesus adalah Anak Allah dan semua malaikat harus menyembah-Nya (ay. 6) disampaikan secara beralawanan, yaitu Allah berkata kepada para malaikat: “Siapakah diantara para malaikat yang diantaranya Allah bertanya bahwa Ia adalah Anak-Nya yang telah diperanakan-Nya?” Jawabannya tidak ada yang dari malaikat. Karena pokok ucapan-Nya ini menunjuk kepada Yesus Kristus (2: 9, 10). Hanya Yesus Kristus, Anak Allah dan semua malaikat harus menyembah-Nya.
              Dalam hubungannya dengan ini, William Barclay mengemukakan bahwa “dalam Ibrani 1:5-14, penulis surat Ibrani berusaha untuk membuktikan keunggulan Yesus dibandingkan dengan semua nabi. Kini ia ingin membuktikan keunggulan Yesus itu di atas para malaikat. Bahwa penulis menganggap perlu melakukan hal ini untuk membuktikan bahwa Yesus lebih tingi dari Malaikat. Dalam alam pikiran Yahudi waktu itu sudah ada kepercayaan terhadap para malaikat. Pada waktu itu kepercayaan kepada malaikat itu semakit kuat, manusia makin lama makin kagum terhadap keutamaan Allah. Manusia makin menyadari jarak dan perbedaan yang ada di antara manusia dan Allah. Akibatnya manusia lalu menganggap malaikat menjadi perantara mereka dengan Allah. Mereka percaya bahwa malaikatlah yang menjembatani jurang antara manusia dan Allah, bahwa Allah bersabda dengan perantaraan malaikat, dan bahwa malaikat menyampaikan doa manusia kepada Allah. Proses ini dapat dilihat dalam satu contoh berikut: dalam PL hukum Allah diberikan langsung kepada Musa, tanpa ada perantara. Tetapi pada zaman PB orang Yahudi berkayakinan bahwa Allah memberikan hukum-Nya lebih dahulu kepada malaikat; dan para malaikat itulah yang kemudian menerusakannya kepada Musa, karena hubungan langsung antara Allah dan manusia dianggap tidak mungkin terjadi (Kis 7:53; Gal 3:19). Dalam Yesaya 6:1; I Raja-raja 22:19 ditemukan bahwa Allah dikelilingi oleh bala tentara sorga, yaitu para malaikat. Kadang-kadang para malaikat itu dianggap sebagai bala tentara Allah (Yos 5:14).[193]
              Kata bahasa Yunani untuk malaikat ialah aggeloi dan kata bahasa Ibraninya ialah mal’akim. Dalam kedua bahasa itu kata-kata tersebut mempunya arti pembawa berita dan juga malaiakat. Kenyataannya arti pembawa berita lebih lazim. Para malaikat adalah benar-benar makhluk yang menjadi sarana pembawa sabda Allah serta pelaksana kehendak Allah dalam dunia manusia. Menurut kata orang mereka dijadikan (diciptakan) dari unsur sorgawi yang berapi, laksana terang yang cemerlang. Mereka diciptakan pada hari kedua, atau kelima, ketika Allah menciptakan langit, bumi dan isinya. Mereka tidak makan atau minum, dan juga tidak beranak. Kadang-kadang mereka dianggap tidak dapat mati, meskipun Allah dapat saja memusnahkan mereka. Tetapi seperti yang dapat dilihat, bahwa ada kepercayaan lain tentang keberatan mereka itu. Sebagian dari mereka, yaitu serafim, kerubim dan ofanim (-im adalah akhiran bentuk jamak untuk kata benda bahasa Ibrani) senantiasa berada di sekililing takhta Allah. Mereka lebih berpengetahuan ketimbang manusia, terutama tentang kejadian-kejadian di masa datang. Tetapi pengetahuan itu tidak mereka peroleh dengan cara yang wajar, melainkan “melalui apa yang mereka dengar di belakang tabir.” Mereka dipandang sebagai semacam pengiring Allah.[194]
              Mereka digambarkan sebagai dewan pembantu Allah; Allah tidak akan berbuat sesuatu tanpa bermusyawarah dengan mereka lebih dahulu. Misalnya, waktu Allah berfirman: “Baiklah Kita menjadikan manusia” (Kej 1:26), maka di sini Allah berfirman kepada dewan malaikat itu.  Acap kali para malaikat itu berdiskusi dengan Allah dan menyampaikan keberatan mereka terhadap rencana-rencana-Nya. Mereka terutama berkeberatan terhadap penciptaan manusia; dan pada saat itu segerombolan mereka sempat dismusnahkan oleh Allah. Mereka juga menaruh keberatan terhadap pemberian hukum Tuhan, dan menyerang Musa ketika Musa berjalan naik ke gunung Sinai. Mereka melakukan semua itu karena mereka iri hati, dan tidak menghendaki adanya makhluk lain yang turut ambil bagian dalam tempat serta hak-hak luar bisa mereka.[195]
            Ada berjuta-juta malaikat. Baru kemudian mereka diberi nama oleh bangsa Yahudi. Dan antara mereka itu ada tujuh malaikat yang senantiasa siaga di hadirat Allah, yaitu para malaikat utama. Dari antara yang utama itu yan terpenting adalah Raphael, Uriel, Phanuel, Gabriel yang menyampaikan berita dari Allah kepada manusia, dan Mikhael, yang menentukan nasib umat manusia. Para malaikat itu mempunyai kewajiban banyak. Mereka menyampaikan berita dari Allah kepada manusia. Dalam melakukan tugas itu mereka menyampaikan berita, lalu gaiblah (Hak 13:20). Mereka campur tangan dalam berbagai peristiwa sejarah atas nama Allah (II Raj 19:35, 36). Ada dua ratus malaikat yang mengawasi geraknya bintang-bintang dan mengatur arahnya. Ada malaikat yang mengawasi pergantian tahun ke tahun, bulan ke bulan dan hari ke hari tanpa kesudahan. Ada malaikat yang berperan sebagai seorang pangeran yang menguasai atau merajai lautan. Ada malaikat-malaikat yang berkuasa atas es, hujan, salju, hujan es, guntur, dan kilat. Ada malaikat-malaikat yang menjaga mereka dan menyiksa mereka yang kena laknat. Ada malaikat-malaikat yang menjadi pelopor, yang mencatat setiap patah kata yang diucapkan manusia. Ada malaikat-malaikat yang merusak, dan malaikat-malaikat pelaksana hukuman. Ada setan, yaitu malaikat penuntut yang setiap hari terus menerus menuntut manusia di hadapan Allah, kecuali pada Hari Penebusan. Ada malaikat’ul maut yang hanya pergi melakukan tugas kalau disuruh Allah, dan yang tanpa memandang bulu memanggil orang yang baik maupun yang jahat untuk menghadap Allah. Setiap bangsa mempunyai malaikat yang menjadi pengawalnya, yang mempuyai prostasia, yaitu kuasa atas bangsa yang bersangkutan. Setiap orang pribadi pun mempunyai malaikat pengawalnya. Bahkan anak-anak kecil pun mempunyainya sebagai pengawal (Mat 18:10). Begitu banyaknya jumlah malaikat itu sehingga para rabbi dapat berkata: “Setiap daun rumput pun punya malaikat.”[196]
              Ada suatu kepercayaan khusus yang hanya dianut oleh beberapa orang. Kalau kepercayaan umum mengatakan, bahwa malaikat itu tidak dapat mati, maka ada orang-orang percaya bahwa malaikat itu hanya hidup satu hari saja. Ada kepercayaan dalam mazhab rabinis yang mengatakan, bahwa “Setiap hari Allah menciptakan sekelompok malaikat baru yang mengucapkan pujian di hadirat-Nya, dan setelah itu mereka lenyap.” “Setiap pagi para malaikat itu diperbaharui, dan setelah memuji Allah mereka kembai ke aliran api tempat asal mereka” Kitab 4 Esdras 8:21 menuturkan tentang Allah “yang di hadirat-Nya tentara sorgawi berdiri gemetar dan yang oleh sabdaMu mereka berubah menjadi angin dan api.” Dalam sebuah khotbah seorang rabbi menceritakan adanya malaikat yang mengucapkan: “Allah mengubah kita setiap jam . . . Kadang-kadang Ia menjadikan kita api, kadang-kadang angin..” Itulah juga yang dimaksud penulis Surat Ibrani jika ia berkata-kata tentang Allah yang mengubah para malaikat menjadi angin dan api.[197]
              Dengan kepercayaan tentang alam malaikat yang demikian itu (angelologi), maka menurut keyakinan manusia muncul  bahaya yang sudah besar, yaitu bahwa para malaikat itu akan mencampuri urusan antara Allah dan manusia. Makanya perlu sekali diperhatikan bahwa Putra Allah jauh lebih besar ketimbang para malaikat, dan bahwa orang yang mengenal Sang Putra tidak memerlukan malaikat sebagai perantaranya. Penulis Surat Ibrani telah melakukan hal itu  dengan memilih ayat-ayat yang baginya merupakan suatu rangkaian ayat yang secara jelas membuktikan bahwa Sang Putra telah diberi tempat yang lebih tinggi dari pada para malaikat. Ayat-ayat yang disebutnya ialah Mazmur 2:7; II Sam 7:14; Mazmur 97:7 atau Ulangan 32:43; Mazmur 104:4; 45:7, 8; 102-26, 27, dan 110:1. Bunyi ayat-ayat ini di dalam surat Ibrani berbeda dari bunyi ayat-ayat yang diketahui, karena penulis Ibrani mengambilnya dari Septuaginta, yaitu kitab suci PL bahasa Yunani, yang tidak selalu sama dengan kitab suci PL dalam bahasa Ibrani. Kitab suci PL bahasa Ibrani itulah yang menjadi sumber terjemahan Alkitab bahasa Indonesia. Beberapa ayat yang ia pilih sebagai bukti agak nampak aneh. Umpama saja, II Sam 7:14 yang aslinya hanya menunjuk kepada Salomo dan tidak ada sangkut pautnya dengan Sang Putra atau Almasih. Mazmur 102:26, 27 merupakan petunjuk tentang Allah dan bukan tentang Sang Putra. Tetapi nampaknya merupakan hal yang lazim kalau orang-orang Kristen kuno menemukan ayat yang memuat kata “Putra” atau kata “Tuhan” mereka menganggap punya wewenang untuk melepaskannya dari konteksnya lalu menerapkannya demikian saja pada Yesus.[198]
              Penulis surat Ibrani berusaha untuk menghindari bahaya. Ajaran tentang alam malaikat memang kedengaran tidak, tetapi mengandung suatu bahaya. Ajaran itu menampilkan sejumlah makhluk di luar Yesus yang dijadikan perantara yang menghubungkan manusia dengan Allah. Pada hal dalam iman Kristen sama sekali tidak ditunjukkan adanya perantara semacam itu. Karena Yesus dan pengorbanan-Nya telah secara pasti membuat manusia dapat langsung berhubung dan datang kepada Allah. Penulis surat Ibrani telah memaparkan kebenaran yang besar, yaitu bahwa manusia tidak memerlukan seseorang atau makhluk gaib untuk menjadi perantara yang membawa manusia datang pada Allah. Yesus Kristus telah mendobrak setiap perintang dan membukan jalan manusia untuk langsung menuju Allah.[199]
              Frans Donald juga mengemukakan bahwa dalam Ibrani 1:9 teman-teman sekutu Yesus sebelum turun ke dunia adalah para makhluk sorgawi alias malaikat. Hal itu cukup menjelaskan bahwa tentulah Yesus termasuk dalam bagian kawanan malaikat itu. Yesus juga berwujud malaikat. Hanya saja Ia ditinggikan melebihi teman-teman sekutunya.
              Ibrani 1:8-9 ini dikutip dari Mazmur 45:7-8. Metochous dalam Mazmur 45:6-7 sebenarnya menunjukkan raja yang lain. Ketika Salomo memerintah menurut hikmat yang Allah berikan dengan keadilan dan kelurusan, seluruh rakyat menyukai Salomo lebih dari pada raja yang lain (bnd: I Raj 3:16-28). Tetapi dalam isi surat Ibrani pasal pertama, yang dibandingkan adalah Kristus dan malaikat. Dalam bukunya Tafsiran Surat Ibrani, Moffat menganggap  metochous adalah malaikat. Tetapi dalam Tafsiran Surat Ibrani-nya John Calvin, menganggap metochous adalah saudara-saudara yang kudus yang mendapat bagian dalam panggilan surgawi. Dalam ajaran tanya jawab yang ditulis John Calvin, ia berkata: “Karena Iman aku menjadi anggota tubuh Kristus dan membagikan pengurapan-Nya. Aku diurapi untuk nama-Nya yang kudus, mempersembahkan diri kepada-Nya dan menjadi korban hidup dengan ucapan syukur. Dengan alam pikiran yang bebas, seumur hidup aku melawan dosa dan penjahat. Dengan demikian, aku berkuasa bersama dengan Kristus serta menguasai segala ciptaan sampai selama-lamanya”.[200]
              Peter Wongso mengemukakan bahwa:  “ayat 8 dan 9 ini dikutip dari Mzm 45:6-7. Mazmur tersebut adalah puji-pujian dalam pernikahan raja, garis besarnya adalah pendahuluan (ay 1), keunggulan dan anugerah raja (ay 2-4), raja menang dalam peperangan (ay 5), prinsip pemerintahan negara: adil dan lurus (ay 6-7), kesukaan raja bersama denan anak-anak istananya (ay 8-9), mengenai ratu, putri dan dayang (ay 10-15) dan kesimpulan (16-17).[201]
              Siapakah yang dipuji dalam Mazmur ini? John Calvin, reformator abad ke 16 menganggap hal ini melukiskan upacara pernikahan raja Salomo. Dalam terjemahan Yerusalem, bahasa Inggris Roma Katolik pada tahun 1966 tertulis: “Ini merupakan syair pujian dalam upacara pernikahan raja Salomo, Yerobeam kedua dan raja Ahab”. Pada umumnya ahli-ahli agama Yahudi menganggap bagian ini merupakan pujian dalam upacara pernikahan. Kaum Injili menganggap bahwa mazmur ini adalah mazmur nubuatan mengenai upacara pernikahan Mesias sebagai Raja. Pada tahun 1946 Alkitab Terjemahan Baru bahasa Inggris yang diterbitkan oleh gereja Skotlandia, selain menyinggung keilahian Anak Allah, juga menerjemahkan demikian: “Takhtamu akan bagaikan takhta Allah sampai selamanya.” Jikalau diperhatikan bahwa konteks ayat-ayat ini adalah untuk menerangkan keilahian Kristus: “Tentang Anak, Ia berkata, takhtamu kepunyaan Allah, tetapi untuk seterusnya dan selamanya.” Dengan jelas di sini disebutkan bahwa “Anak” adalah “Allah”. selanjutnya: “Takhta-Nya tetap untuk seterusnya dan selamanya.” Hal ini menyatakan bahwa Anak Kudus adalah Allah, memiliki sifat keilahian dan takha-Nya akan sampai selamat-lamanya.[202]
            Jadi, Ibrani 1:3-5, 9 (dalam kesatuan dengan Ibrani 1:1-14) merupakan kesaksian penulis Ibrani bahwa Yesus itu adalah Anak Allah, Ia adalah Allah, Ia lebih tinggi dari para malaikat, dan oleh karena itu Ia harus disembah oleh Malaikat, karena Ia bukanlah Malaikat.




v  Wahyu 12:7-9[203]
              Frans Donald mengemukakan bahwa Mikhael-lah yang berperang dan mengalahkan Iblis, Satan, Naga besar alias si ular tua itu. Sedang dari Kitab Ibrani 2:14 didapati keterangan bahwa Yesuslah yang mengalahkan dan memusnahkan Iblis. Jadi, kesimpulannya Yesus mengalahkan Iblis, Mikhael mengalahkan Iblis. Jadi Yesus adalah Mikhael.
               Wahyu 12:7-9 merupakan suatu kesatuan dengan Wahyu :12:1-18. Dalam penglihatan perempuan dan naga, maka dapat dilihat bahwa setelah naga tidak berhasil menelan Anak laki-laki yang akan menggembalakan semua bangsa dengan gada besi; dimana Anak ini dibawah lari kepada Allah dan tahta-Nya. Identitas Anak laki-laki (uίon/uίoV) menunjuk kepada Yesus Kristus. Dia akan memerintah semua bangsa dengan tongkat besi, dan barang siapa yang memang akan diberi hak untuk ikut dalam pemerintahan-Nya. Ini adalah suatu kutipan mazmur 2:9, mazmur Mesianis. Setelah cerita ini, maka dalam penglihatan ini memperlihatkan adanya suatu peperangan antara Mikhael dengan malaikat-malaikatnya dan iblis dengan malaikat-malaikatnya.
              Gagasan tentang iblis, musuh bebuyutan Allah, berasal dari agama Persia kuno. Di sini Angra Mainya, Roh yang marah, hampir merupakan lawan yang setara dari Ahura Mazda, Tuhan yang bijaksana. Gagasan ini diambil alih oleh bangsa Yahudi dalam rupa Satan, kekuatan utama dari kejatahatan dan dosa. Dalam Iman Israel kuasa jahat itu negatif, perusak pekerjaan Allah, tetapi tidak pernah menjadi lawan yang setara dengan Allah.
              Dalam kitab Ayub, satan bertindak sebagai pendakwa di hadapan Allah. Kata satan berarti “pendakwa”. Kata Yunaninya diabolos (pemfitnah), dari situ diturunkan kata “devil” dan “iblis”, yang berarti “penipu”. Peranan iblis di sini sebagai pendakwa atau penuduh yang menuduh orang-orang percaya kepada Allah. Tujuannya agar iblis dapat mengalahkan manusia atau menjatuhkan mereka. (bnd: Ayb 1:6-12; 2:1-6; 21, 3:1).
              Wahyu 12:9 sejajar dengan konteks pelemparan iblis dari surga, yang tentangnya dibicarakan di sini, dengan penglihatan yang mendahului, yakni kenaikan Kristus ke surga. Justru karena Kristus telah mencapai kemenangan besar dalam penderitaa-Nya, kebangkitan-Nya dan kenaikan-Nya ke surga, maka malaikat-malaikat dapat menghalaukan iblis dari surga. Apa yang tertulis dalam ayat 7 dan 8 ini adalah betul-betul sama dengan apa yang Yesus katakan dalam Lukas 10:18: “Aku melihat iblis jatuh seperti kilat dan langit” yang berarti bahwa oleh pekerjaan Yesus, iblis menderita kekalahan dan kehilangan kuasanya, yaitu mendakwa.[204]
              Dari hal ini, dapat dilihat bahwa Yesus Kristus yang dilukiskan dalam Wahyu 12:1-18 sebagai Anak laki-laki (ay 4) mengalahkan Iblis lewat kematian, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga. Kekalahan iblis di sini, yaitu ia kehilangan kuasanya untuk mendakwa manusia. Dan mereka yang memberikan nyawanya pada Kristuspun ikut mengalahkan iblis, yaitu tidak jatuh dalam dakwaan iblis (ay 11). Dalam penglihatan ini Mikhael malaikatnya berperang dengan iblis dan malaikatnya. Dalam peperangan ini iblis dilemparkan ke dunia dari sorga, dan bukannya dikalahkan oleh Mikhael[205], karena malaikat Mikhael sendiri dalam perselisihan dengan iblis tentang mayat Musa tidak berani menghakimi iblis, dan mengatakan kiranya Tuhan yang menghardik iblis (Yudas 9). Dan Tuhan dalam konteks surat Yudas di sini ialah Yesus Kristus (Yudas 4).
              Berdasarkan uraian tafsir ini, maka dapat dilihat bahwa Mikhael yang berperang dalam Wahyu 12:7-9 tidak menunjuk pada Yesus Kristus yang memusnahkan Iblis dalam Ibrani 2:14. Jadi, Wahyu 12:7-9 tidak menyimpulkan bahwa Mikhael adalah Yesus Kristus.
            Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan dalam Bab II ini, yaitu dalam penjelasan “Yesus Historis”, bahwa Yesus Kristus benar-benar pernah hadir dalam sejarah manusia secara real. Ia ikut merasakan apa yang dialami oleh manusia, tapi Ia bukanlah manusia biasa, karena Ia adalah Allah. Dalam refleksi Kristologis Abad Mula-mula sampai Konsiili Chalcedon terjadi berbagai pergumulan dan tantangan yang ada. Ada yang pendapatnya diakui dan ada yang tidak. Hal ini disertai dengan pengutukan-pengutukan, pengucilan-pengucilan bahkan penganiyaan terhadap siapa yang tidak mematuhi keputusan yang ada. Dari serangkaian pergumulan yang ada tentang Yesus Kristus, pada akhirnya meneguhkan bahwa Yesus Kristus adalah Allah, yaitu sehakikat (homo ousias) dengan Allah walupun berbeda Diri, Pribadi (hypostasis, prosopon). Pada Yesus Kristus itu terdapat dua kodrat/tabiat (physe), yaitu yang Ilahi dan Insani. Konsep Yesus Kristus adalah Malaikat Mikhael sudah ada dari dulu, yaitu dalam pikiran Apokaliptik melalui karya Hermas, yaitu “Pastor”. Tapi pemahaman ini tidak mendapatkan dukungan yang kuat. Hal ini bukan menjadi perdebatan Kristologi pada masa ini (masa Bapa-bapa Gereja sampai Konsili Chalcedon).
            Pemahaman (Yesus adalah Malaikat, karena itu Ia adalah ciptaaan) memiliki kemiripan dengan pemahaman yang mengatakan bahwa Yesus bersifat Ilahi tapi Ia adalah ciptaan sehingga Allah lebih tinggi dari pada Yesus. Pemahaman ini (Allah lebih tinggi dari Yesus Kristus) berasal dari Yustinus Martir, Tertullianus, dan Origenes. Sedangkan Arius mengemukakan bahwa Yesus hanyalah ciptaan dan Dia bukanlah Allah (seperti Frans Donald yang menyimpulkan bahwa Yesus bukanlah Allah). Tetapi pemahaman ini ditentang oleh Aleksander, Athanasius dan mendapatkan rumusan yang baku bahwa Yesus itu adalah Allah, sehakikat dengan Allah walaupun berbeda Pribadi atau Diri dalam konsili Nicea dan Kontantinopel. Yesus Kristus memiliki kodrat atau tabiat Ilahi dan insani seperti dalam konsili Efesus dan Chalcedon.
            Dalam refleksi Yesus Kristus di Indonesia, seperti yang dikemukakan oleh PGI dalam DKG, bahwa Yesus Kristus adalah Allah Anak, Tuhan dan Juruselamat semua bangsa. Ia adalah Pendamai, Pelaku keadilan dan kebenaran, Ia mengaruniakan kesejahteraan terhadap segala bangsa. Ia menjadi Pengesa dari suatu keesaan yang majemuk yang merangkum semua manusia dengan segala kebudayaannya. 


            Dari berbagai uraian tafsir yang ada, dapat disimpulkan bahwa  dalam Yesaya 63:9; Daniel 9:25; Maleakhi 3:1; I Tesalonika 4:16; Ibrani 1:3-5, 9; Wahyu 12:7 dan teks-teks yang lain (Bab II) tidak ada ayat manapun yang menunjukkan bahwa Yesus adalah Malaikat Mikhael alias Penghulu Malaikat.

BAB III
ANALISIS DAN REFLEKSI


            Seperti yang dikemukakan dalam Bab I, bahwa Frans Donald menjadi sosok kontroversi sekarang ini karena mengemukakan bahwa Yesus adalah Malaikat Mikhael. Hal ini diresponi dengan pro dan kontra. Yang kontra memberikan pandangan yang negatif terhadap Frans Donald, menghinanya, mengatakan ia adalah pembawa ajaran sesat, dsb. Yang mengkritik ini yakin bahwa ia yang paling benar. Sebaliknya Frans Donald pun menanggapi akan hal ini dan yakin juga bahwa pendapatnya yang paling benar dan sesuai Alkitab. Hal ini bisa dilihat dalam situs-situs internet yang ada, seperti yang dipaparkan di Bab I. Bahkan ada debat-debat terbuka yang dilaksanakan untuk menanggapi hal ini. Dari debat tersebut muncul sikap saling mempersalahkan, dan saling menyatakan diri paling benar. Perbedaan di antara mereka membuat mereka saling menuduh yang satu dengan yang lain adalah ajaran sesat. Tapi apakah cara ini relevan dengan konteks sekarang di Indonesia, yaitu konteks pluralitas?
            Sebelum lanjut akan hal ini, perlu dikemukakan bahwa kontroversi tentang keilahian Kristus sekarang belum apa-apa dibandingkan dengan kontroversi pada zaman Bapa-bapa Gereja sampai konsili Chalcedon. Seperti yang dipaparkan dalam Bab II, kontroversi ini bukan hanya diwarnai dengan saling membenarkan dan menyalahkan, mengatakan yang berbeda pendapat adalah ajaran sesat. Zaman ini juga diwarnai dengan hal-hal yang lebih ekstrim lagi, yaitu adanya pengucilan, penganiyaan, terhadap orang-orang yang ajarannya tidak sesuai dengan keputusan-keputusan konsili. Bahkan ini bukan hanya menjadi masalah Gereja, tapi juga menjadi masalah Negara, sehingga melibatkan Kaisar.
            Ironis memang, ketika Kekristenan yang pada awalnya mengalami masa penghambatan karena mengakui Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, tetapi hidup dalam dalam cinta kasih. Pada waktu itu banyak yang mati sebagai martir. Dalam penghambatan iman sesungguhnya bertumbuh, sehingga muncul istilah “semakin dibabat semakin merambat”. Setelah perjuangan tersebut membuahkan hasil, yaitu diakuinya agama Kristen sebagai agama negara, muncul persoalan Kristologis yang diresponi dengan perdebatan yang mengakibatkan pengucilan, pengutukan, penganiyaan, dsb. Apakah ini mencerminkan sikap kekristenan? Ironis memang seseorang atau kelompok menyatakan bahwa ia memiliki ajaran Kristen yang benar (yang menekankan kasih), tapi di sisi lain ia tidak menghargai pendapat yang berbeda dengannya, malah melakukan pengucilan, bahkan penganiyaan.
            Oleh karena itu penulis tidak setuju dengan pola perdebatan yang menjurus pada hal-hal yang saling menghina dan saling menyalahkan terhadap perdebatan apakah Yesus itu Allah atau Malaikat Mikhael, seperti yang terlihat dalam kontroversi Frans Donald saat ini. Disadari memang ini memberikan dampak negatif terhadap iman kristen, karena yang menjadi pokok perdebatan di sini adalah dasar kekristenan itu sendiri. Tetapi menurut penulis hal ini adalah kesempatan untuk membuat analisa kritis terhadap pandangannya.
            Dalam hubungannya dengan ini, konsep Frans Donald yang mengemukakan bahwa Yesus itu adalah Malaikat Mikhael bukanlah sesuatu hal yang baru. Sebelumnya Saksi Yehova dan komunitas Kristen Tauhid pun beranggapan hal yang sama, bahkan sejak awal kekristenan pemahaman ini sudah ada. Hal ini bisa dilihat dalam refleksi orang Kristen Yahudi, yaitu karangan Hermas, seorang Pastor Yahudi (Bab II). Waktu itu karangan Hermas ini dipengaruhi oleh pemikiran apokaliptik dan dianggap memiliki kewibawaan sebagai kitab suci.
            Frans Donald sering mengungkapkan bahwa pendapatnya ini sesuai dengan ajaran Alkitab. Kalau begitu pertanyaan yang muncul dengan hal ini adalah: apakah pemahaman Yesus adalah Malaikat Mikhael sesuai dengan ajaran Alkitab? Jika ya, mengapa karangan Hermas di atas tidak masuk dalam kanon Alkitab PB? Bukankah kalau sampai karangan Hermas ini dimasukkan dalam kanon PB, akan sangat jelas kelihatan bahwa Yesus itu adalah Malaikat Mikhael. Berdasarkan catatan sejarah yang ada hal itu tidak terjadi. Ini berarti karangan Hermas tidak dapat dimasukkan dalam kanon, karena tidak sesuai dengan ukuran kanon pada waktu itu. Kanon Alkitab disusun salah satunya sebagai alat perlawanan terhadap bahaya gnostik pada waktu itu, disamping adanya Pengakuan Iman dan Uskup yang melawan gnostik. Penetapan kanon Alkitab PB beriringan dengan terjadinya perdebatan Kristologis, yaitu menyangkut keilahian dan kemanusiaan Yesus Kristus, maupun relasi antara Yang Ilahi dan insani pada Kristus.
            Menurut penulis dari segi ini, Alkitab dijadikan dasar untuk menghadapi doktrin-doktrin Kristologi yang berbeda dengan pengakuan Iman Gereja pada waktu itu (Nicea-Chalcedon). Andaikata Alkitab tidak dapat dijadikan dasar yang kuat dari dogma Kristologi (pengakuan iman Nicea-Chalcedon), maka tidak mungkin Alkitab diterima sebagai Kanon orang Kristen pada waktu itu yang diumumkan secara resmi oleh Gereja.
            Walaupun disadari ada juga pihak-pihak yang mendasari Alkitab untuk mengemukakan bahwa Yesus itu bukanlah Allah. Tapi kalau dilihat dari sisi historis kanon Alkitab PB itu diakui, maka dapat dilihat bahwa dalam Alkitab PB itu terdapat kesaksian bahwa Yesus itu adalah Allah.
            Dalam PB terdapat suatu pengakuan iman jemaat tentang Yesus Kristus, yaitu “kyrios Yesus Christos” (Roma 10:9, II Kor 11:13, Gal 6:18, dan masih banyak lagi terdapat dalam teks-teks PB); artinya Tuhan Yesus Kristus atau Yesus Kristus adalah Tuhan. Yesus Kristus adalah kyrios.[206] Dalam PB kesaksian tentang Yesus Kristus adalah Allah sudah ada. Tapi perlu disadari bahwa “Alkitab tidak secara tuntas mengatasi perdebatan Kristologis ini”. Karena ada pihak yang menggunakan teks-teks Alkitab dan mengemukakan bahwa Yesus itu bukanlah Allah sejati, walaupun Ia bersifat Ilahi, seperti Saksi Yehova, Kristen Tauhid dan Frans Donald. Hal ini wajar, karena teks-teks Alkitab (PB) disusun bukan dalam konteks perdebatan Kristologis tapi dalam konteks tertentu untuk jemaat tertentu dengan permasalahan teologis tertentu.
            Dalam hubungannya dengan hal ini, Athanasius adalah orang yang pertama kali mengakui 27 kitab PB yang diakui sebagai kanon. Sebelumnya ada kanon Marcion (gnosis) dan Irenius yang melawan gnosis. Athanasius adalah teolog pendukung konsili Nicea (1 hakikat, 3 pribadi; Yesus adalah Allah (bukan Malaikat Mikhael)). Kalau 27 kitab ini oleh Athanasius tidak menyaksikan bahwa Yesus adalah Allah mana mungkin Athanasius mengakuinya sebagai kanon? Justru karena Athanasius melihat dalam 27 kitab ini dapat menyaksikan bahwa Yesus adalah Allah, maka Athanasius mengakui 27 kitab ini sebagai kanon.
            Dari uraian Kristologi Bapa-bapa Gereja sampai konsili Chalcedon, maka dapat dilihat bahwa Kristologi adalah sebuath misteri. Karena telah berabad-abad diusahakan jalan tengah terhadap perdebatan Kristologi, tapi tetap saja terjadi  perbedaan pendapat. Hal inipun berlaku sampai sekarang ini. Mereka yang tidak mengakui Yesus sebagai Allah sejati, seperti Irenius, Tertullianus, Origenes, Arius, saksi Yehova, Kristen Tauhid dan Frans Donald, adalah orang-orang yang berusaha merefleksikan Yesus Kristus. Yang walaupun berbeda dengan pemahaman penulis tetapi harus dihargai. Karena penulis menyadari refleksi penulis tentang Yesus Kristuspun masih “samar”, nanti jelasnya nanti mungkin ketika bertemu langsung dengan Yesus Kristus nanti. Karena apa gunanya kita  menganggap Kristologi kita yang benar, tapi menghina, mengucilkan, pemahaman yang berbeda? Biarkan Kristus sendiri yang menjadi hakim atas hal ini.
            Sebagai orang Kristen, kita harus memiliki panduan iman atau ajaran yang kuat tentang Yesus Kristus untuk dijadikan dasar kehidupan. Bahkan Yesus Kristus bukan hanya dasar, tapi juga keselamatan itu sendiri. Tidak mengakui Yesus sebagai Allah berdampak pada keselamatan itu sendiri. Walaupun Gereja sekarang ini diperhadapkan dengan pemahaman yang lain bahwa Yesus itu adalah Malaikat Mikhael, maka Gereja harus memberikan tanggapan kritis atas hal ini. Menghargai pendapat ini tapi juga berpegang teguh terhadap ajaran yang diterima Gereja tentang Kristus.
            Frans Donald mendasari bahwa dari kesaksian-kesaksian Alkitab bahwa Yesus itu adalah Malaikat Mikhael. Pola penafsiran Frans Donald disebutnya sebagai metode penafsiran ayat Alkitab menjelaskan ayat Alkitab[207]. Alasannya supaya tidak jatuh terhadap pandangan ahli dalam metode-metode penafsiran ilmiah.  Frans Donald mengutip ayat-ayat yang mengemukakan bahwa Yesus itu utusan Allah, lalu Ia menyimpulkan bahwa utusan itu adalah Malaikat, sehingga Yesus adalah Malaikat. Ia juga mengutip teks-teks yang mengemukakan bahwa Mikhael adalah penghulu Malaikat, dan mengambil teks-teks untuk menghubungkan Yesus dengan Mikhael. Ia mengutip Yesaya 63:9 (terjemahan lama LAI) untuk mengemukakan bahwa Yesus adalah penyelemat, dan dalam ayat ini yang menyelamatkan umat adalah Malaikat. Jadi Yesus adalah Malaikat. Frans Donald mengutip Maleakhi 3:1 bahwa sebagai Malaikat, Yesus bukanlah sembarang Malaikat, Ia adalah Malaikat Perjanjian. Kemudian Frans Donald mengutip Daniel 9:25 (terjemahan lama LAI) sebagai penghubung Yesus dan Mikhael. Frans Donald mengemukakan bahwa ayat ini menyatakan bahwa Almasih adalah penghulu. Almasih adalah Yesus dan Penghulu adalah Malaikat Mikhael, Ia juga mengutip I Tesalonika 4:16, Ibrani 1:5,9 dan Wahyu 12:7 dan menyimpulkan Yesus adalah Malaikat Mikhael.
            Pola penafsiran Frans Donald ialah pola silogisme. Yaitu mengambil suatu penyataan tertentu ditambah penyataan yang lain dan menyimpulkannya. Contoh Silogisme adalah buah itu bergizi, apel adalah buah, jadi apel itu bergizi. Frans Donald mengemukakan bahwa Yesus adalah Almasih, Almasih disebut juga penghulu yang adalah Malaikat Mikahel, jadi Yesus adalah Malaikat Mikhael; Yesus adalah Penyelamat, Malaikat Mikhael juga menyelamatkan umat, jadi Yesus adalah Malaikat Mikhael. Pola silogisme ini memiliki kelemahan, contohnya: Anjing adalah binatang, kucing adalah binatang, jadi anjing adalah kucing. Apakah contoh ini menggambarkan realitas yang sebenarnya? Tidak, begitu juga dengan pola silogisme Frans Donald terhadap Yesus Kristus adalah Malaikat Mikhael.
            Frans Donald mengemukakan bahwa dalam menafsir harus memakai prinsip-prinsip penafsiran, yaitu memperhatikan konteks.[208] Tetapi hal ini tidak sepenuhnya dipakai dalam penafsirannya. Ia hanya memperhatikan konteks kata-kata dalam teks, dan tidak memperhatikan konteks budaya,  kritik historis, dsb. Frans Donald melakukan harmonisasi teks-teks Alkitab[209] dan eisegesis,[210] yaitu mengutip ayat-ayat dan menunjuk pada ayat yang lainnya dan menarik kesimpulan tanpa memperhatikan konteks budaya, historis, linguistik dalam teks-teks tersebut.
            Berdasarkan hasil penafsiran penulis, maka teks-teks yang dikemukakan sebagai rujukan Yesus adalah Malaikat Mikhael, yaitu Yesaya 63:9, Daniel 9:25, Malekahi 3:1, I Tesalonika 4:16, Ibrani 1:5, 9, Wahyu 12:7-9 (dan juga teks-teks yang lain seperti yang dipaparkan dalam Bab II) tidak ada yang menunjuk bahwa Yesus adalah Malaikat Mikhael. Bahkan Ibrani 1:3-5 secara khusus mau menyaksikan bahwa Yesus lebih tinggi dari para Malaikat, dan para Malaikat harus menyembah-Nya.
            Pergumulan Kristologi Bapa-bapa Gereja-Konsili Chalcedon adalah bagaimana merefleksikan Kristus di tengah-tengah konteks pada waktu itu. Konteks menghadapi bahaya gnostik, konteks bagaimana mengakui Yesus adalah Allah di tengah-tengah pemahaman monoteistik, dan bagaimana mengakui Yesus adalah benar-benar manusia dan Allah, serta relasi yang Ilahi dan insani pada diri Kristus. Menurut Penulis, hal yang sama dialami juga oleh Frans Donald. Ia bergumul bagaimana merefleksikan Kristus yang adalah manusia dan bersifat ilahi di tengah konteks monoteistik dan implikasinya dalam konteks pluralitas saat ini di Indonesia. Jalan yang ditempunya adalah Yesus adalah Malaikat Mikhael. Dengan demikian Yesus tetap diakui bersifat Ilahi, benar-benar berinkarnasi menjadi manusia dan sesuai dengan konteks pluralitas, dimana dalam pluralitas agama pada umumnya mengakui Allah Yang Esa (monoteis). Hal ini digumulinya karena melihat realitas perang agama di Indonesia yang menjurus pada konflik dan memakan korban. Dengan mengakui Yesus adalah Malaikat Mikhael, maka Frans Donald mengemukakan bahwa agama Islam dan Kristen bisa dipertemukan, sehingga bisa diperdamaikan. Kesamaan doktrin diharapkan bisa menyebabkan terjadinya persatuan antar umat beragama. Pergumulan Frans Donald ini mendapatkan dukungan dalam lingkungan Kristen Tauhid.
            Sayangnya pemahaman ini tidak Alkitabiah. Menurut tafsiran penulis di Bab II tentang ayat-ayat Alkitab yang dijadikan dasar Frans Donald mengemukakan bahwa Yesus adalah Malaikat Mikhael, ditemukan bahwa ayat-ayat ini tidak mendukung pendapat Frans Danold. Malah, dalam Ibrani 1:3-9, secara spesifik mau menunjukkan bahwa Yesus itu lebih tinggi dari Malaikat, semua malaikat harus menyembah-Nya, karena Ia bukan malaikat tapi Allah. Walau demikian, ada pelajaran penting yang dikemukakan oleh Frans Donald dalam pemahaman Kristologi umat Kristen sekarang ini, yaitu bagaimana merefleksikan Yesus Kristus dalam konteks kita, khususnya juga di Indonesia. Diakui bahwa refleksi Kristologi Bapa-bapa Gereja sampai Konsili Chalcedon harus bisa dibahasakan dengan bahasa yang cocok dengan konteks sekarang, bahkan harus ada penyusunan pengakuan iman tentang Yesus Kristus sesuai dengan konteks sekarang. Disadari hal ini tidak gampang karena pengakuan iman Nicea-Kontantinopel saja memakai waktu bertahun-tahun dan diwarnai konflik, tapi walaupun begitu hal ini sudah bisa diusahakan mulai dari sekarang.
            Merefleksikan Yesus Kristus dalam konteks sekarang, sudah menjadi pergumulan dari para teolog, khususnya di dunia ketiga. Muncul teologi kontekstual yang melahirkan teologi Pembebasan di Amerika Latin, teologi Minjung, teologi Kerbau  di Asia. Dan bagaimana di Indonesia? Teologi/ Kristologi apa yang cocok untuk konteks Indonesia?[211]
            Merefleksikan Yesus Kristus dalam konteks pluralitas sekarang ini, khususnya di Indonesia bukanlah hal yang baru. Banyak yang telah berusaha melakukan hal ini, khususnya dalam usaha untuk mencari titik temu antara agama Islam dan Kristen agar tidak terjadi lagi perang agama. Hal ini dapat dilihat dengan  usaha-usaha untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama dengan adanya kesamaan doktrin. Misalnya usaha yang menekankan bahwa Allah Islam dan Kristen itu sama, atau ada yang berusaha mencari titik temu dengan mengemukakan bahwa Abraham atau Ibrahim sama-sama merupakan Bapa leluhur Islam dan Kristen, ataupun yang mengemukakan Nabi Isa dalam Islam sama dengan Yesus Kristus dalam Kekristenan. Hal yang samapun dilakukan Frans Donald. Ia mencari titik temu antara Islam dan Kristen, yaitu pada sosok Yesus Kristus, agar supaya Allah orang Islam dan Kristen sama dengan asas monoteisnya, maka konsep Yesus Kristus adalah Allah menjadi masalah dan sering menjadi pokok pertikaian.  Oleh karena itu Frans Donald mengungkapkan Yesus Kristus itu bukanlah Allah tapi Malaikat Mikhael, sehingga bisa mendapatkan titik temunya.   Hal ini dilakukan Frans Donald karena juga pengaruh dengan Kristen Tauhid yang memiliki pandangan yang sama. Terlihat ironis karena oknum-oknum yang menimbulkan kontroversi-kontroversi ini tidak memiliki latar belakang pendidikan teologi yang memadai, termasuk Frans Donald.
            Sebagai refleksi kristologis atas pemahaman Frans Donald ini dalam konteks Indonesia, menurut penulis tidak harus ada kesamaan doktrin untuk adanya kerukunan. Kesamaan doktrin antara Islam dan Kristen (harapan Frans Donald) bukan menjadi kunci kerukunan di Indonesia. Buktinya sesama Kristen saja yang sama-sama mengakui Yesus adalah Allah sering terjadi konflik (misalnya konflik antara golongan arus utama dengan aliran pentakostal/kharismatik). Yang penting bukan kesamaan doktrin, tapi pola pikir dan sikap yang saling menghargai perbedaan doktrin yang ada. Perbedaan bukanlah alat pemecah, tapi dengan perbedaan kita bisa saling menghargai doktrin masing-masing. Merefleksikan Yesus Kristus dalam zaman post modern dengan pendekatan dogmatika, misalnya dalam hubungannya antara dogma Islam dan Kristen memang tidak akan bertemu. Karena jelas memang dogma Islam dan Kristen berbeda. Tetap hargailah perbedaan yang ada sambil mempertahankan kebenaran dogma yang diyakini. Biarkan saja muncul berbagai buku, film kaset kontroversi tentang Yesus Kristus, kita tidak boleh meresponi hal ini secara destruktif, tapi hargailah sambil tetap mempertahankan ajaran Gereja yang diterima sampai dengan saat ini. Hargailah perbedaan yang ada tetapi tetap kritis.
            Oleh karena itu merefleksikan Yesus dalam konteks pluralitas di Indonesia (sesuai juga dengan refleksi tentang Yesus Kristus oleh PGI dalam DKG) adalah mewartakan Yesus yang adalah Pengasih, Pembebas, Pendamai, Penolong, Pelawan ketidakadilan, Pelawan korupsi, Pelawan kolusi, serta Pelawan nepotisme, Yesus Kristus yang menghendaki adanya kerukunan. Refleksi-refleksi ini juga harus ditunjukkan oleh orang-orang Kristen dalam pola pikir dan tingkah lakunya dalam hidup sehari-hari.
















PENUTUP:
KESIMPULAN DAN SARAN

A.      KESIMPULAN:
v Pemahaman Frans Donald bahwa Yesus adalah Malaikat Mikahel bukanlah hal yang baru, karena pemahaman ini sudah ada dari dulu dan dinyatakan bidaah oleh Gereja
v Pemahaman Frans Donald yang mengemukakan konsep Yesus adalah Allah hanyalah produk dari konsili-konsili tidak tepat, karena konsep Yesus benar-benar Allah (dan Manusia) yang dirumuskan pada zaman Bapa-bapa Gereja-Konsili Chalcedon bukan hanyalah produk dari konsili-konsili saja tapi juga sesuai dengan kesaksian Alkitab.
v Pemahaman Frans Donald bahwa Yesus adalah Malaikat Mikhael memiliki kesamaan dengan konsep dari Hermas, saksi Yehovah, dan Kristen Tauhid.
v  Pemahaman Yesus adalah Malaikat Mikhael tidak mendapatkan bukti yang kuat dalam kesaksian Alkitab. Berdasarkan tafsiran ayat-ayat Alkitab yang ada didapati bahwa Yesus bukanlah Malaikat Mikhael, Yesus lebih tinggi dari Malaikat, para Malaikat harus menyembah-Nya, karena Yesus adalah Allah.
v  Frans Donald melakukan harmonisasi teks-teks Alkitab dan eisegesis. Frans Donald mengutip ayat-ayat Alkitab dan menunjuk pada ayat yang lainnya dan menarik kesimpulan tanpa memperhatikan konteks budaya, historis, linguistik, dalam teks-teks tersebut. Jadi Frans Donald tidak menggunakan sepenuhnya prinsip-prinsip penafsiran Alkitab untuk menafsirkan teks-teks Alkitab yang dijadikannya dasar bahwa Yesus adalah Malaikat Mikhael.
v Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, yaitu dalam rangka saling menghargai dan bukan saling menyalahkan, didapati bahwa terjadi perbedaan pendapat antara Frans Donald dengan penulis. Frans Donald mempercayai dan mengakui bahwa Yesus Kristus bukanlah Allah melainkan Malaikat Mikhael. Sedangkan penulis mempercayai dan mengakui bahwa Yesus Kristus adalah Allah dan bukan Malaikat Mikahel.
v Pergumulan Kristologi sekarang (termasuk pergumulan Kristologi Frans Donald) adalah bagaimana merefleksikan Kristus di tengah-tengah konteks Pluralitas. Dalam konteks Pluralitas (sesuai juga dengan refleksi tentang Yesus Kristus oleh PGI dalam DKG), Yesus adalah Pengasih, Pembebas, Pendamai, Penolong, dan Pelawan ketidakadilan, Pelawan korupsi, Pelawan kolusi, serta Pelawan nepotisme, Yesus Kristus yang menghendaki adanya kerukunan.


B.       SARAN:
Ø Perlu dikaji atau diadakannya penelitian lebih lanjut tentang bagaimana merefleksikan Yesus Kristus di tengah konteks pluralitas.
Ø Perlu dikaji dan dikritisi atau diadakannya penelitian lebih lanjut terhadap tokoh-tokoh (orang-orang yang seperti Frans Donald) dan aliran-aliran Kristen yang kontroversial (seperti Kristen Tauhid).
Ø Perlu diadakannya studi lebih lanjut bagaimana menghargai pendapat yang berbeda dengan dogma Gereja, sambil tetap memegang teguh dogma Gereja sesuai perkembangan dogma itu sendiri.
Ø Perlu adanya penjelasan tentang isu-isu Kristologis yang kontroversi saat ini, seperti Kristologi Frans Donald dalam materi katekisasi sidi jemaat.
Ø Menulis jurnal, buku-buku untuk menanggapi isu-isu Kristologi saat ini di majalah, koran, dan internet.
Ø GMIM hendaknya mulai merumuskan pengakuan Imannya tentang Yesus Kristus sesuai konteks saat ini.































DAFTAR PUSTAKA

Literatur:
Armstrong, K., SEJARAH TUHAN, Kisah Pencarian Tuhan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam 1000 Tahun, Bandung: Mizon, 2002
Arikunto, S.,  Prosedur Penelitian, Yogyakarta: Rineke Cipta 1998
Avis, P., Ambang Pintu Teologi, Jakarta: BPK GM, 1991
Banawiratma, JB (ed)., Kristologi dan Allah Tritunggal, Yogyakarta: Kanisius, 1989
Barclay, W., Pemahaman Alkitab setiap Hari, IBRANI, Jakarta: BPK GM, 1981
Barth, M., Tafsiran Alkitab Kitab Yesaya Pasal 55-66, Jakarta: BPK GM, 2003
Barth,  M-Pareira,   B., Tafsiran Alkitab KITAB MAZMUR1-72, Pembimbing dan Tafsirannya, Jakarta: BPK GM, 1997
Berkhof, H – Engklaar, I., Sejarah Gereja, Jakarta: BPK GM, 1988
Bertes., K., Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1975
Bloomendaal, J. Pengantar kepada Perjanjian Lama, Jakarta: BPK GM, 1979.
Brill, W., Tafsiran surat Ibrani, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1993
Brown, C., Christian & Western Thought, Vol. 1, Leicester: Apollos, 1990
Chilton, B., Studi Perjanjian Baru bagi Pemula, Jakarta: BPK GM, 1994
Collins, J., Daniel, Yogyakarta: Kanisius, 1998
Darmawijaya, St., Pengantar ke dalam Misteri Yesus Kristus, Yogyakarta: Kanisius, 1990
Davidson, I., A Public Faith: From Constantine to the Medieval World AD 312-600 Volume Two The Baker History of the Church, Michigan: Grand Rapids, Baker Books, 2005
de Heer, J., Tafsiran Alkitab WAHYU YOHANES II, Jakarta: BPK GM, 1978
Diester, N., Teologi Sistematika I,  Yogyakarta: Kanisius, 2008
Donald, F., Allah dalam Alkitab & Al Qur’an, Sesembahan yang SAMA atau BERBEDA, Semarang: Borobudur Indonesia Publishing, 2008
…………..., Kasus Besar yang Keliru: Ternyata YESUS MALAIKAT, Semarang: Borobudur Indonesia Publishing, 2009
…………..., MENJAWAB DOKTRIN TRITUNGAL Tentang Ke-allah-an Yesus, Semarang: Borobudur Indonesia Publishing, 2009
Draine, J., Memahami Perjanjian Baru, Jakarta: BPK GM, 1996
Drewes, B-Mojou, J., PENGANTAR KE DALAM ILMU TEOLOGI, Jakarta: BPK GM, 2003.  
E, Sumaryono., Hermeneutik, Yogyakarta: Kanisius, 1993
Ehrman, B.,  Lost Christianities,Oxford University Press
Enss, P., THE MOODY HANDBOOK OF THEOLOGY, Buku Pegangan Teologi I, Malang: Literatur SAAT, 2003
Foxe, J., Kisah para Martir Tahun 35-2001, Yogyakarta: Yayasan Andi, 2001.
Garlow, J-Jones, P., Cracking Da Vinci's Code, Colorado: Cook Communications, 2004
Fee, G-Stuart, D., Bagaimana Menafsirkan Firman Allah dengan Tepat, Malang: Gandum Mas, 1989
Groenen, C., SEJARAH DOGMA KRISTOLOGI, Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 2009
H, Hadiwijono., Apa dan Siapa Tuhan Allah, Jakarta: BPK GM, 1974
........................., Sari Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta: Kanisius, 1985
H, Sutanto.,  Hermeneutic: Prinsip dan Metode Penafsiran, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1993
Hagelberg, D., Tafsiran kitab Wahyu; DARI BAHASA YUNANI, Yogyakarta: Yayasan Andi, 2005)
Haye, J- Holladay, C., Pedoman Penafsiran Alkitab, Jakarta: BPK GM, 1996
Hill, A-Walton, J., Survei Perjanjian Lama, Malang: Gandung Mas, 1996
Jacobs, T., IMANUEL, Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, Yogyakarta: Kanisius,  2000
………....,  PAHAM  ALLAH, dalam Filsafat, Agama-agama dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2006
Keene. M, Kristianitas, Yogyakarta, Kanisius, 2006.
Knight, G.,  ISAIAH 55-66. The New Israel, Edinburg: The Handsel Press LTD, 1985
Kristiyanto, E., Gagasan yang Menjadi Peristiwa, Sketsa Sejarah Gereja Abad I-XV, Yogyakarta: Kanisius, 2002
…………….…, SELILIT SANG NABI, Bisik-bisik tentang Aliran Sesat, Yogyakarta: Kanisius, 2007
Lane, T., Runtut Pijar, Jakarta: BPK GM, 1993
Lasor, W., et. all.,  Pengantar PL 2 Sastra dan Nubuat, Jakarta: BPK GM, 1994
Lembaga Biblika Indonesia., Surat-surat Ibrani,  Yogyakarta: Kanisius, 1985
Lohse, B., Pengantar Sejarah Dogma Kristen, Jakarta: BPK GM, 1989
McBride A-Praems, O., Images of JESUS: Menyelami 10 Rahasia Pribadi Yesus, Jakarta: Obor, 2003
McGuckin, J., St Cyril of Alexandria and the Christological Controversy, SVS, 2004
Millard, J-Erickson, J., TEOLOGI KRISTEN Volume II, Malang: Gandum Mas, 2003
Milne, B., MENGENALI KEBENARAN, Jakarta: BPK GM, 2003
Nazir, M.,  Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, Jakarta 1988
Newell, L., SERI TAFSIRAN  ALKITAB Kitab Daniel, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1996
Norris, A., “Letter to Flavian of Constantinople.” The Christological Controversy, Philadelphia, Fortress
Norris, R., God and World in Christian Teologi Premier: A Study in Yustinus Martir, Irenaeus, Tertullian dan Origen, London:  Adam & Charles Black, 1966
O' Carroll, M., Trinity, Delaware: Michael glazier, Inc, 1987
P, Wongso., Eksposisi Doktrin Alkitab Surat Ibrani, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT)), 1997
Paterson, R., Tafsiran Alkitab Kitab Nabi Maleakhi, Jakarta: BPK GM, 1985
Pos, A., Tafsiran WAHYU, Jakarta: BPK GM, 1966
Ramsdell, G., Teologi Yustinus Martir, Jena: Frommann, 1923
Saruan, J., Iman Kristen, Tomohon: Lembaga Penerbitan Diakonos, 2005
Siahaan, S., et. all, KITAB DANIEL Latar Belakang, Tafsiran dan Pesan, Jakarta: BPK GM, 1994
Soedarmo, R., Ikhtisar Dogmatika, Jakarta: BPK GM, 2006
Sudjaly, B., SEJARAH DOGMA TRINITAS, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1986
Sutama, A., Yesus Tidak Bangkit? Menyingkap Rekayasa Yesus Historis dan Makam   Talpiot, Jakarta: BPK GM, 2007
Sutompul, A., Metode Penafsiran Alkitab, Jakata: BPK GM, 1997
Tenney, M., Survey Perjanjian Baru, Malang: Gandung Mas, 1997
Urban, L., Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK GM, 2003
van de Beek, A., KRISTUS Pusat Kehidupan Kita, Jakarta: BPK GM, 2003
van den End, Th., Harta Dalam Bejana, Sejarah Ringkas, Jakarta: BPK GM, 1986
Vorgrimler, H., TRINITAS; BAPA, FIRMAN DAN ROH KUDUS, Yoyakarta: Kanisius, 2005
Wellem, F., Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK GM, 1996.
Widyapranawa, S., Tafsiran Jesaya 1-12, Jakarta: BPK GM, 1973
Y, Mulyono., Teologi Ketabahan; Ulasan atas Kitab Wahyu Yohanes, Jakarta: BPK GM, 1993

Referensi:
LAI., Alkitab, Jakarta, 1970
…..., Alkitab, Jakarta, 1984
…..., Alkitab, Jakarta, 2002
…..., Alkitab, Jakarta, 2004
…..., Alkitab, Jakarta, 2007
…..., Alkitab Perjanjian Lama Ibrani-Indonesia, Jakarta, 1999
…..., Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Jakarta, 2003
Balz, H-Schneider, G (ed)., EXEGETICAL DICTIONARY OF TE NEW TESTAMENT VOLUME II,  Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1991
Botterceck, J, et. all., THEOLOGICAL DICTIONARY VOL. I-VIII, Michigan: WB. Eerdemans Publishing Company, 1997
Bromiley, G (ed)., Theological Dictionary of The New Testament Vol II, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1964
Brown, C (ed)., Exegitical Dictionary of the  New Tastement Vol I-III, Michigan: Exeter Tge Pater Noster Press, 1980
Douglas, J (peny)., Ensiklopedi ALkitab Masa Kini Jilid I A-L, Jakarta: YKBK/OMF 2007
…………………., Ensiklopedi ALkitab Masa Kini Jilid II M-Z, Jakarta: YKBK/OMF 2007
Elwell, W., Evangelical Dictionary of Theology, Grand Rapids: Baker Book House, 1984.
Green, J., The Interlinear Hebrew/Greek English Bible, Vol. I, Lafayetk, Indiana: Associated Publisher and Authors, Inc, 1981
………...., Pocket Interlinear New Testament, Numercially Coded to Strong’s Exhaustive Concordance, Michigan: Baker Book House, 1988
H, Sutanto., Perjanjian Baru Interliner Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru (PBIK), Jilid I, Jakarta: LAI, 2003
Heuken. A, Ensiklopedi Gereja III, Jakarta, Yayasan Cipta Loka Caraka, 1993
Moulton, H., The Analytical Greek Lexicon Revised, Michigan: Regency Reference Library Zondervan Publishing House, 1978
Nestle, E-Aland,  K.,   Novum Testamentum Grace, Stuttgart: Wurttembergische Bibelanstalt, 1963
Nicoll, W (ed)., The Expositori’s Greek Testament, New York and London Press: 1978
O’Collins,G-Farrugia,G., Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2000
Rahlfs, A., Septuaginta II, Stuttgart: Wruttembergische’ Biblelanstalt, 1935
Turabian, K., A Manual for Writers of Term Papers, Theses, and Dissertations,  Sixth Edition, Chicago: The University of Chicago Press,
Walker, D., Konkordansi Alkitab, Jakarta: BPK GM, 2005

Website:
http://en.wikipedia.org/wiki/Arius
http://gpdworld.us/content/pdstudi-tatabeket/keselamatan
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&lanpair=enId&u=http://www.earlychurch.org.uk/tertullianus.php 
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&lanpair=enId&u=http://www.earlychurch.org.uk/tertullianus.php
http://www /renungan_dan_artikel/kristen_tauhid_tidak_akui_trinitas
http://www.sarapan pagi.org/siapakah-mikhael-penghulumalaikat-vt2325.html
http://www.thetruthaboutdavinci.com/the-council-of-nicaea.html

Wawancara:
FD., Wawancara, 20- November -2009
FD., Wawancara, 21- November -2009
FD., Wawancara, 09-Februari-2010





LAMPIRAN

LAMPIRAN BAB II:
Ø  Konsili Nicea
            Syahadat iman yang diolah seperluhnya dari syahadat iman di kota Kaisarea (Palestina) yang dipakai dalam upacara baptisan:
“Terkutuklah oleh Gereja Katolik  dan apostolik mereka yang berkata: “Pernah Ia (yaitu Putra Alah) tidak ada”, dan bahwa Ia dijadikan dari yang tidak ada, atau orang yang menyatakan bahwa Putra Allah berbeda hypostasis atau hakikat-Nya, atau telah dijadikan, atau mengalami perubahan, mereka ini dikutuk oleh Gereja Katolik[212] (ini dijadikan anatema atau kutuk, laknat terhadap pendapat bidaah).
            Isi dari syahadat Nicea adalah (yang ditambahkan oleh konsili Nicea dari syahadat yang sudah ada diberi huruf tebal):
“Kami percaya kepada Allah yang satu, Bapa Yang Maha Kuasa, Pembuat segalahnya, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan;
Dan kepada satu Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, Tunggal lahir dari Bapa (ialah: dari zat/hakikat/ousia Bapa, Allah dari Allah, cahaya dari cahaya, Allah benar/sejati dari Allah benar/sejati, dilahirkan/diperanakkan, tidak dibuat, sezat/hakikat: homo ousios dengan Bapa), yang oleh-Nya segalahnya dijadikan, yang ada di surga dan di bumi, yang karena kita manusia dan karena keselamatan kita datang dari atas menjadi daging, menjadi manusia, menderita dan pada hari ketiga bangkit, pergi ke atas ke surga, datang mengadili orang hidup dan mati,
Dan kepada Roh Kudus”
 (sesudah syahadat ini menyususul anatema, kutuk, laknat terhadap para bidaah).[213]  
            Syadat Nicea ini juga pada intinya mengemukakan suatu rumusan teologis mengenai Allah Bapa dengan Anak (dan Roh Kudus), yaitu satu hakikat (homo ousios) dan tiga Pribadi (hypostasis, prosopon) (Istilah hypostasis dan prosopon sudah dibedahkan seperti definisi yang diberikan oleh Ketiga Bapa Kapodakia dan Flavianus).
            Akibat keputusan dari Syahadat ini, maka Arius serta uskup-uskup pembangkang dipecat dan dibuang ke pedalaman. Tulisan-tulisan Arius dibakar dan siapa yang mempunyai tapi tidak menyerahkan terancam hukuman mati.[214]

Ø  Konsili Kontantinopel
            Konsili Kontantinopel yang mengambil alih syahadat konsili Nicea dan memperluas artikel ketiga yang menyangkut Roh Kudus. Rumusannya, yaitu:
“Kami percaya akan satu Allah, Bapa Yang Maha Kuasa,  Pencipta langit dan bumi, dan segalah sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan.
Dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah yang tunggal;
Ia lahir dari Bapa sebelum ada segala abad, terang dari terang, Allah benar dari Allah benar, dilahirkan bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa, segala sesuatu dijadikan oleh-Nya,
Ia turun dari sorga untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita, da ia menjadi daging oleh Roh Kudus dari perawan Maria, dan menjadi manusia, Ia pun disalibkan untuk kita pada waktu Pontius Pilatus, Ia wafat kesengsaraan dan dimakamkan, pada hari yang ketiga Ia bangkit menurut Kitab Suci, Ia naik ke surga, duduk di sisi Bapa, Ia akan kembali dengan mulia, mengadili orang yang hidup dan yang mati, Kerajaan-Nya tak akan berakhir.
Dan akan Roh Kudus,
Ia Tuhan yang menghidupkan, Ia berasal dari Bapa, Yang serta Bapa dan Putra disembah dan dimuliakan, Ia bersabda dengan perantaraan para nabi.
Akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik. Kami mengakui satu baptisan akan penghapusan dosa. Kami menantikan kebangkitan orang mati dan hidup di akhirat, Amin.[215]

Ø  Paus Leo
            Hal-hal yang ditekankan Leo Agung dalam risalahnya, yaitu:
à Pribadi Sang Allah-manusia, pribadi Dia yang menjadi daging, adalah identik dengan pribadi logos Ilahi.
à Di dalam satu pribadi yang dimiliki oleh logos yang telah menjelma itu terdapat dua kodrat, ilahi dan insani, secara selaras tetapi tidak tercampur. Sri Paus merumuskan begini: “Sifat dan ciri masing-masing kodrat yang berpadu dalam satu pribadi itu tinggal utuh, seraya keluhurannya menerima kerendahan, kekuatan dan kelemahan, kebakaan kefanaan.
à Kesatuan kedua kodrat itu bersifat hakiki, karena pentingnya kesatuan itu bagi penebusan. Pengantara satu-satunya antara Allah dan manusia itu dalam arti tertentu harus dapat mati, tetapi dalam arti tertentu pula harus tidak dapat mati. Memang mungkinlah mengatakan bahwa logos mati, artinya Ia mati menurut kodrat-Nya yang insani, tetapi bukan menurut Kodrat-Nya yang Ilahi.
à Kedua kodrat Kristus mempunyai cara kerja tersendiri, walaupun yang satu selalu bertindak dalam keselarasan dengan yang lain.
à Ajaran tentang communicatio idiomatum harus dipertahankan. Ajaran ini berarti bahwa kesatuan kepribadian, maka sifat-sifat atau atribut (idioma) yang dimiliki masing-masing kodrat itu dapat ditukar. Maka, tepatlah misalnya mengatakan bahwa Anak Allah disalibkan dan dimakamkan atau bahwa Anak Manusia turun dari surga.
            Dengan demikian Paus Leo I tegas mempertahankan unsur-unsur hakiki dalam Kristologi dan dalam kaitannya dengan Soteriologi, sambil menyadari betapa paradoksal misteri iman yang tampak sebagai fenomena Yesus Kristus.[216]

Ø  Konsili Chalcedon
Syahadat Konsili Chalcedon:
“Maka dengan mengikuti para moyang suci, kami sekalian sehati sepikir mengajar bahwa mengakui Sang Putra dan Tuhan kita Yesus Kristus sebagai satu dan sama:
v   yang sama sempurna dalam keilahian dan yang sama sempurna dalam kemanusiaan,
v  yang sama sungguh Allah dan sungguh manusia (terdiri) dari jiwa berakal dan tubuh,
v  menurut keilahian sehakikat dengan Bapa dan yang sama sehakikat dengan kita menurut keinsanian,
v  dalam segalahnya sama dengan kita, tetapi tanpa dosa (bdk. Ibr 4:15),
v  menurut keilahian dilahirkan dari Bapa sebelum (segala) zaman, tetapi menurut kemanusiaan pada hari-hari akhir itu yang sama (dilahirkan) dari perawan Maria, Bunda Allah, demi untuk kita dan demi untuk keselamatan kita.
Kami mengajar bahwa Tuhan Yesus Kristus yang satu dan sama, Putra yang tunggal itu, harus diakui
Ø  dalam dua kodrat (en duo physein), tak tercampur (asygkhytos), tak berubah (atreptos), tak terbagi (adiairetos), tak terpisah (akhoristos),
Ø  dengan sama sekali tidak dihilangkan perbedaan kodrat-kodrat karena pemersatuan,
Ø  tetapi sebaliknya ciri-corak khas masing-masing kodrat tetap aman, dan (kedua kodrat itu) tergabung dalam satu pribadi (prosopon) dan satu diri (hypostasis),
Ø  tidak terbagi ataupun terpisah menjadi dua pribadi (prosoa),
melainkan yang satu dan sama Anak Tunggal, Allah-logos, Tuhan Yesus Kristus, sebagaimana para nabi dahulu dan Yesus Kristus sendiri mengajar kita tentang itu dan syahadat para moyang menyampaikannya kepada kita”.[217]

Ø  Tafsiran Yesaya 63:9
              dalam kesesakan mereka.
              Bukan seorang duta atau utusan,
                        Melainkan Ia sendirilah yang menyelamatkan mereka;
              Dialah yang menebus mereka dalam kasih-Nya dan belas kasihan-Nya.
              Ia mengangkat dan mengendong mereka
                        Selama zaman dahulu kala.” (Yesaya 63:9)

à  ABI[218]           : “u malakh pana’r hosyiah”
à  LAI 1970      : “Malak alhadliratnja sudah memelihara”
à  LAI TB[219]     : “Bukan seorang duta atau utusan melainkan Ia sendirilah yang menyelamatkan”
à  KJV              : “The Angel of His Presence saved”
à  KJV II          : “The Angel of His Face saved”
à  LXX[220]         : "őude aggelos, all autoV kurioV estwsen"
-          őude       : Kata sambung
               = tak ada, bukan, tidak
-          aggelos : Kata benda maskulin singular nominatif
               = malaikat, seroang pengirim, pembawa pesan, utusan
-          all        : Kata sambung
               = kecuali, kalau, melainkan
-          autoV     : menunjuk pada kata ganti orang ketiga
               = sendiri, dirinya sendiri
-          kurioV   : Kata benda maskulin singular nominatif
               =Tuhan, tuan
-       estwsen    : Kata kerja imperfektum aktif indikatif orang ketiga singular dari kata swzw
= dia telah sedang menyelamatkan
à “Bukan malaikat/utusan, melainkan Tuhan sendiri telah sedang menyelamatkan”

Ø  Tafsiran Daniel 9:25
              Maka ketahuilah dan pahamilah: dari saat firman itu keluar, yakni bahwa Yerusalem akan dipulihkan dan dibangun kembali, sampai pada kedatangan seorang yang diurapi, seorang raja, ada tujuh kali tujuh masa; dan enam puluh dua kali tujuh masa lamanya kota itu akan dibangun kembali dengan tanah lapang dan paritnya, tetapi di tengah-tengah kesulitan(Daniel 9:5)
à ABI                 : “… ad mesyiah (masyiah) nagid (negid)…”
à FD[221]               : “….Yesus, Mikhael itu
à LAI 1958        : “… kepada Almasih, Penghulu itu
à LAI TB           : “… kepada seorang yang diurapi, seorang raja
à KJV                 : “… to Messiah the Prince

Ø  Maleakhi 3:1
              Lihat, Aku menyuruh utusan-Ku, supaya ia mempersiapkan jalan di hadapan-Ku! Dengan mendadak Tuhan yang kamu cari itu akan masuk ke dalam bait-Nya! Malaikat Perjanjian yang kamu kehendaki itu, sesungguhnya, Ia datang, firman TUHAN semesta alam.”
(Maleakhi 3:1)
à ABI                      : malakh heberit
à LAI                      : Malaikat Perjanjian
à FD[222]                    : malakh/utusan yang dijanjikan
à KJV                      : the messenger of the covenant


Ø Tafsiran I Tesalonika 4:16
              Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala Allah berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit.
(I Tesalonika 4:16)
à Novum            : arcaggellou
à LAI TB           : “penghulu malaikat”
à BIS                  : “malaikat agung”
à KJV                 : “archangel (malaikat yang terpenting)”
à NIV                 : “archangel (malaikat yang terpenting”

Ø  Tafsiran Ibrani 1:3-5; 9
              Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan. Dan setelah Ia selesai mengadakan penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tingi, jauh leih tinggi dari pada malaikat-malaikat, sama seperti nama yang dikaruniakan kepada-Nya jauh lebih indah dari pada nama mereka.
              Karena kepada siapakah di antara malaikat-malaikat itu pernah Ia katakan:
            “Anak-Ku Engkau!
                Engkau telah Kuperanakkan
               pada hari ini?”
dan
            “Aku akan menjadi Bapa-Nya
               dan Ia akan menjadi Anak-Ku?”
            (Ibrani 1:3-5)
            “Engkau mencintai keadilan dan
             membenci kefasikan;
                     sebab itu Allah, Allah-Mu telah
                      mengurapi Engkau
                     dengan minyak sebagai tanda kesukaan, melebihi  teman-teman sekutu-Mu
            (Ibrani 1:9)



Ayat 5:
Ø  Novum            : tini gar eitin pote tvn aggelwn˙
Ø  LAI 1958        : karena malaekat manakah dari antara maleikat itu yang pernah difirman-Nya:   (menurut Frans Donald)
Ø  LAI 1970        : karena malaekat menakah dari antara segalah malaekat itu yang pernah difirmankanNja:
Ø  LAI TB           : karena kepada siapakah diantara malaikat-malaikat itu pernah Ia katakan:
-          tini                     : Kata ganti introgatif maskulin singalar datif
                            = kepada siapakah, untuk yang manakah
-          gar                     : Kata sambung koordinasi eksplanatori (bersifat menejelaskan)
                            = karena, untuk, bagi,
-            eitin                  : Kata kerja auris aktif indikatif orang ke III singular (H. Sutanto)
                                  = Ia bersabda (Analytical)
                                 : Kata kerja auris aktif imperfektum
                                  = Ia telah bersabda
-          pote                    : Partikel indefiniti (kata penyerta) (H. Sutanto)
                            = pernah
                            : Partikel demi waktu, enclitic (kata yang tidak bertekenanan) (Analytical)
                           = Dia pernah
-            tvn aggelwn˙  : Kata sandang + kata benda maskulin plural genetif dari kata agleloV
                                 = dari malaikat-malaikat itu
à Karena kepada siapakah dari malaikat-malaikat itu Dia pernah telah bersabda:
Ayat 9:
Ø  Novum            : metocouV sou
Ø  LAI TB           : “teman-teman sekutu-Mu”
Ø  BIS                  : “teman-temanMu”
Ø  NIV                 : “Your companions (teman-teman Kamu)”
Ø  KJV                 : “Your companions (teman-teman Kamu)”
Ø  The Interlienar Bible Greek/English   : “Your patners (teman-teman sekutuMu)
              metocouV sou = Kata sandang + kata benda maskulin plural akusativ dari kata metocoV, yang berarti “teman-teman kamu atau teman-teman/kawan-kawan sekutuMu”.


Ø  Wahyu 12:7-9; Ibrani 2:14
              Maka timbullah peperangan di sorga. Mikhael dan malaikat-malaikatnya berperang melawan naga itu, dan naga itu dibantu oleh malaikat-malaikatnya, tetapi mereka tidak dapat bertahan; mereka tidak mendapatkan tempat lagi di sorga. Dan naga besar itu si ular tua, yang disebut Iblis atau Satan, yang menyesatkan seluruh dunia, dilemparkan ke bawah; ia dilemparkan ke bumi, bersama-sama dengan malaiakat-malaikatnya.” (Wahyu 12:7-9)
              “Karena anak-anak itu adalah anak-anak dari darah dan daging, maka Ia juga menjadi sama dengan mereka dan mendapat bagian dalam keadaan mereka, supaya oleh kematian-Nya Ia memusnahkan dia, yaitu Iblis, yan berkuasa atau maut;” (Ibrani 2:14)

Lampiran Bab III
Dalam Alkitab bahasa Ibrani, nama diri Allah yang disembah bangsa Israel terdiri dari 4 konsonan YHWH (Kel. 3:15, 7:2). YHWH merupakan nama diri Allah yang terpenting dalam PL, dan diseluruh Alkitab Ibrani nama itu tercantum lebih dari 6800 kali. Karena terdiri dari 4 huruf, sering nama yang tidak dapat diucapkan diri disebut Tetragammaton, yang artinya “4 huruf”. Setelah pembuangan Israel di Babel (538 sM), ucapan nama YHWH yang sesungguhnya tidak dketahui lagi. Tetapi nama YHWH merupakan nama yang paling suci bagi umat Yahudi dan karenanya nama itu tidak boleh diucapkan. Sebagai gantinya  setiap kali tertera YHWH diucapkan dengan Adonai yaitu istilah Ibrani yan artinya “TUHAN: (dengan  akhiran i yang merupakan pronomina posesif artinya “ku”; Tuhanku”). Dengan cara yang demikian penyalahgunaan nama YHWH pun dapat dihindari. Hal ini masih terus dilakukan oleh umat Yahudi modern. Terjemahan bahasa Aram dari YHWH adalah Mara artinya “Tuhan”, dapat diberi akhiran MARI artinya “Tuhanku”(datanglah)” (I Kor 16:22; Why. 22:20).
Pada saat Alkitab pertama kali diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani yang dikenal dengan Septuaginta (abad 3 sM). YHWH diterjemahkan KURIOS. Dalam bahasa Inggris lama (Elizaethan). Kurios dapat diterjemahkan Lord artinya “Tuhan”, atau lord artinya “tuan” (bnd. Bahasa Jerman Herr). Dalam PB bahasa Yunani, Kurios dapat berarti “majikan” (Mat 13:27; 25:20; Luk :8). “pemilik” (Mat 0:8; 21:40). “tuan/Bapak” (mat 25:11; Yoh12:21), “tuan” (IKor. 8:5). “Tuhan” (Kis.\ 5:14; 9:10-11; 42; Rm 12:11; Gal 1:9), dan “Allah” (Mat 5:33; Mrk 5:19; Luk 1:6).
Mengikuti teladan terjemahan Alkitab pertama (Septuaginta), terjemahan Alkitab dalam bahasa Inggris seperti King James Version, New King James Version, Revised Standard Version, New Revised Standard Version, New English Bible, Revised English Bible, Good News Bible/Today’s English Version, New American Bible, New America Standard Version, New International Version menerjemahkan YHWH dengan LORD “TUHAN”. Dan ini pun yang dilakukan dalam ALkitab bahasa Melayu/Indonesia mulai terjemahan A.C. Ruyl (112), D. Brouwerious (1668), M. Leijecker (1733), J. Emde (1835), H.C. Klinkert (1679), W.G. Shelabear (1910, 1913), W.A. Bode (1938), terjemahan Lama (1958): PL Klinkert + PB Bode), Indjil terbitan Arnoldus, Ende (1964), Terjemahan Baru (1974), sampai Alkitab Kabar Baik dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari (1985). Pada hakikatnya YHWH, Adonai dan Kurios  diterjemahkan “Tuhan”. (Catatan: dalam terjemahan Ruyl dan terjemahan Brouwerios Kurios diterjemahkan Tuan “Tuhan”; sedangkan terjemahan Leidjdecker YHWH diterjemahkan dengan HuwaHua/Hua”, Adonai dan Kurios diterjemahkan “Tuhan”).
Ada yang menduga bahwa YAHWEH (atau dalam ejaan Jerman Yahve) merupakan ucapan dari nama YHWH. Yahweh sebagai nama diri dipakai dalam suatu terjemahan Alitab bahasa Inggris Jerusalem Bible dan revisinya New Jerusalem Bible. Terjemahan Alkitab ini merupakan upaya Gereja Katolik Roma yang mula-mula diusahakan dalam bahasa Perancis La Bible de Jerusalem. JEHOVAH (YEHOWA) merupakan arti artifisial yang mulai dipakai pada abad 16 M, yaitu pada edisi awal King James Versioan serta dalam revisinya Authorized Standard Version (1901) dan terjemahan yang sejenis. Jehovah atau Yehowa berasal dari kesahpahaman makna notasi yang dicantumkan oleh Guru-guru Alkitab Masoret pada teks Alkitab Ibrani (antara abad 6-10 M). Nama diri Allah yang sangat suci dan tidak boleh diucapkan itu (YHWH) diberi bunyi hidup dari kata Adonai (“Tuhan”) Adonai (catatan: akhiran I  merupakan bentuk pronomina posesif artinya “ku”). Tujuan notasi ini agar pembaca teks Ibrani setiap kali membaca nama YHWH secara otomatis mengucapkan ADONAI. Akan tetapi pada abad 16 M, ada penerjemah yang tidak cukup memahami arti notasi itu, dan langsung membacanya aHoWah atau Jehovah, Yehowa. Lafal ini muncul (dan baru pada abad ke 16 M) karena kekurangpahaman penerjemah pada seluk-beluk bahasa dan kebudayaan Ibrani. Itulah sebabnya terjemahan King James Version sendiri sudah lama meninggalkan pemakaian Jehovah.
            Dalam Alkitab Ibrani, teks yang tertulis disebut Kethibh, sedangkan catatan-catatan ditepi teks yang dibuat oleh Guru-guru Alkitab Masoret yang berisi “perbaikan-perbaikan” dan cara membacanya/mengucapkan disebut disebut Qere. Dalam Alkitab Ibrani ada kurang lebih 1.300 “perbaikan” Qere berdasarkan alasan gramatikal, estetika atau dogmatika. Bila kata yang “diperbaiki” itu terlalu sering dipakai dalam teks (seperti nama YHWH) inilah yang disebut Qere Perpetuum, yaitu cara membaca yang harus diingat terus menerus. Dengan kata lain, walaupun tanpa notasi ditepi, pemasangan bunyi hidup pada konsonan YHWH merupakan peringatan bahwa setiap kali membaca YHWH lafalnya adalah Adonai, dan bukan Yahweh atau Yehowa. Bagi umat Allah, nama YHWH tidak dapat dan tidak mungkin diucapkan karena nama itu sangat suci. Dengan penuh rasa hormat mereka hanya berani menyebut Adonai yang terjemahannya “Tuhan”. (J. Saruan, Iman Kristen, (Tomohon:, Lembaga Penerbitan Diakonos, 2005), hlm. 3-6; yang disadur dari tulisan Dr. Daud H. Soesilo, Ph.D dalam Forum Biblika, Edisi April 1992 No. 2, terbitan LAI).








[1] Frans Donald lahir dan dibesarkan dalam keluarga Katolik yang sederhana. Sepeninggalan ayahnya, karena kerinduannya akan kebenaran ia telah melakukan passing over  ke dalam berbagai denominasi Protestan (Pantekosta/Kharismatik, Bethani, Saksi Yehovah, Adventis, dll). Ia juga mempelajari Hindu Dharma dan Islam. Frans Donald, sering disebut sebagai pemikir bebas meyakini bahwa umat Islam dan Kristen adalah sama-sama anggota keluarga besar ciptaan Allah. Kepeduliannya adalah agar kedua umat beragama tersebut tidak berpikir sempit dalam kotak-kotak dogma doktrin hasil karya manusia, tetapi kembali pada hakikat ajaran kitab-kitab suci dan menghormati kebebasan berpikir. (F Donald, Kasus Besar yang Keliru: Ternyata YESUS MALAIKAT, (Semarang: Borobudur Indonesia Publishing, 2009, hlm.127).
[2] Buku ini direvisi dengan alasan agar lebih mantap dan akurat bukan karena salah, tapi untuk memantapkan dan mempercantik buku (F Donald,  Wawancara oleh penulis, sms, Kawangkoan,  20-November-2009)
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Unitarianisme merupakan suatu gerakan yang dikenal dengan sifat keterbukaannya yang mencolok dalam hal keberagaman. Sesuai dengan asas dasarnya yang menghormati setiap orang untuk merumuskan iman sesuai dengan hati nurani dan akal sehat masing-masing, maka seorang Unitarian dapat mendekati berbagai topik kontroversial secara obyektif dengan tetap menghargai perbedaan pendapat.
[6] Tokoh buku terbesar dan terlengkap di Sulawesi Utara yang banyak dikunjungi masyarakat.
                [7] Dihitung penjualan dari tahun 2008 sampai tahun 2009: tahun 2008 masuk 470 terjual 411, tahun 2009 masuk 95 terjual 65 eksemplar; “Menjawab Doktrin Tritunggal”: tahun 2008 masuk 100 terjual 79 eksemplar, tahun 2009 masuk 35 terjual 28 eksemplar: “Kasur Besar Keliru: Ternyata YESUS MALAIKAT”: tahun 2008 masuk 100 terjual 87 eksemplar, tahun 2009 masuk 50 terjual 48 eksemplar.
[8]  M. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, Jakarta 1988), hlm. 63
[9]  Ibid, hlm. 212
[10] S. Arikunto, Prosedur Penelitian, (Yogyakarta: Rineke Cipta 1998), hlm. 231
[11] Ibid, hlm. 236
[12] Diambil dari Profil Frans Donald di Facebooknya.
[13] Frans Donald,  Wawancara oleh penulis, email, Kawangkoan,  09-Februari-2010
[14] Yang membuat Frans Donald  muak adalah klaim-klaim kebenaran yang ternyata rapuh. Ia mengemukakan bahwa semakin diselidiki tentang hal ini makin katahuan bahwa "kebenaran-kebenaran" tersebut ternyata sekedar mitos (atau dongeng) yang berhasil digembar-gemborkan (dipropagandakan dengan sangat apik) belaka (Frans Donald,  Wawancara oleh penulis, email, Kawangkoan,  09-Februari-2010).
[15] Ibid
[16] Buku ini mendapat  sambutan yang luar biasa dari Pendeta Dr Tjahjadi Nugroho, MA (yang dalam buku ini disebut sebagai Ketua Asosiasi Pendeta Indonesia).
[17] Frans Donald,  Wawancara oleh penulis, sms, Kawangkoan,  20-November-2009
[18] F. Donald, ALLAH DALAM ALKITAB & AL QURA’AN, Sesembahan yang SAMA atau BERBEDA?, (Semarang: Borobudur Indonesia Publishing, 2009), hlm. xxii, xxvii 
[19]  Frans Donald,  Wawancara oleh penulis, sms, Kawangkoan,  20-November-2009
[20]  Dikutip dari komentar pembaca dalam buku: “Kasus Besar yang Keliru: Ternyata YESUS MALAIKAT,  dan buku Allah dalam Alkitab dan Al Qur’an karangan Frans Donald.
[21] Ibid
[22] Frans Donald,  Wawancara oleh penulis, email, Kawangkoan,  21-November-2010
[23] Ibid
[24] http://www.in-christ.net/blog/renungan_dan_artikel/kristen_tauhid_tidakakutrinitas
[25]  Frans Donald,  Wawancara oleh penulis, email, Kawangkoan,  09-Februari-2009
[26]   F. Donald, MENJAWAB DOKTRIN TRITUNGAL Tentang Ke-allah-an Yesus, (Semarang: Borobudur Indonesia Publishing), 2009, hlm. 96
[27] F. Donald, Op. Cit, KASUS BESAR YANG KELIRU: Ternyata Yesus Malaikat, hlm. 2-3. Catatan: kata ganti I tunggal dari Frans Donald diganti dengan kata ganti III tunggal oleh penulis.  
[28] Ibid
[29] Ibid, hlm. 3-4         
[30] F. Donald, Op. Cit, hlm. 4-6
[31] Ibid
[32] Ibid, hlm.11-12
[33] Ibid, hlm. 31-32
[34] Ibid, hlm. 9-50, 52
[35] Ibid
[36] Ibid, hlm. 54-55
[37] Ibid, hlm. 63-64
                [38] Ibid, hlm. 69
[39] Ibid, hlm. 80-82
[40] Ibid, hlm. 108-109
[41] Ibid, hlm. 110-114 
[42] Ibid
[43] Ibid
[44] Ibid
[45] Ibid, hlm. 116-118
[46] melalui(terjemahan Frans Donald yang menggantikan kata “oleh” terjemahan LAI)
[47] F. Donald, Op. Cit
[48] Dalam sejarah Kekristenan, maka suatu aliran yang mengakui Yesus adalah Malaikat  Mikhael adalah Saksi Yehova. Berikut adalah beberapa point penting tentang pemahaman 'Kristologi' versi saksi Yehova:
1. Yesus adalah mesias saat dibaptis dan diurapi Roh Kudus
2. Yesus adalah Anak Allah dan bukan Allah
3. Yesus adalah ciptaan pertama
4. Yesus lebih rendah dari Yehova
5. Yesus adalah inkarnasi penghulu malaikat
6. Yesus tidak mati di kayu salib akan tetapi pada tiang siksa
7. Yesus mati selamanya, tubuh-Nya tidak bangkit/dibangkitkan
 (http://www.sarapan pagi.org/siapakah-mikhael-penghulumalaikat-vt2325.html ).
                [49] F. Donald, Op. Cit, hlm. 118-121
                [50] Ibid
[51] Ibid
[52] Ibid, hlm. 121-123
[53] Ibid
[54] Ibid, hlm. 123
                [55] Bnd: C. Groenen, SEJARAH DOGMA KRISTOLOGI, Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 18-28
[56] F. Donald, Op. Cit, Kasus Besar yang Keliru: Ternyata Yesus Malaikat, hlm. 107. Bnd: F. Donald, Menjawab Doktrin Tritunggal, (Borobudur Indonesia Publishing, 2009), hlm.  xvi.
[57] C. Groenen, Op. Cit, hlm. 35-36
[58] Apokaliptik (penyingkapan) adalah suatu aliran Yahudi yang karena penganiyaan-penganiyaan yang dialami lebih suka menggunakan bahasa-bahasan simbol, menekankan kehidupan sesudah penghambatan, akhir zaman, dsb.

[59]  Bnd: Groenen, Op. Cit, hlm. 74-83
[60] Dalam bahasa Ibrani berarti “orang-orang miskin”. Mereka adalah kelompok asketis dari kalangan Kristen Yahudi yang hidup pada abad pertama dan kedua. Mereka menekankan ketaatan pada hukum Musa, dan kerena itu menolak rasul Paulus (G. O’Collins-G. Farrugia, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 63
[61] B. Milne, MENGENALI KEBENARAN, (Jakarta: BPK GM, 2003), hlm. 201
[62] Bnd: Dr. Nico Syukur Diester, Teologi Sistematika I, (Yogyakarta, Kanisius, 2008), hlm. 167
[63] Groenen, Op. Cit, hlm. 36
[64] Plato mengemukakan bahwa ada dua macam dunia, yang serba berubah dan serba jamak, dimana tiada hal yang sempurna, dunia yang diamati dengan indera, yang bersifat inderawi. Dan dunia ide dimana tiada perubahan dan tiada kejamakan (dalam arti, bahwa yang baik hanya satu, yang adil hanya satu saja), yang bersifat kekal. Hubungan antara kedua dunia itu adalah demikian, bahwa ide-ide dari dunia atas itu hadir dalam benda yang kongkrit (umpamanya: idea manusia berada pada tiap manusia dan seterusnya), dan sebaliknya benda-benda itu berpartsipasi dengan idea-ideanya, artinya: mengambil bagian dari ide-idenya, bukan hanya satu ide saja, melainkan dapat juga lebih (umpamanya: bunga bagus, berpartispasi dengan idea bunga dan bunga bagus). Dengan demikian idea-idea itu berfungsi sebagai model atau contoh benda-benda yang diamati di dalam dunia ini. (H. Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat I, (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm. 41)
[65] Aristoteles mengkonsepkan tentang Allah dalam kaitannya dengan Filsafatnya tentang gerak. Menurut Aristoteles dalam jagad raya tidak mempunyai permulaan atau penghabisan. Karena setiap hal yang bergerak digerakkkan oleh sesuatu hal lain, yaitu satu Penggerak Utama yang menyebabkan gerak itu tetapi sendiri tidak digerakkan. Penggerak Pertama bersifat abadi, sebagaimana juga gerak yang disebabkan olehnya. Penggerak ini terlepas dari materi, karena segala hal yang mempunyai materi, mempunyai juga potensi untuk bergerak. Allah sebagai Penggerak Pertama tidak mempunyai potensi apapun juga. Allah harus dianggap sebagai Aktus Murni. Allah sebagai Penggerak Pertama tidak mengenai atau mencintai sesuatu yang lain dari pada diri-Nya sendiri. Karena, jika Allah mengenal dunia, Dia harus mempunyai potensi juga. Kalau begitu dia bukan aktus murni (K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1975), hlm. 158).
                [66] Aliran Stoa didirikan oleh Zeno. Ia berasal dari Siprus, tetapi pergi ke Atena dan pada akhirnya mendirikan sekolahnya sendiri di Stoa Poikile. Itulah sebabnya namanya “Stoa”. Filsafat Stoa didasarkan atas kepercayaan bahwa baik dunia manusia yang tingal di dalamnya pada akhirnya bergantung hanya pada satu prinsip saja, yaitu “Akal Budi”. (J. Draine, Memahami Perjanjian Baru (Jakarta: BPK GM, 1996), hlm. 25). Prinsip ini pada suatu titik perkembangan dapat melakukan pemusnahan segala sesuatu, namun menurut waktunya akan ada pembentukan baru dan pemulihan pun akan terjadi. Sama seperti api yang dapat tiba-tiba menjadi nyala besar, kemudian hampir mati, lalu berkembang menjadi mantap lagi (B. Chilton, Studi Perjanjian Baru bagi Pemula, (Jakarta: BPK GM, 1994), hlm. 137). Dalam Filsafat Stoa, membedakan antara logos sejauh yang mendiami alam rohani dengan logos sejauh mengkomunikasikan diri, artinya sejauh diungkapkan. Pembedaan ini dipakai para Bapa-Bapa Gereja untuk menerangkan hubungan antara Bapa dengan Putra-Nya. Allah sendiri tak berawal dan tak bernama, serba trasenden, dan melampaui segala sesuatu yang tak ada. Karena itu, antara Allah dan alam ciptaan terdapat jurang pemisah. Logoslah yang menjembatani jurang ini. Dialah Mediator antara Allah Bapa dan dunia. Hanya melalui logos saja Allah berkomunikasi dengan dunia serta mewahyukan diri kepada dunia. Mula-mula logos itu berdiam sebagai suatu kekuatan di dalam Allah. Akan tetapi, demi penciptaaan dunia Ia “berasal” dari Allah, hal ini diibaratkan Yustinus seperti cetusan api berasal dari api. Kemudian dengan perantara logos itulah Allah menciptakan dunia (N. Dister, Op. Cit, hlm. 191).
[67] T. Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK GM, 1993), hlm. 4
[68] Istilah yang muncul dalam hubungannya dengan “Kristologi dari atas” ialah “Kristologi dari bawah” yang merefleksikan  Yesus Kristus bertitik tolak dari segi historisnya atau dari segi kemanusiaannya. (Bnd: St. Darmawijaya PR, Pengantar ke dalam Misteri Yesus Kristus, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 32-38; JB. Banawiratma (ed), Kristologi dan Allah Tritunggal, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 29-31
[69] Menurut pandangan hidup gnosis itu maka dunia (manusia) seadanya secara dasariah buruk. Ia merupakan hasil kekeliruan besar. Dunia yang sesungguhnya, dunia sejati ialah dunia ilahi, suatu prinsip ilahi yang tidak terjangkau dan tidak tercapai. Antara dunia, prinsip ilahi, itu dan dunia yang diamati dan dialami manusia terpasang pelbagai tingkat atau lapis lain yang memang berpangkal pada yang ilahi, tetapi semakin rendah tingkatnya dan semakin buruk. Tingkat terbawah, tingkat material yang dialami manusia ialah tingkat yang paling buruk. Manusia sejati, manusia sebenarnya berciri ilahi, semacam bunga api yang tercetus dari yang ilahi. Tetapi manusia sejati itu terjatuh dan terkurung dalam dunia material ini dengan segala keburukan dan hawa nafsunya. Penyelamatan manusia justru pembebasannya dari kurungan itu dan kembalinya manusia sejati kepada asal-usulnya, yang ilahi. Hanya manusia sejati sudah lama lupa akan asal-usulnya sehingga malah tidak tahu lagi siapa dirinya dan apa itu penyelamatannya dan betapa buruk situasinya. Karena itu manusia sendiri tidak dapat keluar dari pengajarannya. Supaya selamat manusia membutuhkan “pengetahuan” (gnosis), ilmu mistik eksistensial yang tidak dapat diperolehnya. Tetapi yang ilahi, Bapa ilahi, tidak lupa akan apa yang berasal dari diri-Nya, yaitu manusia. Maka yang ilahi dari tingkat teratas mengutus seorang penyelamat. Manusia asli sejati, yang membawa gnosis yang perlu, menyampaikan “wahyu” yang membuka mata manusia yang buta dan lupa itu. Bila manusia menerima wahyu itu, maka ia mengenal dirinya. Lalu dengan meninggalkan penjara materialnya manusia sejati kembali kepada yang ilahi dan menjadi selamat. Dan meninggalkan dunia seadanya berarti pula manusia menjadi bebas dari “tata tertibnya”, dari segala tata hukum dan tata susila. (Groenen, Op. Cit, hlm. 87-88; bnd: Th. van den End, Harta Dalam Bejana, Sejarah Ringkas, (Jakarta: BPK GM, 196), hlm. 42-43).
[70] H. Berkhof- I. Engklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK GM, 1988), hlm. 19
[71] M. Tenney, Survey Perjanjian Baru, (Malang: Gandung Mas, 1997), hlm 19
[72] Bnd: B. Sudjaly, SEJARAH DOGMA TRINITAS, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1986), hlm. 23
[73] Arti kata kanon mula-mula adalah “buluh”. Kemudian suatu alat yang dibuat dari buluh, kemudian “ukuran”, lalu daftar-daftar kitab-kitab yang diangap mempunyai kewibawaan dan oleh karena itu yang diakui sebagai kaidah (norma) hidup. Dengan arti yang terakhir inilah kata “kanon” dipakai kalau dikatakan bahwa “Kitab Suci adalah kanon”. Kitab Suci adalah daftar kitab-kitab yang berwibawa, yang menjadi norma atau kaidah hidup. (R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (BPK GM: Jakarta, 2006), hlm. 120) 
                [74] Kanon pertama dibuat oleh Marcion (diluar Kanon PL yang telah diterima kewibawaannya). Kanon PL ini diterima pada petermuan di Yamnia kr. tahun 100 sM). Kanon Markion meliputi  sepuluh surat Paulus (yang tidak ada adalah surat-surat Pastoral dan Ibrani) dan Injil Lukas. Kanon ini dijadikan salah satu dasar Marcion megemukakan ajarannya tentang Yesus Kristus. Kanon (PB) yang berikut adalah Kanon Muratorianum (Fragmentum Muratorium) sekitar tahun 200 disusun di Roma. Penyusunnya belum diketahui secara pasti, tapi dugaan kuat disusun oleh Hippolytus dari Roma. Dinamakan Fragmentum Muratorium karena ditemukan oleh L. A. Muratori di Perpustakaan Ambrosius di Milano (Itali) dan diterbitkan olehnya pada ahun 1740. Naskah ini berupa Fragmen yang tidak utuh. Mulai di tengah suatu kalimat mengenai Injil Markus dan terdiri dari 85 baris. Selain menyebutkan buku-buku suci, juga asal usul apostolik dari buku-buku ditunjukkan dan catatan-catatan lain mengenai kepengarangannya dan kanonisitasnya ditambahkan, khususnya mengenai Injil Yohanes. Yang tidak disebut ialah Surat Ibrani, Surat Yakobus, dan Surat Petrus. Akan tetapi, dua Kitab Wahyu disebut: satunya dari Yohanes dan satunya lagi dari Petrus. Setelah kanon Muratorianum, Bapa Gereja Irenius sudah mempunyai sebuah kanon Kitab Suci Kristen PB. Kanon itu memuat keempat Injil, 13 Surat Paulus, Kis, Why, I Petrus, I, II Yoh. Konon Irenius jelas berlawanan dengan Kanon susunan Markion. Pada tahun 367, Athanasius (Uskup Alexandria), mengemukakan bahwa Kanon PB meliputi 27 kitab yang sejak itu dipandang eksklusif sebagai kitab kanonik. Ia mengemukakan daftar kitab-kitab itu dalam surat Paskahnya yang ke 39. Kemudian pada tahun 382 Konsili Roma menetapkan Kanon PB yang sama dengan yang dikemukakan oleh Athanasius. Pada tahun 393 Konsili Hippo Regius mendukung keputusan konsili Roma, dan pada tahun 397 Konsili Kartago III juga melakukan hal yang sama. Kemudian pada tahun 1546, kanon yang telah ditetapkan oleh konsili-konsili ini disahkan pula oleh suatu konsili umum sedunia, yaitu Konsili Trente yang mengakui 45 kitab PL (termasuk kitab-kitab deuterokanonika (yang dipakai Katolik) dan 27 kitab PB (N. Dister,  Op. Cit, hlm. 99-100).
[75] R. Soedarmo, Op. Cit, hlm. 120
[76] Groenen, Op. Cit,  hlm. 95
[77] E. Kristiyanto,  SELILIT SANG NABI, Bisik-bisik tentang Aliran Sesat, (Yogyakarta, Kanisius, 2007), hlm. 79
[78] B. Milne, Op. Cit, hlm. 201
[79] Bnd: E Kristiyanto, Op. Cit, hlm. 66-68; N. Dister, Op. Cit, hlm. 66-267; dan Collins-Farrugia,  Op. Cit, hlm. 57
[80] Sebagai pembelaan iman dari Bapa-bapa Gereja terhadap ajaran-ajaran gnostik, dan apologet ini berupa argumentasi-argumentasi yang juga ditulis lewat surat-surat atau kitab-kitab.
[81]  Ignatius berasal dari Siria dan dilahirkan sekitar tahu 35. Ia adalah Uskup di Antiokhia. Ignatius mengakui bahwa Yesus Kristus adalah Allah dan juga manusia (Groenen, Op. Cit, hlm. 92-93).
[82] Polycarpus dilahirkan sekitar tahun 69. Menurut Irenius, Polycarpus adalah murid rasul Yohanes. Irenius sendiri adalah murid dari Polykarpus. Polycarpus bekerja sebagai uskup di Jemaat Smirna, Asia Kecil pada pertengahan abad kedua. (R. Petersen, 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, (Jakarta: BPK GM, 2001), hlm. 8).  Polycarpus menganut pendekatan yang sama dengan pendekatan Ignatius dan juga melawan doketisme. Tetapi Polycarpus lebih menekankan pada makna penyelamatan penderitaan dan kematian Yesus (Groenen, Op. Cit, hlm. 93)
[83] Yustinus merupakan seorang apologet Kristen yang terkemuka dalam Gereja abad II. Dilahirkan di Flavia Neopolis (Nablus) atau Sikhem (nama pada zaman kuno) di Samaria, pada tahun 95. Ayahnya adalah seorang kafir (F. Wellem,  Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, (BPK GM: 1996), hlm. 149). Oleh sebab itu Yustinus lahir dalam keluarga Yunani di Palestina. Ia rindu mencari kebenaran, tapi tak ada aliran Filsafat maupun agama yang membuat ia puas. Akhirnya suatu kali ia berjumpa dengan seorang tua dekat laut. Orang tua itu memperkenalkannya pada PL dan Kristus. Yustinus menyebutkan bahwa ia sangat terkesan pada orang Kristen yang tidak takut menghadapi mati syahid. Lalu ia menjadi Kristen, karena melihat bahwa “hanya Filsafat inilah satu-satunya yang aman dan menguntungkan” (T. Lane, Op. Cit, hlm.8).
Suatu kali ia mengadakan perjalanan yang cukup jauh. Dalam perjalanannya ia selalu berargumentasi tentang iman yang diyakininya. Ia bertemu dengan Tryfo. Di Roma, ia bertemu dengan Marcion, pemimpin gnostik. Pada suatu perjalanan ke Roma, ia pernah bersikap tidak ramah pada seseorang yang bernama Crescens, seorang Cynic. Ketika Yustinus kembali ke Roma pada tahun 165, Crecens mengadukannya pada penguasa atas tuduhan memfitnah. Yustinuspun ditangkap, disiksa dan akhirnya dipenggal kepalanya bersama-sama 6 orang percaya lainnya” (Curtis, Op. Cit, hlm.6; Bnd: J. Foxe, Kisah para Martir Tahun 35-2001, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2001), hlm. 13-14).
[84] Berasalnya logos dari Allah Bapa diibaratkan Yustinus seperti cetusan api berasal dari api.
             [86] G. Ramsdell,     Teologi Yustinus Martir  (Jena: Frommann, 1923, hlm. 175, diakses, 09 Febuari 2010), diambil dari http://transelate.co.id/http://www.newworldencylopedia.org/; Internet; Bnd: T. Jacobs, PAHAM ALLAH, dalam Filsafat, Agama-agama dan Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 150
[87] Groenen, Op. Cit  hlm. 106-107
[88]  Ibid, hlm. 106
[89] Sekarang ini ada satu contoh/ilustrasi yang sering digunakan untuk mengungkapkan misteri Trinitas, bahkan contoh ini sering diungkapkan oleh Guru Agama, Pendeta, dan juga digunakan dalam katekisasi sidi jemaat (seperti yang dialami penulis).  Misteri Trinitas sering kali dianalogikan sebagai berikut: “Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus itu seperti halnya dengan seorang ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai Guru, dan juga merupakan Pelayan Khusus (Penatua). Ketika Ibu itu di rumah ia disebut sebagai “Ibu, mama” oleh anak-anaknya atau “Istri” oleh suaminya. Ketika di sekolah ia dipanggil sebagai “Ibu Guru”, dan ketika dalam pelayanan Gereja, ia disebut sebagai “Penatua”. “Penatua, Ibu Guru, Ibu/mama/Istri” bukanlah tiga orang yang berbeda, tapi tiga nama/penyebutan terhadap satu orang. Begitu juga dengan misteri Trintias”. Tapi kelihatannya, contoh atau ilustrasi ini lebih mirip dengan dogma Monarkianisme Modalis dari pada dogma yang dirumuskan Konsili Nicea-Konstantinopel (yang diikrarkan jemaat dalam ibadah-ibadah GMIM). Ilustrasi ini tidak menjawab persoalan Trinitas (Kristologi) (seperti pergumulan Bapa-Bapa Gereja), yaitu bagaimana relasi Allah dengan Anak dengan Roh Kudus (seperti dalam ilustrasi: relasi antara Ibu/Istri dengan Ibu Guru dengan Penatua). Bagaimana ilustrasi ini menggambarkan realitas  “Allah mengutus Anak-Nya yang tunggal, yaitu Yesus Kristus”; apakah juga mau dikatakan bahwa Ibu mengutus Penatua?”
[90] Groenen, Op. Cit,  hlm. 106-107
[91] Nama lengkapnya adalah Qaintus Septimus Florens Tertullianus. Ia lahir kr tahun 150 di Kartago. Ia adalah Bapa teologi latin yang menulis kebanyakan karya-karyanya dalam bahasa latin. Tertullianus adalah pembela yang tinggi akan iman Katolik Ortodoks, namun pada tahun-tahun akhir hidupnya meninggalkan gereja yang am dan menjadi anggota dan pemimpin aliran Montanisme di Kartago, Afrika Utara (F. Wellem, Op. Cit, hlm. 232).

[92] Groenen, Op. Cit, hlm.108-109; Bnd: N. Dister, Op. Cit, hlm. 193; B. Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, (Jakarta: BPK GM, 1989), hlm. 98-100; H. Hadiwijono, Apa dan Siapa Tuhan Allah, (Jakarta: BPK GM, 1974), hlm. 50
[93] Colin Brown,      Christian   &    Western Thought,   Vol. 1,   (Leicester: Apollos, 1990, hlm. 91, diakses 09 Febuari 2010), diambil dari http://translate.google.co.id/=http://www.earlychurch.org.uk/tertullianus; Internet
[94] Richard A. Norris,  God  and   World   in    Christi  an    Teologi    Premier:   A Study in     Yustinus Martir,      Irenaeus,      Tertullian       dan        Origen,           (London: Adam & Charles Black, 1966, hlm. 86, diakses 09 Febuari 2010), diambil dari http://translate.google.co.id/translate?hl=id&lanpair=enId&u=http://www.earlychurch.org.uk/tertullianus.php: Internet
[95] Origenes lahir dari sebuah keluarga Kristen yang sangat saleh pada tahun 185 di Kota Alexandria Mesir. Nampaknya ia telah dibaptis sejak kecil sesuai dengan kebiasaan Gereja di sana. Ayahnya adalah seorang ahli pidato, sehingga ia sendiri mengajarkan anaknya dalam ilmu retorika. Origenes belajar teologi pada Clemes dari Alexandria, sedangkan filsafat dipelajari pada Ammonius Saccas, yang dipandang sebagai salah satu pendiri aliran filsafat Neo-Platonisme (F. Wellem, Op. Cit, hlm. 205).
[96] Bart D. Ehrman, Lost Christianities, (Oxford University Press, hlm. 254,    diakses 09 Febuari 2010), diambil dari http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikiversity.org/wiki/Topic:Ante-Nicene_Fathers; Internet
[97] N. Dister, Op. Cit, hlm. 194-195; Bnd: F. Wellem, Op. Cit, hlm. 208; B. Lohse, Op. Cit, hlm. 97-98; P. Avis, Ambang Pintu Teologi, (Jakarta: BPK GM, 1991), hlm. 59-60
[98]  N. Dister, Op. Cit, hlm. 196
[99] Alexandria dan Antiokhia merupakan dua pusat teologi yang masing-masing memiliki sekolah teologinya sendiri. Sekolah teologi atau perguruan di Antiokhia terkenal dengan metode ilmiah yang dipakai dalam menyelidi Kitab Suci (termasuk metode kritik sastra), terarah pada apa yang bersifat historis, menolak alegori dan menaruh tekanan pada keberadaan Yesus sebagai Manusia di bumi ini, pada perkembangan historisitasNya. Sedangkan di Aleksandria dipengaruhi oleh pemikiran Yunani yang filosofis dan yang terarah kepada apa yang melampaui pancaindra, kepada kenyataan rohani dan ilahi. Pemikiran ini secara prinsip mempertentangkan yang ilahi dengan yang insani. Di kalangan Aleksandria unsur ilahi dalam Kristus begitu ditekankan sehingga unsur insani condong diabaikan. Dan dalam soal pendekatan terhadap Kitab Suci lebih menekankan metode alegoris, menekankan makna rohani (Bnd: L. Urban,  Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (Jakarta: BPK GM, 2003), hlm. 100-102, Groenen, Op. Cit, hlm 125, 146, N. Dister, Op. Cit, hlm.196-197); B. Drewes-J.Mojou, PENGANTAR KE DALAM ILMU TEOLOGI, (Jakarta: BPK GM, 2003), hlm. 37-39  
[100] Arius (kr. th 336) berperawakan tinggi, kurus; seorang yang cakap, fasih lidah dan berkepribadian yang menarik, berwatak keras dan agak sombong. Ia juga dilukiskan sebagai orang yang ambisius. Kemungkinan ia lahir di Alexandria, kr tahun 250, yaitu pada masa penghambatan Kaisar Decius di Antiokhia. Pendidikan teologi Arius diperolehnya dari seorang Presbiter terkenal, yaitu Lucianus di Antiokhia. Diduga Arius belajar kepadanya sampai dengan matinya Lucianus sebagai martir tahun 306. Kemudian Arius kembai ke Alexandria dan menetap di sana. Munculnya Arius ke permukaan sejarah berhubungan dengan Miletus, uskup Lykepolis (Wellem, Op. Cit, hlm. 21).
[101] Bnd: N. Dister, Op. Cit, hlm. 140-141, E. Kristiyanto, Op. Cit, hlm. 57-62, Groenen, Op. Cit, hlm. 126-130, Wellem, Op. Cit, hlm. 21; B. Milne, Op. Cit, hlm. 202
[102] Alexander adalah seorang Uskup di Aleksandria (kr th. 326). Ia adalah Uskup dari Arius. Alexander termasuk mazhab Alexandria dan menganut pikiran Origenes. (Groenen, Op. Cit, hlm. 129)
[103] Michael O' Carroll, Trinity, (Delaware: Michael glazier, Inc, 1987 hlm 23, diakses 09 Febuari 2010), diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Arius; Internet
[104] Groenen, Op. Cit, hlm. 129
[105] A. McBride-O. Praems, Images of JESUS: Menyelami 10 Rahasia Pribadi Yesus, (Jakarta: Obor, 2003), hlm. 75
[106] J. Garlow-P. Jones, Cracking Da Vinci's Code, (Colorado: Cook Communications, 2004, hlm. 96, diakses 09 Febuari 2010), diambil dari http://www.thetruthaboutdavinci.com/the-council-of-nicaea.htm; Internet
[107] Bnd: M. Keene, Kristianitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 53; H. Vorgrimler, TRINITAS; BAPA, FIRMAN DAN ROH KUDUS, (Yoyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 107
[108] Bnd: A. Heuken, Ensiklopedi Gereja III, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1993), hlm. 10; L. Urban, Op. Cit, hlm. 78-80; N. Dister, Op. Cit, hlm. 143-145; Groenen, Op. Cit, hlm. 128-132;  T. Lane, Op. Cit, hlm. 24; dan Collins-Farrugia, Op. Cit, hlm. 152-164.
[109] Kata “homo ousia”: sehakiat, sezat dengan Bapa. Istilah ini dimasukkan atas desakan kaisar Konstantinus dan penasihatnya Hosius. Oleh Hosius istilah ini dimengerti sebagai terjemahan istilah latin con-substantialis, yang sejak Tertullians tradisional dalam teologi latin. Hanya sejarah selanjutnya membuktikan bahwa istilah ini serba kabur dan dipahami dengan pelbagai cara. Pada masa konsili Nicea istilah “ousia” masih searti dengan istilah “hypostasis”, seperti ternyata dalam tambahan pada syahadat Nicea (dari “ousia” atau “hypostasis” lain). Adapun istilah “ousia” dapat berarti: realitas yang secara utuh lengkap mandiri. Tetapi khususnya, dalam ilsafat Plato, “ousia” berarti: realitas rohani/ilahi yang berulang kali direalisasikan secara terbatas, “kodrat” abstrak. Maka istilah “homo ousios” dengan Bapa dapat dimengerti: ousia (keilahian) yang satu dan sama (numerik satu) terdapat pada Anak Allah (Yesus Kristus) dan pada Bapa. Tetapi tambahan “homo” (sama) sekaligus mengungkapkan bahwa Anak Allah, Yesus Kristus, toh tidak satu dan sama saja dengan Allah yang Esa (Bapa), sehingga Anak Allah dengan satu dan  lain cara toh mandiri (melawan modalisme). Tetapi “homo ousios”  juga dapat dipahami sebagai “sejenis” dengan Bapa, semacam “kopi”, cap, realisasi kedua dari keilahian yang teralisasikan dalam Allah Bapa, Yang Maha Esa. Dan rupanya kebanyakan bapa konsili Nicea mengertinya demikian: Anak Allah, Yesus Kristus, sejenis dengan Allah (Bapa), Anak Allah merupakan gambaran, eskpresi utuh lengkap dari Allah. Dan itu dapat berarti bahwa relasi Anak Allah (Yesus Kristus) dengan Allah dipikirkan secara subordinasionis, seperti sesuai dengan mazhab Aleksandria (Origenes, Alexander) (Groenen, Op. Cit, hlm. 131).
[110] Lihat lampiran (hlm. 118-119)
[111] Baik Basilius Agung (meninggal pada tahun 379) yang adalah Uskup Kaisarea dan Metropolis Kapadokia, maupun adiknya yang bernama Gregorius dan yang menjadi Uskup Nyssa (meninggal tahun 394), maupun juga sahabatnya yang bernama pula Gregorius dan yang menjadi Uskup Nazianze (meninggal sekitar tahun 390) merupakan tiga ahli teologi yang besar. Dalam trio yang gemilang ini, karya Athanasius dilanjutkan dan mencapai puncaknya. Ketika mereka meninggal, fajar kekalahan Arianisme dan kemenangan iman Nicea menyingsing. Ketiganya berasal dari keluarga tersohor dan berpendidikan. Pustaka sastra dan filsafat kuno maupun karya para bapa Gereja telah mereka pelajari. Pengajaran mereka selaku uskup dan guru amat mempengaruhi kemajuan teologi selanjutnya. Kendati dipersatukan oleh minat bersama di bidang intelektual dan spiritual maupun oleh ikatan persahabatan tersendiri. Basilius terkenal sebagai seorang yang walaupun condong kepada kontemplasi dan mati raga (ia termasuk pendiri hidup mem-biara dalam Gereja), amat giat aktif sebagai administrator, sedangkan Gregorius dari Nazianze termasyur sebagai juara satu dalam hal berpidato dan Gregorius Nyssa sebagai pemikir: dalam hal teologi spekulatif dan mistik ia melebihi keduanya (N. Dister, Op. Cit, hlm.  151).
                [112]  Athanasius yang lahir di Aleksandria sekitar tahun  95 menerima pendidikan klasik dan teologi di kota kelahirannya. Pada tahun 319 ia ditahbiskan menjadi diakon dan tidak lama sesudahnya menjadi sekretaris uskup Aleksandria yang bernama Aleksander. Dalam fungsinya yang demikian ia menemani uskupnya ke konsili Nicea, di mana diskusinya dengan kaum Arian menarik perhatian. Tiga tahun kemudian ia menggantikan Aleksander sebagai uskup Aleksandria. Iman Nicea dibelanya dengan begitu gigih sehingga kaum Arian berbuat apa saja untuk mengesampingkan Athanasius, antara lain meminta bantuan kepada kuasa sipil dan kepada kuasa gerejawi yang korup: sampai lima kali Athanasius diturunkan dari takhta keuskupannya dan lebih dari 17 tahun lamanya ia berada dalam pembuangan. Semua penderitaan itu tak dapat mematikan semangatnya dalam memperjuangkan kebenaran. Kendati permusuhannya yang tak tahu kompromi terhadap ajaran yang sesat, ia bersikap toleran dan moderat terhadap orang-orang yang disesatkan karena salah paham. Banyak uskup Timur menolak paham homo-ousios karena salah pengertian, dan Athanasius memperlihatkan simpati dan kesabaran yang besar dalam memenangkan mereka kembali bagi kebenaran. Gereja Yunani memberika gelar “Bapak Ortodoksi” kepadanya, dan Gereja Roma memperhitungkannya di antara keempat Bapa Gereja Timur yang besar. (N. Dister, Op. Cit, hlm 146).
[113] Groenen, Op. Cit, hlm. 135-139
[114] N. Dister, Op. Cit, hlm. 146-150; Bnd: Groenen, Op. Cit, hlm. 138-140; E. Kristiyanto, Gagasan yang Menjadi Peristiwa, Sketsa Sejarah Gereja Abad I-XV, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 75
[115] Ivor. Davidson,  A Public Faith: From Constantine to the Medieval World AD 312-600 Volume Two The Baker History of the Church, (Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 2005,  hlm-65, diakses 09 Febuari 2010), diambil dari http://knol.google.com/k/a-study-of-athanasius-on-the-incarnation-of-the-word-of-god; Internet
[116] Paul Enns mengemukakan bahwa akibat dari kesatuan hypostasis dari kedua natur (kodrat Ilahi dan insani) adalah Pribadi theantropi/Allah dan Manusia (P. Enss, THE MOODY HANDBOOK OF THEOLOGY, Buku Pegangan Teologi I, (Malang: Literatur SAAT, 2003), hlm. 27
[117] N. Dister, Op. Cit, hlm. 151-152; Bnd: K. Armstrong, SEJARAH TUHAN, Kisah Pencarian Tuhan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam 1000 Tahun, (Bandung: Mizon, 2002), hlm. 183-162
[118] Ibid
[119] Apollinaris lahir di Laodikaia sekitar tahun 310. Karena bersama Athanasius memperjuangkan kredo Nicea dengan gigih, ia diekskomunikasi oleh Gregorius, Uskup Laodikaia yang menganut Arianisme. Kira-kira pada tahun 361 Apollinaris menjadi uskup komunitas Nicea di Laodikaia sampai akhir hidupnya. Hieronimus merupakan salah satu muridnya di Antiokhia pada tahun 374. Bahu membahu bersama Athanasius dan Basilius Agung ia memerangi Arianisme, sampai ia sendiri akhirnya dihukum sebagai bidaah karena berat sebelah dalam menekankan Ketuhanan Kristus sehinga mengabaikan kemanusiannya Kristus (N. Dister, Op. Cit, hlm. 200)
[120] J. Millard-J.Erickson, TEOLOGI KRISTEN Volume II, (Malang: Gangung Mas, 2003), hlm. 360; Bnd: B. Milne, Op. Cit, hlm. 203
[121] Apollinaris mengikuti Plato, ia menyatakan bahwa manusia terdiri dari tubuh (soma), jiwa (psykhe), dan roh (nous). Yang kedua dari tiga unsur ini, yaitu jiwa, diartikan sebagai jiwa irasional (psykhe alogike) ataupun animal (hewani) dan sebagai asas kehidupan, sedangkan unsur ketiga, yaitu roh atau pikiran, sebagai jiwa rasional (psykhelogike) dan sebagai asas yang mengontrol serta menentukan. Nah, menurut Apollinaris, dalam Kristus terdapat tubuh insani dan jiwa irasional. Kedua unsur yang pertama tadi, tetapi bukan unsur ketiga, yakni jiwa rasional atau insani. Unsur ketiga itu tempatnya diambil oleh logos Ilahi. Dengan kata lain, dalam pandangan Apollinaris inkarnasi Sang logos harus diartikan bukan secara luas, yakni sebagai penjelmaan Sabda menjadi manusia, melainkan secara harfiah: logos hanya mengambil daging saja, hanya suatu tubuh yang dijiwai oleh psykhe alogike saja. Akan tetapi,  jiwa insani yang rasional itu tidak ada pada Yesus. Jadi jiwa rasional atau roh itu diganti oleh Sabda Allah. maka, tentang Yesus Kristus tak dapat dikatakan bahwa Ia melakukan kegiatan intelektual yang manusiawi. (N. Dister, Op. Cit, hlm. 288)
[122] J. McGuckin, St Cyril of Alexandria and the Christological Controversy, (SVS, 2004 131, diakses 09 Febuari 2010), diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Apollinari ; Internet
[123] E. Kristiyanto, Op. Cit, hlm. 69-70; bnd: N. Dister, Op. Cit, hlm. 200-203; L. Urban, Op. Cit, hlm. 103-104
[124] Untuk syahadat Konsili Kontantinopel, lihat lampiran (hlm. 119-120)
[125] Bnd: A. Heuken, Op. Cit, hlm. 10; L.Urban, Op. Cit, hlm. 104; N. Dister, Op. Cit,  hlm. 153; Groenen, Op. Cit, hlm. 128-132; T. Lane Op. Cit., hlm. 32; dan Collins-Farrugia, Op. Cit, hlm. 152-164.
[126] Nestorius lahir sesudah tahun 381 di Syria dan belajar teologi di Perguruan Antiokhia. Barangkali berguru pada Theodorus. Setelah masuk biara dan menjadi imam Gereja  Antiokhia, ia mulai dikenal sebagai pengkhotbah ulung. Kaisar Theodosius II mengangkatnya menjadi Batrik Konstantinopel pada tahun 428. Dengan demikian, Nestorius itu orang Antiokhia yang kedua (sesudah Santo Yohanes Krisostomus) yang menduduki tahta keuskupan agung terpandang ini. Berbeda dengan Krisostomus yang menahan diri dari mempromosikan teologi Antiokhia di mimbar Gereja, Nestorius justru mejadikan Kristologinya pokok bahasan kesukaannya dalam khotbah-khotbahnya. Nestorius mewartakan bahwa ada dua Pribadi terpisah dalam Kristus yang telah menjelma (yakni Pribadi Ilahi, Sang logos, yang berdiam di dalam pribadi insani, manusia Yesus), dan bahwa Santa Perawan Maria tidak dapat disebut “Bunda Allah”. Timbullah perselisihan yang hebat dengan Batrik Cyrillus dari Alexandria. Akitabnya, Nestorius diturunkan dari takhta keuskupannya serta diekskomunikasi oleh Konsili Efesus pada tahun 431 yang dikumpulkan Kaisar Theodosius. Sri Kaisar menyuruhnya kembali ke biaranya di Antiokhia, dan empat tahun kemudian membuangnya ke Oasis di Mesir Atas. Nestorius hidup lebih lama dari pada Theodosius (yang wafat pada tahun 450), tetapi tidak diketahui kapan persis ia meninggal (N. Dister, Op. Cit, hlm. 209-210).
[127] Bnd: N. Dister, Op. Cit, hlm. 209-213; L. Urban, Op. Cit, hlm. 105-107; Gronen, Op. Cit, hlm. 146-151; E. Kristiyanto, Op. Cit, hlm. 82
                [128] J. McGuckin, St Cyril of Alexandria and the Christological Controversy, (SVS, 2004, hlm. 135, diakses 09 Febuari 2010), diambil dari http://energeticprocession.wordpress.com/some-notes-on-the-christology-of-nestorius/ ; Internet


[129] Bnd: N. Dister, Op. Cit, hlm. 209-213; L. Urban, Op. Cit, hlm. 105-107; Gronen, Op. Cit, hlm. 146-151
[130] Sehingga dianggap Nestorius mengemukakan bahwa pada Yesus terdapat dua pribadi yang berbeda (nestorianisme) pada hal bukanlah demikian, ini hanyalah perbedaan interpretasi terhadap suatu istilah. Sehingga dari hal ini harus dibedahkan pemikiran sendiri dari Nestorius dan nestorianisme
[131] Pada tahun 412 Cyrillus dipilih dan diangkat menjadi uskup Alexandria, menggantikan Batrik Theophilus, pamannya. Cyrillus telah lahir di metropolitan city Mesir itu dan mendapat pendidikannya di pusat studi yang tersohor itu; perguruan Aleksandria. Sebagai Batrik Alexandria, Cyrillus seorang tokoh kontroversial. Rupanya ia mewarisi berbagai prasangka dari pamannya. Cukup lama hubungannya dengan Santo Yohanes Khrisostomus terganggu. Sama seperti sang paman, dalam menghadapai para lawannya, kegiatannya boleh dikatakan tak kenal kasihan. Setelah Nestorius pada tahun 428 menjadi uskup Kebatrikan Konstantinopel, Cyrillus dalam surat Paskahnya pada musim semi tahun 429 dan kemudian dalam surat edaran kepada para rahib di Mesir langsung membantah pandangan teologis Nestorius yang dilontarkan oleh yang terakhir ini dalam khotbah-khotbahnya. Dengan demikian, antagonisme tersembunyi yang selama dua generasi sudah terdapat dalam masalah Kristologis antara kedua pusat tersohor di Gereja Timur, sekarang menjadi konflik publik, bukan hanya antara para wakil dari kedua mazhab, melainkan juga antara Aleksandria dan Konstantinopel. Sejarah permusuhan timbal balik yang panjang antara kedua takhta itu menambahkan faktor politik kepada kontroversi teologis, sehingga kontroversi itu juga diwarnai perkelahian pribadi (N. Dister Op. Cit, hlm. 213).
[132] N. Dister, Op. Cit, hlm. 213-214
[133] Wellem,  Op. Cit, hlm. 88
[134] Ibid, hlm. 21-216
[135] J. McGuckin, Op. Cit, hlm. 132
[136] Groenen, Op. Cit, hlm. 152-153
[137] Bidaah ini memisahkan diri dari patriarkat Konstantinopel, mesti tidak dengan jelas membela bentuk monofisitisme dalam arti sepenuhnya, yaitu yang menyatakan peristiwa penjelmaan berarti peleburan kodrat keilahian dan kemanusiaan Kristus menjadi “kodrat” seperti titik air ke dalam laut. Monofitisme menerima bahwa Yesus Kristus manusia, tetapi mereka begitu menekankan keilahianNya sehingga kemanusianNya tidak berarti apa-apa. Paling tidak secara praktis kemanusiaan itu diserap oleh keilahian, kalaupun secara formal mereka mengakui Yesus Kristus sepenuhnya manusia. Yang termasuk penganut bidaah ini antara lain Timotius Aerulus yang menjadi Patriark Monofisit di Alexandria; Petrus yang menjadi Patriark Antiokhia. Akhirnya, Gereja-gereja monofisit diorganisasi oleh Sevetus dari Antiokhia yang diturunkan dari jabatan sebagai Patriark Antiokhia pada tahun 518. Gereja-gereja monofisit ini sekarang pada umumnya disebut Ortodoks Oriental (E. Kristiyanto, Op. Cit, hlm. 70-71; bnd N. Dister, Op. Cit. hlm. 218-221).
[138] N. Dister, Op. Cit, hlm. 218
                [139]  http://www.theopedia.com/Council_of_Ephesus
[140]  N. Dister, Op. Cit hlm. 218; bnd: E. Kristiyanto, Op. Cit, hlm. 85-86 
[141] T. Jacobs, IMANUEL, Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, (Yogyakarta: Kanisius,  2000), hlm. 225
[142] Ibid, hlm. 218-219
[143] A. van de Beek,  KRISTUS Pusat Kehidupan Kita, (Jakarta: BPK GM, 2003), hlm. 55. Bnd: E. Kristiyanto, Op.Cit, hlm. 87-90
[144] Millard-Erickson, Op.Cit, hlm. 379; Bnd: B. Milne, Op.Cit, hlm. 203
[145] Ibid, hlm. 221;  
[146] N. Dister, Op. Cit, hlm. 221-222
[147] A. Norris, Jr, “Letter to Flavian of Constantinople.” The Christological Controversy, (Philadelphia: Fortress Press, 1980), hlm. 150
[148] Untuk melihat penekanan risalah Paus Leo, lihat lampiran (hlm. 120-121)
[149] N. Dister, Op. Cit, hlm. 222; E. Kristiyanto, Op. Cit, hlm. 90-92
                [150] N. Dister, Ibid, hlm. 224
[151] Ibid
                [152] W. Elwell, Evangelical Dictionary of Theology, (Grand Rapids: Baker Book House, 1984), hlm. 392
[153] Untuk Syahadat Konsili Chalcedon, lihat lampiran (hlm. 121-122)
[154] W. Elwel, Op. Cit, hlm. 225; bnd: Groenen, Op. Cit, hlm. 165; T. Lane, Op. Cit, hlm 51; Collins-Farrugia, Op. Cit, hlm. 152-164
[155] N. Dister, Op. Cit, hlm. 225
[156] PGI, Dokumen keesaaan gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (DKG-PGI): Keputusan Sidang Raya XVI PGI, Wisma Kinasih, 29 November-5 Desember 2004, (Jakarta: BPK GM, 2007), hlm, 34-35
[157] Ibid, hlm. 39.
[158] Ibid
[159] Ibid, hlm. 72
                [160] Ibid
[161] Ibid
[162] Ibid, hlm. 73
[163] Ibid, hlm. 76
[164] Ibid, hlm. 78
[165] Ibid, hlm. 86
                [166] Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein. Istilah ini diambil dari tradisi Yunani. Dalam mitologi Yunani, ada yang namanya dewa Hermes. Dewa Hermes adalah dewa yang bertugas untuk menyampaikan pesan dewa misalnya Zeus kepada manusia. Para dewa memiliki bahasanya sendiri yang berbeda dengan bahasa manusia. Sehingga Hermeslah yang mengerti akan bahasa dewa menyampaikan pesan kepada manusia dengan menggunakan bahasa manusia, sehingga manusia bisa mengerti akan pesan yang dimaksud.
[167] Bnd: E. Sumaryono, Hermeneutik, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 23-34; H. Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran, (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1993), hlm. 133-249; A. Sutompul, Metode Penafsiran Alkitab, (Jakata: BPK GM, 1997), hlm. 314-316; G. Fee-D. Stuart,  Bagaimana Menafsirkan Firman Allah dengan Tepat, (Malang: Gandum Mas, 1989), hlm. 11-13; J. Haye-C. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab, (Jakarta: BPK GM, 1996, hlm. 37-160)
[168] Kitab Yesaya, terbagi atas tiga bagian, yaitu pasal 1-39 (Yesaya I; nubuat Nabi Yesaya sendiri), pasal 40-55 (Yesaya II/Deutero Yesaya), pasal 56-66 (Yesaya III/Trito Yesaya). Pasal 55-66 disebut Trito-Yesaya, seolah-olah pasal-pasal ini berasal dari satu nabi saja, tetapi itu tidak benar. Dan isinya ternyata ada banyak perbedaan di dalam ide-ide yang ditemukan di sini; rupa-rupanya pasal ini berasal dari penulis-penulis yang berbeda. Dari  isi Trito-Yesaya dapat disimpulkan mengenai keadaan historis: rupa-rupanya bangsa Israel sudah hidup kembali di Palestina dan Yerusalem sudah dibangun lagi. Pokok inti nubuat ini bukanlah kelepasan dari Babylon, tetapi keadaan yang kurang baik sesudah pada masa pembuangan di Babylon, kesusahan para pemimpin bangsa itu (pasal 56:9, dst), sinkretisme (pasal 57:3, dst), alasan-alasan terhadap pembangunan Bait Allah (pasal 66:3, dst), alasan-alasan terhadap pembangunan Bait Allah (pasal 66:1, dst). Kepercayaan yang optimis seperti yang terdapat dalam deutero Yesaya tidak ditemukan dalam Trito-Yesaya (J. Bloomendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama, 1979), hlm. 115-116).
[169] S. Widyapranawa, Tafsiran Jesaya 1-12, (Jakarta: BPK GM, 1973), hlm. 12
[170] M. Barth, Tafsiran Alkitab Kitab Yesaya Pasal 55-66, (Jakarta: BPK GM,2003), hlm. 3
[171] Lihat lampiran  (hlm. 122-124)
[172] G. Knight, ISAIAH 55-66. The New Israel, (Edinburg: The Handsel Press LTD), 1985, hlm 75-76
[173] Ibid
[174] M. Barth, Op. Cit, hlm. 79
[175] http//:gpdworld.us/content/pdstudi-tatabeket/keselamatan
                   [176] Kitab Daniel ditulis pada tahun 164 sM, pada masa puncak perjuangan Makkabeus. Kitab Daniel pasal 11 menguraikan sejarah penguasa Seleuka sampai pada zaman Antiokhus IV. Kitab Daniel bukanlah utamanya kita sejarah, melainkan tergolong dalam tulisan-tulisan apokaliptis. Tulisan-tulisan apokaliptis adalah tulisan-tulisan tentang penyataan ilahi kepada para bijak masa lampau, seperti Henokh, Abraham dan Daniel. Para bijak itu danggap menerima penyataan ilahi, yang kemudian ditulis di dalam tulisan-tulisan yang berisfat rahasia. Kitab Daniel sebenarnya adalah tulisan rahasia milik sekelompok kecil orang Yahudi. Nama Daniel dipakai di situ karena penulisnya hendak mengatakan, bahwa tulisannya itu adalah tulisan apokaliptis yang sudah sejak dari zaman Daniel dahulu.
Berita yang hendak disampaikan oleh para penulis apokaliptis itu ialah, bahwa meskipun keadaan zaman ini penuh dengan kekacauan dan kesulitan, orang harus tetap setia, karena kehendak Allah tentu akan segera dan tetap menang. Dengan demikian bahwa dapat dilihat bahwa penulis kitab Daniel hendak menyampaikan berita itu kepada orang-orang beriman zaman Makkabeus. (W.Wahono, Op. Cit, hlm. 275-276. Bnd: L. Newell, SERI TAFSIRAN  ALKITAB Kitab Daniel, (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara), 1996, hlm. 2-41; S. Siahaan, et. all, KITAB DANIEL Latar Belakang,Tafsiran dan Pesan, (Jakarta, BPK GM, 1994, hlm. 21-41); J. Collins, Daniel, (Yogyakarta, Kanisius, 1998),  hlm 11-18
[177] Lihat Lampiran  (hlm. 124)
[178] S. Siahaan, et. all, Op. Cit, hlm. 166-167
[179] J. Collins, Op. Cit, hlm. 70-71
[180] J. Douglas, Ensiklopedi ALkitab Masa Kini Jilid II M-Z, (Jakarta: YKBK/OMF, 2007), hlm. 627
[181]  L. Newell, Op. Cit, hlm.  272-273
[182] Penulis kitab Maleakhi tidak diketahui secara pasti. Namun dari isinya jelas bahwa kitab ini ditulis pada masa sesudah pembuangan di Babel. Isinya sangat menekankan ibadah dan memprotes kesalahan-kesalahan yang berkaitan dengan ibadah itu (kesalahan korban, kealpaan para imam, dll 1:6-2:9; 3:7-12). Pasal 3:1 dan 4:5-6 dikutip oleh penulis injil Lukas (Luk 1:17) sebagai nubuat akan kedatangan Yohanes Pembabtis. Meskipun kitab ini adalah kitab terakhir dalam urutan PL yang dimiliki (LAI), kitab ini bukanlah kitab yang ditulis paling akhir. Masa sesudah pembuangan itu berlangsung lama, dan selama itu cukup banyak kitab yang ditulis sesudah kitab Maleakhi (W. Wahono, Op. Cit hlm. 266. Bnd: A.Hill-J.Walton, Survei PL, (Malang: Gandum Mas, 1996), hlm. 702-703; W. S Lasor, et. all, Pengantar PL 2 Sastra dan Nubuat, (Jakarta: BPK GM, 1994); Bloomendaal, hlm. 143-144).
[183] R. Paterson, Tafsiran Alkitab Kitab Nabi Maleakhi, (Jakarta: BPK GM, 1985), hlm. 43
                [184] http://www.gkri-exodus.org/page.php?DOC-TRITUNGGAL-03
[185]http://dedewijaya.blog.friendster.com/2006/04/siapakah-yang-dimaksud-dengan-”malaikat-tuhan”-atau-”malaikat-allah”-atau-”malaikat-perjanjian”-maleakhi-32-dalam-perjanjian-lama/
                [186] Ibid
[187] Lih: Frans Donald, Op. Cit,  Kasus Besar yang Keliru: ternyata Yesus Malaikat, hlm. 110-111
[188] Lihat lampiran  (hlm. 125)
                [189] Bnd: C. Brown (ed), Exegitical Dictionary of the  New Tastement, (Michigan: Exeter The Pater Noster Press, 1980), hlm. 103
[190] Lihat lampiran (hlm. 125-127)
[191]  Puisi terdiri dari baris-baris (nama lain untuk baris ialah larik, kolon atau stikhus). Setiap ayat puisi Ibrani pada umumnya terdiri dari dua baris atau bikolase tetapi kadang-kadang juga tiga baris atau trikolase. Apabilah dalam satu ayat ada empat baris, maka itu menunjukkan trikolase, serta baris terakhir membentuk biloklase dengan baris pertama dari ayat yang berikut. Dalam Alkitab baris kedua dicetak sedikit ke dalam, sedang apabilah ada trikolase baris ketiga dicetak sejajar dengan baris kedua. (M. Bartha-B. Pareira, Tafsiran Alkitab KITAB MAZMUR1-72, Pembimbing dan Tafsirannya, (Jakarta: BPK GM, 1997), hlm. 42
                   [192] Dalam puisi Ibrani ada yang dimaksud dengan irama. Irama ialah kesejajaran atau perimbangan gagasan atau pikiran antar baris. Istilah yang lebih terkenal ialah pararellisme atau paralisme memborum. Pararellisme ini termasuk ciri khas bukan saja dari pusi Ibrani, tetapi pusi Semit pada umumnya. Pararellisme ini tampat dalam empat macam bentuk:
1.       Pararellisme yang sinonim (serarti), artinya gagasan dalam baris pertama diperdalam dalam baris kedua, contoh: Mzm 2:3, 114:4
2.       Pararellisme yang antitesis, artinya baris kedua menegaskan gagasan dari baris pertama dari sudut yang berlawanan, contoh: Mzm 20:9, 37:22
3.       Pararellisme yang sintesis, artinya baris kedua melanjutkan atau melengkapi gagasan dalam baris pertama, contoh: Mzm 2:6,
4.       Pararellisme perbandingan, artinya baris yang satu memperjelas gagasan dalam baris yang lain melalui suatu perbandingan, contoh: Mzm 4:2 (M. Barth-B. Pareira, Op. Cit, hlm. 42-43. Bnd: Lassor, et. all, Op. Cit, hlm. 26-31; hlm. 26-31; A. Hill-J. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandung Mas, 1996), hlm. 407-408).
                [193]  W. Barclay, Pemahaman Alkitab setiap Hari, IBRANI, (BPK GM Jakarta, 1981), hlm. 22-27; Bnd: Brill, W, Tafsiran surat Ibrani, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1993), hlm. 22-36; Lembaga Biblika Indonesia,  Surat-surat Ibrani, (Kanisius: Yogyakarta, 1985), hlm. 20-34; Peter Wonso, Eksposisi Doktrin Alkitab Surat Ibrani, (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT)), 1997, hlm. 90-95, 109-113 
[194]  W. Barclay,  Ibid
[195] Ibid
[196] Ibid
[197] Ibid
[198] Ibid 
                [199] Ibid
[200] Peter Wongso, Op. Cit, hlm. 112. Bnd: W. Nicoll (ed), The Expositori’s Greek Testament, (New York and London Press, 1978), hlm. 256; G. Kittel (ed), Theological Dictionary of The New Testament Vol II, (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1964), hlm. 830-832; H. Balz-G. Schneide (ed), EXEGETICAL DICTIONARY OF THE NEW TESTAMENT VOLUME II,  (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1991), hlm. 420
[201] P. Wongso, Ibid, hlm. 110
[202] Ibid
[203] Kitab Wahyu adalah kitab yang paling penuh teka-teki dari semua tulisan dalam PB. Kitab ini ditulis oleh seseorang yang disebut Yohanes, di pulau Patmos, kira-kira pada zaman pemerintahan Domitianus. Kitab wahyu adalah tulisan atau sastra apokaliptis Kristen. Kitab ini muncul dari pengalaman penderitaan yang berkesinambungan dari persekutuan Kristen pada zaman kekaisaran Romawi. Dalam penderitaan seperti itu muncullah perngharapan yang kuat. Dan kitab Wahyu ditulis untuk menopang dan memperkuat orang-orang Kristen yang mengalami penyiksaan dan penderitaan itu. Berita yang disampaikannya bersifat simbolis, angka-angka, pedang, trompet, sangkakala, materai, mahkota, jubah putih, jumlah hari 7, 12 dan 1260, jumlah bulan, angka 666 dsb. Semua simbol itu ternyata sangat menarik perhatian orang Kristen sepanjang abad dan segala tempat (W. Wahono, Op. Cit, hlm. 471).
[204] Bnd: D. Hagelberg, Tafsiran kitab Wahyu; DARI BAHASA YUNANI, (Yogya: Yayasan Andi, 2005), hlm. 182-192); Y. Bambang Mulyono, Teologi Ketabahan; Ulasan atas Kitab Wahyu Yohanes, (Jakarta: BPK GM, 1993), hlm. 95-114; Drs. J.de Heer, Tafsiran Alkitab WAHYU YOHANES II, (Jakarta: BPK GM, 1978), hlm. 15-25; A. Pos, Tafsiran WAHYU, (Jakarta: BPK GM, 1966), hlm. 113-118
                   [205] “Naga dilemparkan ke bawah” (Wahyu 12:9). Kata  “dilemparkan” diterjemahkan dari bahasa Yunani, yaitu eblhqh. eblhqh adalah kata kerja aorist pasif indikatif orang ke III singular dari kata ballw (melemparkan), artinya “dia telah dilemparkan”. Dalam konteks ayat ini, dalam peperangan dengan Mikhael dan malaikatnya “iblis telah dilemparkan ke bawah”.
                   “Yesus memusnahkan Iblis” (Ibrani 2:14). Kata “memusnahkan” diterjemahkan dari bahasa Yunani, yaitu katargesh. katargesh adalah kata kerja aorist aktf subjuntif orang ke III singular, dari kata katargew (memusnahkan), artinya Dia telah memusnahkan. Dalam konteks ayat ini, “oleh kematian Yesus, Ia memusnahkan iblis”.

                [206] Pada awal pertumbuhan orang Kristen dianiaya oleh penguasa Roma dan disuruh untuk menyangkal Yesus dan menyembah Kaisar. Tapi sejarah mencatat banyak orang yang relah mati agar tidak menyangkal Yesus Kristus dan menyembah Kaisar. Karena umat meyakini bahwa hanyalah Yesus Kristus satu-satunya Kyrios yang patut disembahh. Ada banyak kyrios lain seperti Kaisar. Tapi kyrios-kyrios itu bukanlah Allah, Tuhan. Hanya Yesuslah yang patut disebut sebagai Allah, Tuhan satu-satunya yang berkuasa atas seluruh ciptaan-Nya, yang memiliki seluruh ciptan-Nya, sehingga ciptan-Nya harus tunduk dalam kuasanya, menyembahnya sebagai satu-satunya Tuhan, Allah yang berkuasa (Lihat lampiran hlm. 128-130).
                Kata Kyrios memiliki padanan yang sama dengan kata Yahweh, Adonai (Ibrani), Mara (Aram). Dalam tradisi Yahudi nama Allahnya Israel dikenal sebagai YHWH. Kemudian juga disebut Yahweh. Yahweh ini adalah nama yang sakral bagi orang Yahudi. Nama diri Allah Israel ini tidak boleh diucapkan dengan sembarangan sehingga kata ini diterjemahkan dengan kata adonai. Dengan demikian umat Israel terhindar dari penyebutan nama Yahweh sehingga bisa menjaga ke-sakralan-nya (bnd hukum ke-3 dari hukum taurat).  Kata ini diambil dari tradisi Yahudi yang erat kaitannya dengan kebudayaan waktu itu. Adonai dapat diartikan dengan kata “Tuan”dalam bahasa Indonesia. Kata “Tuan” atau adonai ini adalah sebutan kepada suatu penguasa terhada segala miliknya. Kata ini diambil dalam tradisi pertanian Israel. Seorang Tuan adalah serorang yang paling berkuasa atas segala miliknya. Dan oleh karena itu segala miliknya itu harus tunduk, menyembah, dan mengakui dari kekuasaan Tuan itu. Kata YHWH disebut juga dengan Adonai adalah sebutan khusus untuk Allah Israel yang berkuasa atas seluruh umatnya, yang patut disembahh oleh umatnya, YHWH/Adonai adalah penguasa dari umat Israel, umat Israel adalah milik dari Yahweh/Adonai. Hanya YHWH/Adonai-lah yang satu-satunya patut disembahh oleh umat Israel dan tidak ada yang lain. Kemudian, nama Yahweh juga menjadi diri dari Allah Israel. Kata ini diterjemahkan dengan kata kyrios dalam bahasa Yunani.  (Bnd. Niftrik-Boland, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: BPK GM, 2001), hlm. 212-225; Groenen, Op. Cit, hlm. 43-45,73; Y. Saruan, Iman Kristen, (Tomohon: Lembaga Penerbit Diakonos, 2005), hlm. 3-39).
                Untuk mengerti kata kyrios ini perlu dipahami dua hal yang pertama pengertian secara harfiah dan secara teologis. Secara harfiah cocoklah adonai, Yahweh diterjmahkan dengan kata kyrios. Karena dalam budaya Yunani kyrios itu juga sebutan untuk oknum penguasa tertentu baik dalam hubungan tuan dengan hambanya, sebutan untuk Kaisar. Tapi kata ini akan sangat dalam jika dilihat dari arti teologisnya. Kata kyrios adalah kata (yang dipakai oleh penulis LXX ketika menyalin kitab PL dalam bahasa Ibrani ke bahasa Yunani) yang dipakai untuk terjemahan kata adonai, Yahweh. Seperti dijelaskan sebelumnya kata ini memiliki arti yang mendalam bagi umat Israel. Kata ini adalah nama diri Allah sehingga tidak boleh disebut sembarangan, Nama ini adalah menjurus pada sebutan Allah Israel untuk Allah yang selalu menjaga, berkuasa atas hidup Israel dan yang patut disembahh hanyalah YHWH saja. Ada banyak elohim, kyrios  yang lain tapi hanya kyrios/YHWH adonai/Yahweh yang patut disembahh. Kyrios  memiliki arti teologis atau memiliki substansi ilahi yang jelas dari tradisi Yahudi yang menujuk pada Allah Israel yang patut disembahh, yang berkuasa penuh atas ciptaannya, oleh karena itu ciptannya patut menyembahnya sebagai Allah yang satu-satunya. Dan gelar ini dalam perjanjian baru dikenakkan pada Yesus Kristus.

[207] Lih: Frans Donald, Op. Cit, ALLAH DALAM ALKITAB & AL QUR’AN, hlm. xxv
[208] Frans Donald, Op. Cit, Kasus Besar yang Keliru: Ternyata Yesus Malaikat, hlm. 49-50
[209] Istilah ini digunakan oleh Adji Sutama dalam menanggapi kerja tafsir James Tabor (A. Sutama, Yesus Tidak Bangkit? Menyingkap Rekayasa Yesus Historis dan Makam Talpiot, (Jakarta: BPK GM, 2007), hlm. 8 dst. 
                [210] Memasukan pola pikir kita dan mengambil teks-teks Alkitab untuk mendukung pola pikir kita.
[211] Hal ini memembutuhkan penelitian yang lebih lanjut
                [212] Groenen, Op. Cit , hlm. 131; Bnd:  N. Dister, Op. Cit, hlm. 144
[213] Ibid, hlm. 132
[214] Ibid, hlm. 131
[215] N. Dister Op. Cit, hlm. 153; Bnd: Groenen, Op. Cit, hlm. 128-132.
[216]  N. Dister, Op. Cit, hlm. 223
[217] Ibid, hlm. 226; bnd: Groenen, op.cit, hlm. 166
[218] Alkitab Bahasa Ibrani terbita LAI
[219] Terjemahan Baru
[220] Septuaginta adalah terjemahan Alkitab Perjanjian Lama ke bahasa Yunan oleh 70 ahli kitab yang dilakukan  pada kr. abad II/III sM.
[221] Terjemahan Frans Donald
[222] Terjemahan Frans Donald

1 komentar: