Penulis: Chrisvil Mawuntu, S. Teologi
Ini adalah karya ilmiah penulis sebagai salah satu syarat menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia di Tomohon.
Untuk informasi hubungi: maivanmawuntu@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
A.
LATAR
PEMIKIRAN DAN ALASAN PEMILIHAN JUDUL
“Yesus Kristus adalah adalah Jagoan
atau Pahlawan saya”. Ini adalah pernyataan dan pengakuan penulis sewaktu kecil.
Pernyataan dan pengakuan ini muncul setelah mendengar cerita-cerita dari guru sekolah
minggu, orang tua yang menceritakan dan mengajarkan kehebatan dari Yesus
Kristus yang menyembuhkan orang sakit, mengusir roh jahat, menyeberangi laut
dan sebagainya. Seiring bertambahnya usia, pemahaman penulis tentang hal ini
bertambah. Dari pelajaran katekisasi anggota sidi jemaat yang diikuti, penulis mandapati bahwa Yesus Kristus bukan hanya sekedar Jagoan atau
Pahlawan, tapi Ia adalah Allah yang menjelma menjadi manusia untuk
menyelamatkan dunia. Ia adalah Tuhan dan Juruselamat. Karena hal inilah penulis
sangat tertarik untuk belajar tentang Yesus Kristus. Itu sebabnya, saat penulis
kuliah di Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia di Tomohon (UKIT),
Kristologi menjadi mata kuliah favorit.
Selama kuliah, penulis mendapatkan
banyak pembelajaran secara menyeluruh dan mendalam tentang Yesus Kristus. Dari
pembelajaran yang ada, topik yang sangat menarik bagi penulis adalah topik yang membahas bahwa Yesus Kristus
bukanlah Allah. Yang penulis ketahui sampai sekarang, pemahaman ini berbeda dengan
ajaran Gereja. Topik ini semakin menarik karena ternyata pemahaman ini sudah
ada di Indonesia, dan justru dikemukakan oleh orang Kristen sendiri. Misalnya
saja pemahaman dari Frans Donald.[1]
Ini menjadi perhatian penulis, karena ia menulis tiga buku yang intinya
mengemukakan Yesus Kristus bukan Allah. Buku-buku tersebut ialah “Kasus Besar yang Keliru: ternyata Yesus
Malaikat, Allah dalam Alkitab & Al Qur’an, Sesembahan
yang sama atau berbeda dan Menjawab
Doktrin Tritunggal tentang Ke-Allah-an Yesus. Buku “Kasus Besar yang Keliru, ternyata Yesus Malaikat mulai terbit
tahun 2004 dan sampai sekarang ini telah direvisi.[2]
Dalam edisi lama ada sedikit topik mengulas tentang kekeliruan Trinitas, tapi
dalam edisi revisi hal tersebut tidak ada, sebab telah dituangkan (dialihkan)
ke buku yang berjudul Menjawab Doktrin
Tritunggal tentang Ke-Allah-an Yesus sejak Agustus 2007.[3]
Ia mengemukakan bahwa sejatinya ketiga
bukunya ini merupakan semacam trilogi dan sangat berkaitan erat satu
dengan lainnya.[4]
Tulisan-tulisannya lahir dari pengaruh komunitas Kristen Tauhid (Christian Unitarian)[5].
Ada fakta yang
menarik tentang tulisan Frans Donald ini. Di tokoh buku Gramedia[6],
buku yang berjudul “Allah dalam Alkitab
& Al Qur’an, Sesembahan yang sama atau berbeda”
menjadi buku best seller.[7] Ini berarti di Sulawesi Utara ada
banyak orang yang sudah membaca buku ini dan mungkin telah mempengaruhi iman
mereka kepada Yesus Kristus.
Menanggapi hal ini
penulis hendak melakukan penelitian lebih lanjut terhadap pemahaman tentang
Yesus adalah Malaikat Mikhael. Dalam kaitannya dengan studi dogmatika, yaitu
supaya bisa fokus dalam penelitian, maka penulis memfokuskan pada pemahaman
“Yesus adalah Malaikat Mikhael”, seperti pemahaman Frans Donald. Pemahaman Frans Donald ini, terdapat dalam
bukunya Kasus Besar yang Keliru: ternyata Yesus Malaikat. Dari hal ini dapat dilihat ternyata studi
dogmatika tentang Kristologi tetap relevan dalam konteks sekarang.
Penulis ingin
mempelajari dan memberikan tanggapan kritis terhadap pemahaman “Yesus adalah
Malaikat Mikhael”, seperti pemahaman teologis Frans Donald. Jadi bukan dalam
maksud saling menyalahkan. Untuk memberikan tanggapan kritis atau kajian
dogmatis terhadap pemahaman Frans Donald ini, maka akan dilihat juga
berdasarkan perbandingan ataupun refleksi dari pemahaman Kristologi Abad
Mula-mula sampai Konsili Chalcedon dan Yesus Kristus dalam konteks Indonesia
dalam Dokumen Keesaan Gereja (DKG) oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
(PGI). Hal ini diharapkan bisa memberikan bahan perbandingan terhadap buku-buku
kontroversial tentang Yesus Kristus yang beredar di masyarakat dan memberikan
kontribusi kepada jemaat.
Dari latar
pemikiran di atas, penulis memilih judul dalam tulisan ini: KRISTOLOGI;
Kajian Dogmatis terhadap Pemahaman Teologis Frans Donald tentang Yesus Kristus.
B.
IDENTIFIKASI
MASALAH
Dari pemikiran dan alasan pemilihan
judul di atas, maka penulis mengidentifikasikan masalah-masalah yang ada:
Ø Adanya
pemahaman yang mengemukakan bahwa Yesus
Kristus bukanlah Allah
Ø Pemahaman Frans Donald tentang Yesus adalah Malaikat
Mikhael
Ø Adanya aliran Kristen Tauhid yang berpikir bebas
tentang ajaran-ajaran Gereja.
Ø Keragu-raguan
terhadap dogma Trinitas.
Ø Allah
dalam Alkitab dan Allah dalam Al Qur’an adalah Allah yang sama.
C.
PEMBATASAN
DAN PERUMUSAN MASALAH
Pembatasan
Masalah:
Dari identifikasi masalah di atas,
maka penulis membatasi masalah pada pemahaman Frans Donald yang mengemukakan
bahwa Yesus adalah Malaikat Mikhael.
Perumusan
Masalah:
Dari pembatasan masalah di atas,
maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: APAKAH
YESUS ADALAH MALAIKAT MIKHAEL?
D.
TUJUAN
DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan
Penelitian:
Ø Untuk
mengetahui pemahaman teologis Frans Donald bahwa Yesus adalah Malaikat Mikhael,
Ø Untuk
menelusuri tentang Yesus Historis, pemikiran tentang Yesus Kristus adalah Allah
dalam Kristologi Abad Mula-mula sampai Konsili Chalcedon, Yesus Kristus di tengah konteks Indonesia
dalam DKG; tafsiran Yesaya 63:9; Daniel 9:25; Maleakhi 3:1; I Tesalonika 4:16;
Ibrani 1:5, 9 dan Wahyu 12:7-9.
Ø Untuk
memberikan tanggapan kritis terhadap pandangan Frans Donald yang mengemukakan
tentang Yesus adalah Malaikat Mikhael.
Manfaat
Penelitian
Ø Memberikan
sumbangan pemikiran tentang Yesus Kristus kepada jemaat dalam rangka menghadapi
pemikiran yang mengemukakan bahwa Yesus Kristus bukanlah Allah.
Ø Memberikan
sumbangan pemahaman tentang Kristologi bagi pendidikan Teologi, khususnya studi
dogmatika dalam upaya berteologi.
Ø Memberikan
pemahaman kepada penulis dalam usaha berteologi dalam kehidupan bergereja dan
bermasyarakat.
E.
PENDEKATAN
STUDI DAN METODE PENELITIAN
Dalam tulisan ini penulis melakukan
kajian dogmatis berupa studi literatur dengan menggunakan pendekatan studi kualitatif.
Penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu suatu metode dalam memilih status
kelompok manusia, suatu objek, suatu sistem pemikiran/ suatu kelas peristiwa
pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif untuk membuat deskripsi/ gambaran atau
lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat
serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.[8]
Penulis mengumpulkan data lewat alat
penelitian: observasi, wawancara dan studi dokumen dalam mendapatkan data yang perlu.
Penulis melakukan observasi langsung dengan cara pengambilan data dengan
menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan
tersebut.[9]
Wawancara yang dilakukan di sini ialah wawancara tidak terstruktur, yaitu
pedoman wawancara yang hanya memuat garis besar yang akan ditanyakan.[10]
Penulis melakukan wawancara kepada Frans Donald sendiri untuk mendapatkan
data-data yang diperlukan, karena ialah yang menulis bukunya dan paling tahu
tentang tulisannya. Wawancara ini
dilakukan melalui sms dan email karena jarak yang jauh. Dokumen yang dimaksud di sini adalah
mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkrip, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda,
dsb.[11]
Dokumen dalam tulisan ini diambil dari internet.
F.
SISTEMATIKA
PENULISAN
Pendahuluan
: Bagian ini terdiri
dari latar pemikiran dan alasan pemilihan
judul, identifikasi
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pendekatan studi dan metode penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB
I : “Tentang
Frans Donald”, dan Pemahaman Frans Donald tentang Yesus adalah Malaikat Mikhael
berdasarkan bukunya yang berjudul “KASUS
BESAR YANG KELIRU: Ternyata Yesus Malaikat”.
BAB
II : Data
teori tentang Yesus Historis, Kristologi Abad Mula-mula sampai Konsili
Chalcedon, Yesus Kristus di tengah konteks Indonesia dalam DKG dan tafsiran
Yesaya 63:9; Daniel 9:25; Maleakhi 3:1; I Tesalonika 4:16; Ibrani 1:3-5, 9 dan
Wahyu 12:7-9.
BAB
III : Analisis
dan refleksi teologis
PENUTUP : Kesimpulan dan saran.
BAB I :
FRANS
DONALD DAN
PEMAHAMANNYA
TENTANG YESUS KRISTUS
A. TENTANG FRANS DONALD
Frans
Donald lahir pada tanggal 5 Oktober 1977 di Jember, ia memiliki tiga saudara,
yaitu Franz Prima, Raymond Johannes,
dan Dhietz Radietya.
Frans Donald pernah berstudi di SMA Negeri 1 Jember, dan kuliah di UNISA
(Universitas Semesta Alam). Sekarang ia telah menikah. Ia juga menjadi Bos di Borobudur Indonesia Publishing.
Dalam Facebooknya, ia mengemukakan
status agamanya sebagai berikut: BAJU: KRISTEN
UNITARIAN (KRISTEN YANG BUKAN PENGANUT DOGMA TRINITAS).[12]
Setiap buku tulisan Frans Donald (dalam catatan tentang penulis), dikemukakan bahwa ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga Katolik yang sederhana. Sepeninggal ayahnya, karena kerinduan akan kebenaran ia telah melakukan passing over ke dalam berbagai denominasi Protestan (Pantekosta/Kharismatik, Bethani, Saksi Yehovah, Adventis, dll), Hindu Dharma dan Islam. Hal ini dilatarbelakangi karena Frans Donald suka belajar dari berbagai denominasi Gereja dan Agama. Ia juga suka yang namanya "kebebasan berpikir”.[13] Kebebasan beripikir yang dimaksudnya ialah memikirkan secara bebas dogma-dogma yang ada sekarang ini. Latar belakang ia menyukai kebebasan berpikir karena ia "muak"[14] dengan tembok-tembok agamis, terutama doktrin-doktrin para agama monoteis (Yahudi-Kristen-Islam) bahkan setelah ia mempelajari lebih jauh tentang hal ini, ia menyimpulkan bahwa doktrin-doktrin agama selama ini ternyata mengandung racun-racun dan jebakan.[15] Inilah salah satu hal yang menurut Frans Donald menyebabkan terjadinya konflik antar agama di Indonesia, khususnya agama Islam dan Kristen.
Ia menulis tiga buku yang kontroversial, yaitu “Kasus Besar yang Keliru: ternyata Yesus Malaikat, Allah dalam Alkitab & Al Qur’an, Sesembahan yang sama atau berbeda[16] dan Menjawab Doktrin Tritunggal tentang Ke-Allah-an Yesus. Dalam bukunya “Kasus Besar yang Keliru: ternyata Yesus Malaikat” Frans Donald memberikan pandangan teologisnya sekaligus pengakuan imannya bahwa ternyata Yesus itu Malaikat Mikhael, ini dikemukakannya setelah menggumuli imanya selama ini dan mengkajinya berdasarkan teori-teori yang ada. Dalam bukunya “Allah dalam Alkitab & Al Qur’an, Sesembahan yang sama atau berbeda” ia mengemukakan bahwa ternyata Allah orang Islam dan Kristen adalah Allah yang sama, dan oleh sebab itu Yesus Kristus bukanlah Allah sejati, tapi hanya nabi, Mesias, “Anak Allah”. Dalam bukunya “Menjawab Doktrin Tritunggal tentang Ke-Allah-an Yesus” ia memberikan pandangannya (melalui tafsiran-tafsirannya tentang ayat-ayat Alkitab) bahwa konsep Trinitas itu bukanlah produk Alkitab tapi lebih pada produk dari konsili-konsili dalam kurun waktu tahun 300-400. Ia mengemukakan bahwa sejatinya ketiga bukunya ini merupakan semacam trilogi dan sangat berkaitan erat satu dengan lainnya.[17]
Alasan Frans Donald menulis
buku-bukunya antara lain adalah untuk
meruntuhkan tembok dogma pemisah agama yang selama ribuan tahun telah menjulang
tinggi, mengakar dalam, berlumut tebal, angker dan haus darah, dan juga agar
supaya orang Islam benar-benar taqwa dan berserah kepada Allah dengan segenap
hati, bukan dalam arti hanya beragama Islam dalam KTP saja, begitu pula orang
Kristen benar-benar menghormati dan taat pada Alkitab lebih dari pada segala
dogma hasil kesepakatan manusia yang bisa berubah-ubah dan bisa salah di setiap
zaman[18]
(alasan dan tujuan penulisan buku Allah
dalam Alkitab dan Al Qur’an) dan juga alasannya ialah sebagai ekspresi iman[19]
(alasan penulisan buku Kasus Besar yang Keliru: Ternyata Yesus Malaikat).
Akibat tulisan-tulisan lewat
buku-buku dari Frans Donald ini, maka muncul juga reaksi-reaksi dari masyarakat
dan para teolog di Indonesia. Reaksi masyarakat tentang buku-buku Frans Donald
ini ada yang positif dan negatif. Yang positif mengatakan bahwa: “Puji Tuhan,
ini karya yang sungguh luar biasa”, “Gila! Saya ini atheis, tapi buku ini (buku
Frans Donald) benar-benar membuat saya merasa gila!.... saya rasa setiap orang
yang mengaku beragama, apalagi yang namanya Islam dan Kristen, Ustad dan
Pendeta wajib baca buku ini”, “Frans Donald seperti nabi di zaman ini”, “setiap
dekade selalu muncul buku
yang mempengaruhi peradaban manusia menjadi lebih baik. Buku ini adalah salah
satunya!”, “buku anda (buku Frans Donald) sangat bagus sekali, saya sudah
selesai membacanya dan sangat senang sekali, sendainya semua orang punya
pemikiran seperti anda”, “bersyukur setelah membaca buku anda (buku Frans
Donald), semoga pak Frans Donald semakin dipakai Tuhan”.[20]
Dan ada tanggapan atau reaksi
negatif yang mengatakan bahwa: “Frans Donald, “guoblok sekali!”, “Frans Donald kamu salah ajaran, kamu bidat,
sesat, ilegal!”[21] Dan ada juga tanggapan yang lebih ilmiah yang
dikemukakan oleh para teolog di Indonesia seperti Pdt Esra Alfred Soru dan
kawan-kawan yang menulis di Koran Timor Express 10 hari lebih bahwa Frans
Donald penipu ulung, sesat, dll. Juga Pendeta Budi Asali, Bambang Noorsena yang
menulis 2 buku menyerang Unitarian.[22]
Tapi tanggapan keluarga terhadap Frans Donald ini sangat positif. Kedua
orangtuanya (almarhum) bersikap liberal terhadap iman anak-anak mereka karena
sudah dianggap dewasa, walaupun dalam hal ini baik kedua orang tua Frans Donald
dan keluarganya tidak ikut bergabung dengan Frans Donald karena memiliki
pandangan dan kebebasan tersendiri terhadap iman mereka.[23]
Tulisan-tulisannya ini lahir tidak
lepas dari pengaruh komunitas Kristen Tauhid (Christian Unitarian). Kristen Tauhid adalah sebuah aliran atau
kelompok yang berbeda dengan aliran Kekristenan pada umumnya. Perbedaan yang
paling mendasar antara Kristen Tauhid dan aliran Nasrani lainnya adalah
ketidakpercayaan Kristen Tauhid terhadap doktrin Trinitas. Berdasarkan
kesaksian salah seorang yang pernah mengikuti kebaktian Kristen Tauhid, dapat
diketahui beberapa hal menarik yang menjadi ciri khas Kristen Tauhid. Seperti
kebanyakan penganut Islam, dalam kebaktian mereka (Kristen Tauhid) juga
mengucapkan sejenis sahadat. Mereka menyebutnya dengan sahadat kristiani.
Mereka mengucapkan lailahailallah Isarukhallah. “Yang merupakan shahadat Kristiani,
artinya tiada Tuhan selain Allah, Isa adalah roh Allah”. Aliran Kristen Tauhid
telah disahkan oleh Bimas Kristen Departeman Agama RI pada tahun 2000. Di
Indonesia aliran kristen Tauhid membuat gebrakan dan serangan kepada
aliran-aliran besar (Katolik, Protestan, dan semua yg
mengakui doktrin Trinitas). Kristen Tauhid tergabung dalam
persatuan Unitarian Internasional (yang sering memakai
lambang yg mirip dengan lampu teplok minyak).[24]
Sampai saat ini Frans Donald ‘berlabuh’di kominitas religius Kristen Tauhid (Christian Unitarian) yang ia nilai terbuka dan tidak dogmatis, dan memberi kebebasan kepada setiap
orang untuk merumuskan iman berdasarkan hati nurani dan akal sehatnya. Ia
tertarik dengan hal ini karena dalam komunitas Kristen Tauhid sering melakukan
diskusi terbuka tentang dogma tertentu, berprinsip inklusif, “memiliki
pengatahuan Alkitabiah yang cukup baik”. Frans Donald mengenal Kristen Tauhid
dari temannya, yaitu Ibu Gian, kemudian ia sendiri yang mulai mengunjungi Ibu
Gian untuk mempelajari lebih dalam mengenai komunitas ini. [25]
Frand Donald juga
disebut sebagai pemikir bebas yang meyakini bahwa umat Islam dan Kristen adalah
sama-sama anggota keluarga besar ciptaan Allah. Kepedualiannya adalah agar
kedua umat agama tersebut tidak berpikir sempit dalam kotak-kotak dogma doktrin
hasil karya manusia, tetapi kembali pada hakikat ajaran kitab-kitab suci dan
menghormati kebebasan berpikir.[26]
B. PEMAHAMAN FRANS DONALD TENTANG
YESUS KRISTUS
Frans Donald
mengawali pemahamannya tentang Yesus adalah Malaikat Mikhael dalam bukunya ini
dengan memberikan pengalaman pribadinya tentang nama Yesus Kristus. Ia
mengemukakan bahwa pengenalan terhadap nama itu sempat banyak memakan pikiran
dan bahkan penderitaan konflik batin yang cukup lama menggerogoti pikirannya. Beberapa kali dalam
pandangan-pandangannya yang terdahulu tentang Yesus ternyata belumlah tepat dan
memuaskan jiwanya, masih ada ganjalan. Dulu ketika ia masih memegang doktrin
Katoliknya, ia sempat diyakinkan bahwa Yesus itu adalah Allah sejati yang
menjelma menjadi manusia. Hampir setiap pagi sebelum masuk sekolah, ia selalu
berlutut di depat altar Gereja Katolik Santo Yosep Jember, dan mulai berdoa
kepada Allah yang saat itu ia kenal sebagai tiga pribadi yang satu dalam
hakikat, yang salah satu pribadinya bernama Yesus Kristus. Allah Bapa,
Allah Yesus Kristus (Allah Anak),
dan Allah Roh Kudus.[27]
Frans
Donald berdoa kepada tiga pribadi Allah yang katanya satu dalam hakikat. Itulah
masa kanak-kanaknya. Kemudian setelah beberapa belas tahun berlalu, ketika
kepalanya mulai merasakan jatuh cinta sama yang namanya kebebasan berpikir, terbang
melayang menembus batas dogma, dan mulai melintasi dogma-dogma Islam, ia pun
mulai mengkaji dari dogma-dogma yang diajarkan oleh mayoritas ulama Islam, ia
diberitahu bahwa Yesus bukanlah Allah sejati, Yesus adalah Nabi yang sama
hakikatnya seperti Musa dan Muhamad, 100 % manusia, tidak lebih. Dan saat ini
pandangannya telah berubah. Ia mengaku sebagai seorang Kristen yang tidak
percaya lagi bahwa Yesus itu adalah hakikatnya Allah sejati seperti dogma
Trintunggal. Baginya, doktrin Trintunggal jelas terlalu mengada-ada. Tetapi ia
juga tidak percaya bahwa Yesus hanyalah nabi yang berasal dari manusia biasa
seperti yang diajarkan oleh banyak ulama Islam.[28]
Frans
Donald melanjutkan bahwa dari perkataan Yesus dalam Alkitab yang menyatakan
bahwa “hanya Bapa saja satu-satunya
Allah yang benar dan Yesus adalah utusan Allah” (Yohanes 17:3), jelas tidak bisa disangkal bahwa Yesus
bukanlah Allah sejati. Sedangkan dari kesaksian Al Qur’an yang menyatakan bahwa “Isa Almasih adalah
seorang yang terkemuka di akhirat” (Ali Imran 45) menurut Frans Donald akan
terlalu tergesa jika ditafsirkan bahwa Isa Almasih hanyalah manusia biasa. Jika
Yesus seorang manusia biasa, tentu dia memang bisa menjadi “terkemuka di
dunia”, tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah seorang manusia bisa pula
“terkemuka di akhirat”? Dalam pandangan Frans Donald, setidaknya sampai bukunya
ini ditulis, Yesus bukanlah Allah sejati, tetapi juga bukan manusia biasa. Dari
berbagai penyelidikan dari banyak tulisan-tulisan, baik karya penulis Kristen
maupun Islam, iapun mulai menelaah dan menemukan bahwa sosok Yesus yang berbeda
dari Yesus yang ia kenal dari versi dogma, ataupun Yesus yang ia kenal dari
versi tradisi Kristen.[29]
Menurut
Frans Donald, nama Yesus Kristus terdiri dari dua kata: Yesus (Arab: Isa) dan
Kristus (Arab: Almasih). Yesus disalin dari bahasa Yunani ‘Iesous’, yang disalin dari bahasa Ibrani ‘Yehoshua’, yang mengandung arti “Hua (Allah) menyelamatkan”. Allah
menyelamatkan umat manusia melalui Yesus, itu sebabnya dia juga yang disebut
sebagai: Sang Juruselamat dunia. Yehoshua
yang artinya “Allah menyelamatkan” bukanlah berarti bahwa Yesus itu adalah
suatu makhluk hasil inkarnasi Allah itu sendiri, melainkan Ia adalah utusan Allah, yang datang
sebagai “agen penyelamat” mewakili Allah
Sang Tokoh Penyelamat Sejati. Dalam hal keselamatan manusia. Allah adalah
“Tokoh utama”, sedangkan para nabi atau hakim-hakim adalah “tokoh pelaksana”
atau agen alias utusan. Dalam Perjanjian Lama juga ada dua orang yang bernama Yehosua. Dua orang itu adalah agen (utusan)
Allah untuk menyelamatkan/menolong umat-Nya. Yang pertama adalah Yosus bin nun,
pengganti Musa, yang dipakai Allah untuk menyelamatkan dan memimpin bani Israel
memasuki tanah Kanaan (Yosua 1:1-2). Yang kedua adalah Yosua bin Yosadak,
seorang Imam Besar yang bersama Zerubabel mengembalikan bani Israel dari
pembuangan di Babel (Zakharia 3:1, 8). [30]
Jadi,
dalam kitab Perjanjian Lama, dengan perantaraan kedua orang bernama Yosua itu,
Allah menyelamatkan umatNya dan menghantarkan mereka untuk sama-sama masuk ke
tanah perjanjian, ke tanah Kanaan. Yosua - si agen penyelamat, menyelamatkan
umat Allah dari perbudakan di Mesir, sedangkan Yosus yang lain – si agen
penyelamat juga menyelamatkan umat Allah dari pembuangan di Babel. Demikian
juga dengan “Yosua anak Maria” alias Yesus, sebagaimana dua Yosua yang lain,
Dia juga diutus oleh Allah sebagai “agen penyelamat” bagi umat manusia. Disebut
juga Sang Juruselamat. Dia adalah seorang “Kristus”. Kristus disalin dari bahasa
Yunani “christos”, artinya “diurapi”,
terjemahan dari bahasa Ibrani “maseh”
(Arab: Almasih). Yesus Kristus, makhluk yang dipilih dan diurapi oleh Allah.
Nama ‘Kristus’ ini menunjukkan bahwa Ia adalah utusan istimewa yang
diperkenankan oleh Allah. Yang dijadikan Pemimpin dan Juruselamat dan Kristus
bagi dunia. [31]
Frans Donald
menyimpulkan bagian ini dengan suatu pernyataan: Nama Yesus Kristus, Almasih,
ini sangat penting untuk dipahami dengan benar dan jelas. Nama ini merupakan kunci rahmat ilahi bagi dunia, sekaligus juga
nama ini telah mengundang kontroversi hebat dalam sejarah peradaban manusia. Siapa Yesus Kristus telah menimbulkan
pertentangan besar di kalangan Yahudi, kemudian menjadi pertikaian di kalangan
kaum Yahudi, kemudian menjadi pertikaian di kalangan umat Kristen sendiri dan
menjadi konflik besar antara umat Kristen dan Islam. Sebuah kejujuran nurani
yang berdasar kitab-kitab suci perlu dinyatakan untuk sunguh-sungguh memahami
dan membuktikan siapakah Yesus Kristus itu sebenarnya.[32]
Selanjutnya
Frans Donald mengemukakan bahwa karena begitu besar kasih Allah pada manusia,
maka Allah mengutus Yesus supaya manusia bisa mendapat hikmat pengetahuan untuk
memperoleh hidup kekal dan tidak binasa (Yoh 3:16). Yesus menunjukkan suatu
kunci untuk mendapatkan hidup yang kekal dalam Yohanes 17:3. Menurut Yesus,
kunci untuk hidup kekal cuma dua. Yang pertama kenal satu-satunya Allah yang
benar. Kedua, kenal Yesus utusan Allah.
Untuk mengenal Allah dengan benar, manusia harus, tidak bisa tidak, wajib
mengenal Yesus! Mengapa harus kenal Yesus? Karena Yesuslah satu-satunya jalan dan pengantara untuk manusia bisa
mencapai Allah (bnd. Yoh 14:6, II Tim 2:5, I Yoh 2:1b, Ibr 7:25). Yesus adalah
perantara, mediator bagi manusia untuk mengenal Allah. Yesus memperkenalkan
satu-satunya Allah yang benar, yaitu Allah yang mengutus Dia. Allah itulah yang
dia sebut sebagai “Bapa”. Allah yang Esa, Allah yang tauhid bukan Allah yang
tritunggal. Allah yan di sorga, yang
mengutus Yesus ke bumi, bukan Allah yang menjelma menjadi manusia.[33]
Frans
Donald menggunakan ilustrasi untuk menjelaskan pemahamannya tentang istilah
Anak Allah: “Selepas Sekolah Menengah, Frans Donald pernah tinggal dan mencari
nafkah, mengembara, di Pulau Bali selama
delapan tahun lebih. Di sana, di pesisir pantai Kuta yang terkenal indah
yang disebut surga dunia itu, di situ banyak orang tua dan muda yang disebut
sebagai “anak pantai” atau versi internasionalnya “beach boy”. Banyak orang bisa memahami bahwa istilah “anak pantai
tentu bukanlah berarti hurufiah. Pantai Sanur kawin dengan Pantai Nusa Dua
kemudian melahirkan anak bernama Pantai Kuta. Jelas bukan begitu. Istilah “anak
pantai” memiliki arti orang-orang yang tinggal dan hidup mencari nafkah dekat
atau di sekitar daerah pantai. Istilah
anak pantai menekankan kehidupan orang-orang di Pulau Bali yang sangat dekat
dengan pantai. Tanpa pemahaman yang jelas tentang konteks istilah “anak pantai”
di Pulau Bali, orang-orang di daerah luar Bali lainnya bisa jadi salah paham
atau bertanya-tanya “apa sih anak pantai itu?” Bisa jadi salah sangka “anak
pantai’ dikira sebuah pantai yang kecil imut-imut, atau, “anak pantai” disangka
sebagai seorang bocah yang oleh ibunya dilahirkan dipinggir pantai, atau,
mungkin pemahaman-pemahaman yang lain yang sesuai dengan pola pikir daerahnya
masing-masing. Yang jelas istilah “anak pantai” versi Bali tidak bisa sembarang
disamakan dengan versi daerah yang lainnya. Bisa saja salah kaprah alias salah
paham! Demikian juga tentang istilah “Anak Allah” yang ada tertulis di kitab
Injil.[34]
Menurut
Frans Donald Bangsa Indonesia memiliki sense
of language (rasa bahasa) yang berbeda dari bahasa asli Alkitab. Karena
Injil diturunkan melalui bangsa Yahudi (Israel), maka harus dipahamai makna
“Anak Allah” bersumber pengetahuan dari perbendaharaan kata, pemahaman, pola
pikir, sense of language bangsa
Yahudi juga. Pengertian “Anak Allah” dalam Taurat dan Injil, bukanlah anak
secara jasmani, melainkan secara rohani. Dalam Yohanes 1:12-13 secara tegas dan
terang benderang ayat ini mengatakan bahwa pengertian “Anak Allah” tidak
bersifat jasmani. Pembawa damai layak disebut Anak Allah (Mat 5:9, Luk 6:35, Rm
8:14). Yesus datang untuk menjadi pendamai antara manusia dengan Allah, Yesus
mendamaikan dosa manusia (Ibr 2:17), maka Ia layak disebut sebagai Anak Allah.
Semua orang yang dipimpin Roh Allah adalah anak Allah maka Yesus yang dipimpin
oleh Roh Allah juga sudah pasti disebut Anak Allah.[35]
Frans
Donald menambahkan bahwa selain disebut sebagai Anak Allah, banyak orang
Kristen yang telah memahami Yesus sebagai Allah Anak alias Allah sejati.
Istilah Yesus Anak Allah terkadang sering dipelintir
menjadi Yesus Allah Anak, dua istilah yang sepintas hampir sama tetapi jelas
sangat berbeda. Anak Allah tentu tidak
sama dengan Allah Anak. Istilah Allah Anak muncul dari hasil tradisi dogma
Trintunggal yang mengajarkan adanya tiga pribadi Allah: Allah Bapa, Allah Anak
dan Allah Roh Kudus. Tak dapat dipungkiri, bahwa Yesus memang bisa saja disebut
sebagai suatu “Allah” (elohym/theos),
tetapi ayat tersebut tidaklah serta merta harus dipahami Yesus sebagai Allah
sejati, karena jelas terbukti bahwa kata “allah/elohim” di Alkitab bukan hanya menunjuk pada Allah sejati. Misalnya
Mazmur 82:6 makhluk-makhluk sorgawai atau malaikat-malaikat juga disebut
sebagai “Allah”, di Keluaran 7:1 Musa juga disebut sebagai “Allah”. Makhluk
sorgawi atau malaikat, Musa serta Yesus, mereka semua adalah suatu “Allah”,
yang artinya kiasan, pembawa atau pengemban Firman Allah, bukan Allah sejati.
Perhatikan kata-kata Yesus: “kepada siapa firman itu disampaikan, (pembawa,
penerima, atau pengemban firman) boleh disebut sebagai “allah” (Yohanes 10:35).
Memang, baik di sorga maupun di bumi, ada banyak apa yang disebut sebaai
“allah” (I Korintus 8:5). Mereka (termasuk juga Yesus) adalah suatu “allah”
tapi bukan Allah yang benar; karena satu-satunya Allah yang benar hanya Bapa
(Yoh 17:3).[36]
“Kesaktian” Yesus
(dalam mengadakan mujizat) bukanlah karena Dia adalah Allah sejati. Yesus
menjadi hebat dan dasyat bukanlah karena Dia Allah yang berinkarnasi menjadi
manusia, tetapi, Dia bisa hebat dan punya kuasa yang luar biasa semua itu
bukanlah berasal dari dirinya sendiri (Yoh 5:30). Yesus bisa menjadi hebat
penuh kuasa adalah karena Ia telah diberikan kuasa oleh Allah (Mat 28:18).
Sebuah analogi, jika seorang menteri atau duta Negara bisa melakukan
pekerjaan-pekerjaan seorang Presiden, adalah bukan karena si menteri atau duta
tersebut adalah seorang Presiden itu sendiri, melainkan karena kepadanya telah
diberi kuasa penuh oleh sang Presiden. Begitulah kira-kiraYesus Kristus, Dia dapat
melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah adalah bukan karena dia Allah yang sejati,
melainkan karena Dia telah dipercaya dan diberi kuasa oleh Allah untuk
melakukan tugas dan pekerjaan-pekerjaan Allah yang besar. Mujizat-mujizat Yesus
adalah berasal dari kuasa Allah, Allah yang bekerja sebagai
mediator/perantara-Nya.[37]
Catatan
penting yang dikemukakan oleh Frans Donald
perihal kebangkitan Yesus menurut Alkitab adalah Yesus memang
benar-benar bangkit, hidup kembali dari kematiannya, namun kebangkitan Yesus
dari kematiannya itu bukanlah “Yesus bangkit sendiri” seperti yang sering
didoktrinkan oleh teolog Trinitarian yang ‘kebablasan’ mengklaim Yesus sebagai
Allah sejati. Kesaksian kitab suci jelas Yesus bukan hidup kembali atas hasil
kuasanya sendiri, melainkan Dia bisa bangkit dari kematian adalah karena dibangkitkan oleh Allah (Kis
2:32, 4:10, 5:30, 13:0,33,37). Alkitab
Yunani, Perjanjian Baru, mencatat bahwa Yesus tidak bangkit oleh kuasanya
sendiri, melainkan Ia bisa hidup kembali dari kematiannya karena Ia dibangkitkan
oleh Allahnya.[38]
Frans
Donald juga mengemukakan bahwa dari Alkitab bisa dipahami, jika di awal
penciptaan, Allah telah berkarya melalui Yesus, Allah memberi kuasa kepada
Yesus untuk menciptakan isi dunia (Ibr 1:2b, Kol 1:1), maka Yesus itu pula yang
di akhir zaman akan kembali mengemban suatu tugas besar sebagai duta atau wakil
Allah dalam menghakimi dunia. Sebenarnya Allah sendirilah Hakim yang sejati:
Allah adalah hakim yang adil”, “Sebab Allah sendiri hakim” (Mzm 7:12, 50:6,
75:8). “Sebab Yahweh (Allah) adalah
hakim kita”(Yes 33:22). Nah, Allah
sendirilah hakim yang sejati, mengapa yang akan datang menghakimi dunia di
akhir zaman adalah Yesus? apakah itu berarti Yesus itu adalah Allah itu
sendiri? Jawabannya adalah: bukan! Memang Allah (Yahweh) adalah hakim yang sejati, tetapi untuk menghakimi manusia
yang fana dan penuh dosa adalah tidak memungkinkan Allah untuk datang sendiri
dalam wujudnya yang sejati, sangat suci. Bukan karena Allah tidak maha kuasa,
melainkan seperti tertulis dalam kitab suci karena begitu rapuh dan lemahnya
manusia, maka tidak ada manusia yang sanggup melihat wujud asli dari Allah (Yoh
1:18, 5:7, I Tim 6:14-16). Jika wujud asli Allah yang sangat suci dan mulia
dilihat oleh manusia, maka manusia tidak akan tahan, akan hancur dan binasa
(Kel 33:2). Itulah sebabnya mengapa Allah sebagai Pencipta dan Hakim sejati, Ia
harus mengirim wakil atau duta utusan untuk menghakimi dunia, menggenapi janji
Allah! (Yoh 5:27-30).[39]
Frans
Donald mengemukakan bahwa tak bisa
menutup mata karena jelas ada tertulis dalam kitab suci bahwa sebelum lahir sebagai wujud manusia, Yesus
Kristus memang sudah ada (Yoh 8:8, 17:5, 24). Yesus sendirilah yang mengakui
bahwa dirinya sudah ada sebelum Ibrahim ada. Bahkan katanya, dia sudah ada jauh
sebelum dunia ada! Lalu, dia ada dimana? Jika Alkitab bersaksi bahwa Yesus
Kristus sudah ada sebelum Abraham, bahkan sebelum dunia dijadikan, maka muncul
pertanyaan: dimanakah dia berada? Alkitab, secara konsisten, menjawabnya: di
Sorga. Yesus Kristus adalah utusan Allah yang berasal dari surga. Dia turun
dari sorga (Yoh 8:23, 6:36). Bersama dengan Allah. Pra eksistensi, keberadaan Yesus sebelum datang ke dunia,
dijelaskan pula dalam ayat berikut: “Tidak seorangpun yang pernah melihat
Allah, tetapi Anak Tunggal Allah, yang
ada dipangkuan Bapa¸ Dialah yang menyatakan-Nya (Yoh1:1-8). Dari ayat-ayat
tersebut dapat dipahami dengan jelas bahwa Yesus (sebelum menjadi manusia yang
bernama Yesus) sudah pernah ada di sorga bersama-sama dengan Allah. Permulaan
keberadaan Yesus, sang pemimpin Israel yang lahir di Betlehem Efrata (Mat
2:1-5), memang dia sudah ada sebelum kelahirannya sebagai manusia di muka bumi
(Mikha 5:1).[40]
Frans Donald
juga mengatakan bahwa malaikat itu nyata. Teolog Dr. Charles C. Ryrie, dalam
bukunya “Teologi Dasar” mengatakan: Kitab suci selalu menyebutkan
malaikat-malaikat sebagai makhluk yang nyata, yang berwujud, yang
sunguh-sungguh ada. Mereka sama sekali tidak dianggap khayal. Doktor ahli
teologi itu, di buku sama, juga mengatakan bahwa Yesus, sebelum menjadi
manusia, Dia adalah berwujud malaikat! Frans Donald menambahkan bahwa
sebenarnya sejak dulu sudah banyak orang yang mampu menganalisa bahwa Yesus itu
malaikat. Tapi tidak sedikit pula orang yang masih bingung dan tidak percaya.
Benarkah Yesus itu malaikat? Apa arti Malaikat? Baik dalam bahasa Ibrani (mal’ak) maupun Yunani (anggelos), kata “malaikat” berarti
“pesuruh” atau “utusan”, Angel,
Messenger. Malaikat Allah, berarti utusan dari Allah. Malaikat Iblis,
berarti utusan/pesuruh dari Iblis.[41]
Dari
Yohanes 6:8 diketahui Yesus bersaksi bahwa Ia berasal dari sorga. Yesus adalah
makhluk sorgawai. Dari kitab Ibrani diperoleh keterangan bahwa makhluk surgawi
tidak lain adalah malaikat, para pesuruh atau utusan Allah. Yesus adalah utusan
tapi bukan sembarang utusan. Berkali-kali, melalui kesaksiannya sendiri, Dia mengaku
bahwa dia memang sungguh adalah utusan Allah (Yoh 5:30; 5:24; 5:36, 37; 6:29,
38, 57; 7:16, 28, 33, 17:3). Sebagai utusan, Yesus bukan sembarangan utusan.
Yesus adalah utusan Allah yang berasal dari surga alias ma’lak. Dia bukan dari bumi, dia bersaksi “Aku bukan dari dunia
ini, . . . Aku turun dari Sorga untuk melakukan kehendak Dia (Allah) yang
mengutus aku” (Yoh 8:23, 6:38). Utusan/pesuruh surgawi tidak lain adalah
malaikat. Ya, benar, dia adakah malak
alias malaikat! Kitab Ibrani mengungkapkan dengan bahasa yang indah bahwa Yesus
sebelum datang ke dunia, Ia telah dipilih oleh Allah dari antara
malaikat-malaikat, dari teman-temannya yang lain: “Dan setelah Ia (Yesus)
memuat persucian segala dosa, maka duduklah Ia di sebelah kanan yang Mahabesar,
di dalam ketinggian, maka Ia menjadi sebegitu mulia daripada segala malaekat,
sebagaimana nama yang diperolehnya menjadi waris terlebih indah dari pada malaekat itu. Karena malaekat manakah dari antara malaekat itu yang pernah difirmankannya:
“Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini,.. Engkau mencintai
keadilan dan membenci kefasikan; sebab itu Allah, Allahmu, telah mengurapi
engkau dengan minyak sebagai tanda kesukaan melebihi teman-teman sekutumu. (Ibr
1:3-5, 9, Alkitab 1958 & 2004)”. Teman-teman sekutu Yesus sebelum turun ke
dunia adalah para makhluk surgawi alias malaikat.[42]
Hal itu cukup menjelaskan bahwa
tentulah Dia yang termasuk dalam bagian kawanan para malaikat itu adalah
berwujud malaikat. Hanya saja Ia ditinggikan melebihi teman-teman sekutunya
itu. Benar! Yesus sangat dekat dengan Allah, sebagaimana Alkiab menggambarkan
bahwa dia “duduk di sebelah kanan Allah” (Ibr 1:3, 13; Kol 3:1; Mzm 110; Mat
22:4; Mrk 12:36, 14; Kis 2:5 dll) dan berada “dipangkuan Bapa” (Yoh 1:18).
Yesus malaikat bukan sembarang malaikat, karena dia adalah Malaikat Perjanjian,
utusan surgawi yang dijanjikan oleh Allah. Sosok Yesus, sebagai Malaikat
Perjanjian, yang kedatangannya ke dunia didahului oleh kedatangan seorang
utusan yaitu Yohanes Pembabtis (Yoh 1:5-6), dapat dipahami dengan jelas, terang
benderang, dari ayat Alkitab yang tertulis dalam kitab Maleakhi (Maleakhi 3:1).[43] Dalam menyelamatkan manusia, Allah
tidak menjelma menjadi manusia, melainkan Ia berjanji untuk mengutus mal’ak (esuruh)-Nya, malaikatNya. Dapat
dipahami dari Perjanjian Lama terjemahan lama LAI (Yesaya 63:9) mengatakan:
Malak-alhadliratya sudah memeliharakan mereka…” Dalalm Alkitab King James Version: “…The Angel of His presence saved them,..”. Malaikat – utusan di hadirat Allah-lah yang
menyelamatkan manusia. Allah menjanjikan keselamatan bagi manusia melalui
pekerjaan yang ditugaskan kepada seorang malaikat dari hadirat Nya. Dari
Maleakhi 3:1 diketahui bahwa Yesuslah malaikat/utusan surgawi yang dijanjikan
itu, yang kedatangannya didahului oleh tampilnya Yohanes Pembaptis.[44]
Menurut
Frans Donald, baik Islam maupun Kristen, telah mengakui adanya seorang Malaikat
yang bernama Mikhael (Arab: Mikhail). Dalam bahasa Ibrani, Mi-kh-el artinya
“Siapa seperti el”. El dari kata eloah/elohiym, artinya Allah. Jadi bisa
diketahui bahwa Mi-kha-el berarti “Siapa seperti Allah”. Tetapi siapakah
Mikhael itu? Ini adalah hal yang menarik sekali, siapakah ciptaan Allah yang
seperti Allah? Apakah itu menunjuk pada Yesus? Apakah Mikhael adalah nama lain
dari Yesus? Di Alkitab memang bisa dijumpai beberapa orang yang memiliki nama
lain. Misalnya Yakub juga dikenal sebagai Israel, atau Petrus ‘si batu karang’
juga disebut Simon. Dengan menyelidik ayat-ayat di Alkitab, tidaklah keliru
jika disampulkan bahwa Yesus cukup memenuhi syarat jika disebut sebagai sosok
yang “siapa seperti Allah” alias Mikhael. Bahkan, karena memang Yesus tampak
seperti Allah, maka tidak heran kemudian muncul yang namanya doktrin
Tritunggal, yang salah paham dan menganggap Yesus sebagai Allah yang sejati
adanya. Yesus tidak sama persis dengan Allah, karena memang dia bukan Allah
yang sejati, “sebab Allah lebih besar dari pada Yesus, dan Allahlah yang
mengutus Yesus” (Yoh 14:8; 17:3), tetapi ada beberapa sifat yang dan karakter
seperti Allah yang menonjol dalam diri Yesus. Di antaranya: Allah Bapa
Pengasih, Yesus juga penuh dengan kasih Allah Mahakuasa, Yesus juga penuh
dengan kuasa-kuasa yang ajaib, sehingga banyak orang sampai keheranan dan
berkata: “Orang apakah dia ini kok bisa
memberi perintah kepada air, dan angin pun taat kepadanya?” (Luk 8:5, Mrk
4:41).[45]
Allah
Maha Pencipta, dan Yesus, setelah diberi kuasa oleh Allah, ia juga menjadi
berkuasa untuk mencipta, sehingga Alktab mencatat ”melalui”[46]
Yesus, Allah menjadikan alam semesta; segala sesuatu diciptakan melalui dia; …dunia dijadikan melaluinya” (Ibr 1:2b; Kol 1:16; Yoh
1:3). Pekerjaan-pekerjaan Allah selanjutnya juga menjadi pekerjaan-pekerjaan
yang dilakukan Yesus, menghakimi dunia misalnya, juga melalui Yesus. Yesus
menjadi wakil Allah dalam pekerjaan penghakiman, dia akan menghakimi dengan
adil benar, seperti Allah adalah Maha Adil.[47]
Dalam
kitab Daniel, Mikhael memerangi malaikat-malaikat yang jahat; dalam kitab
Yudas, Mikhael berselisih dengan Iblis; dan dalam kitab Wahyu, ia berperan
melawan iblis dan pengikutnya. Mikhael dalam Alkitab disebut-sebut sebagai
Penghulu Malaikat[48],
Pemimpin Malaikat. Hal itu secara jelas diungkap dalam ayat berikut: “Mikhael,
penghulu malaikat, ..(Yudas 1:9a)”; “..maka pada masa itu akan bangkit berdiri
Mikhael, penghulu besar itu, ..(Dan 12:1, Alkitab LAI 1958)”; “..maka
sesungguhnya Mikhael, seorang daripada segala penghulu yang terbesar itu,...
(Dan 10:13, Alkitab LAI 1958)”.[49]
Alkitab
menyebut Mikhael sebagai Penghulu Malaikat. Sementara, kedatangan Yesus di
akhir zaman, terkait pula dengan kedudukan Penghulu Malaikat. “Sebab pada waktu
itu tanda diberi, yaitu pada waktu Penghulu Malaikat berseru dan sangkakala
Allah berbunyi, maka Yesus sendiri akan turun dari sorga” (I Tes 4:16). Dari ayat-ayat yang dikemukakan ini
jelas sekali Mikhael = Penghulu Malaikat. Diketahui bahwa Yesus adalah sang
Almasih. Ayat nubuatan Daniel berikut ini akan mengungkapkan secara jelas,
bahwa sang Penghulu Malaikat alias Mikhael itu tak lain tak bukan adalah sang
Almasih alias Yesus Kristus. “Dan lagi ketahuilah olehmu dan hendaklah engkau
mengerti, bahwa daripada keluar firman akan balik kembali dan membangun pula
Yerusalem sampai kepada Almasih, Penghulu itu, itu akan ada tudjuh sabat… (Dan
9:25, Alkitab LAI 1958)”. Karena
“Almasih” = Yesus Kristus, dan menurut Yudas 9, Daniel 10:13 dan 12:1 “Penghulu
itu” adalah Mikhael, maka dengan kata lain, ayat tersebut bisa diterjemahkan:
“Dan ketahuilah, hendaklah engkau mengerti, bahwa daripada keluar firman akan
balik kembali dan membangun pula Yerusalem sampai kepada Yesus, Mikhael itu,
itu akan ada tujuh sabat …(Dan 9:25, terjemahan Frans Donald)”. Begitu pula
dengan I Tesalonika 4:16 yang oleh LAI diterjemahkan: “Sebab pada waktu tanda
diberi, yaitu pada waktu Penghulu Malaikat
berseru dan sangkakala Allah berbunyi, maka Yesus sendiri akan turun bari sorga”. Ayat ini bisa
diterjemahkan: “Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu Yesus (Penghulu
Malaikat) berseru dari sangkakala Allah berbunyi, maka Yesus sendiri akan turun dari surga ( I Tes 4:16, terjemahan
Frans Donald)”.[50]
Dari
Yudas 9, Daniel 12:1 dan Daniel 10:13 didapati bahwa Penghulu Malaikat itu
adalah Mikhael. Dari Daniel 9:25 didapati Penghulu itu tidak lain dan tidak
bukan adalah sosok yang disebut sebagai Almasih. Siapakah Almasih? Dialah Isa
Almasih, Yesus Kristus. Maka tidak bisa tidak, Yesus Kristus itulah si Mikhael,
Penghulu atau Pemimpin Malaikat.[51] Frans Donald mengatakan bahwa menyelidik
apa-apa saja yang dilakukan Malaikat Mikhael, akan semakin menguatkan bukti
memang benar dialah Yesus Kristus itu. Apa saja itu? Pertama: Mengalahkan Iblis. Iblis dilambangkan sebagai Naga besar
alias si ular tua. Alkitab menuliskan: “Maka timbulah peperangan di sorga.
Mikhael dan malaikat-malaikatnya berperang melawan naga itu, dan naga itu itu
dibantu oleh malaikat-malaikatnya, tetapi mereka tidak dapat bertahan; mereka
tidak mendapat tempat lagi di sorga.[52]
Naga besar itu, si ular tua, yang disebut Iblis/ Satan, yang menyesatkan
seluruh dunia, dilemparkan ke bawah; ia dilemparkan ke bumi, bersama-sama
dengan malaikat-malaikatnya (Why 12:7-9). Bagian Alkitab ini menjelaskan bahwa
Mikhael-lah yang berperang dan mengalahkan Iblis. Sedang dari kitab Ibrani 2:14
didapati keterangan bahwa Yesuslah yang mengalahkan dan memusnahkan Iblis. Kedua: Pemimpin Pasukan Malaikat. Di
akhir zaman keadaan akan sangat sulit dan penuh berbagai macam kesusahan (Mat
24:9-13). Alkitab bersaksi bahwa Mikhael, pemimpin besar itu akan datang disaat
dunia menghadapi kesusahan besar itu (Dan 12:1). Dari kitab Matius 16:27,
Markus 8:38b, Wahyu 19:14 dan juga kesaksian Hadits-hadits Islam serta wejangan
dalam kita Durratun Nasihin, terdapat keterangan bahwa dihari akhir kelak Yesus
Kristus sang Firman Allah, nabi Isa alis Arruhu (Malaikat yang Agung dan Besar)
itu, akan datang bersama bala tentara malaikat surga untuk menyelamatkan dunia
dari kejahatan dan kesusahan akibat ulah iblis. Dari situ jelas bisa diketahui:
di akhir zaman saat ada kesusahan besar itu, Mikhael akan datang bersama
pasukan malaikat, Yesus akan datang diiringi pasukan malaikat.[53]
Dari
uraiannya di atas, maka Frans Donald menyimpulkan: Yesus mengalahkan Iblis,
Mikhael mengalahkan Iblis. Yesus akan datang memimpin pasukan malaikat. Mikhael
akan datang memimpin pasukan malaikat. Nah, karena Alkitab tidak pernah
menunjukkan bahwa ada dua Pemimpin malaikat yang setia di surga (yang satu
Mikhael dan satu lagi oleh Yesus), maka masuk akal sekali untuk menyimpulkan
bahwa Mikheal, Pemimpin Malaikat itu tak lain dan tak bukan adalah Yesus
Kristus, utusan surgawi![54]
BAB II:
DATA TEORI
Dalam bagian ini akan dikemukakan data teori Yesus Historis,
Kristologi Abad Mula-mula sampai Konsili Chalcedon, Yesus Kristus di tengah
konteks Indonesia dalam DKG (Dokumen Keesaan Gereja) oleh PGI (Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia) dan tafsiran terhadap beberapa teks-teks Alkitab
yang dipakai Frans Donald sebagai landasan Alkitabiah untuk menyimpulkan bahwa
Yesus adalah Malaikat Mikhael.
A.
YESUS HISTORIS
Yesus
Kristus lahir di Betlehem, Yudea (Luk 2:4) dan dibaringkan di dalam palungan
(Luk 2:6). Yesus berasal dari Nazaret, di daerah Palestina yang bernama Galilea
(Mrk 1:9). Di Nazaret itu Yesus mungkin menjadi tukang kayu (Mrk 6:3). Jadi
Yesus berasal dari lapisan rendah masyarakat. Kemudian Yesus dibaptis oleh
Yohanes Pembaptis di sungai Yordan (Mat 3:13-17; Mrk. 1:9-11; Luk 3:21-22; Yoh
1:32-34). Waktu berumur kira-kira 30 tahun (Luk 3:23) Yesus meninggalkan tempat
asal-Nya, keluarga dan mata pencaharian-Nya (Mrk 3:31-35; Luk 44:23). Yesus
kemudian dicobai oleh Iblis selama 40 hari 40 malam di padang gurun (Mat
4:1-11; Mrk 1:12-13; Luk 4:1-13).
Dalam
pelayanan-Nya, Yesus memanggil kedua
belas rasul sebagai murid-Nya (Mat 10:1-4; Mrk. 3:13-19; Luk 6:12-16). Yesuspun
secara menyolok bergaul dan berkerabat, makan bersama dengan orang yang menurut
agama Yahudi justru terkucil dari umat Allah, dari ibadat dan dengan demikian
terkucil dari keselamatan Allah (Mrk 2:15; Luk 7:34). Yesus berkerabat dengan
“orang berdosa”, pemungut cukai dan pelacur, mereka yang tidak ambil pusing
tentang hukum agama, hukum Allah (Mat 11:19; Luk 15:2, 5:30). Yesus juga
mendekati orang malang pada umumnya, mereka yang cacat, sakit, dianggap
kerasukan roh najis (Mat 4:23, 8:1, 9:35, 15:30, 21:14). Dan terutama Ia
mendekati rakyat jelata, mereka yang tidak berdaya (Luk 4:18-19, 6:20-26,
7:2-23).
Dalam
mewartakan Kerajaan Allah dan kehendak Allah Yesus menggunakan berbagai cara,
seperti “pepatah”, “teka-teki”, “petuah”, wejangan, dan sebagainya. Tetapi Ia
terutama sering menggunakan “perumpamaan”. Dalam pelayanan-Nya, Ia melakukan
berbagai mujizat. Oleh karena pelayanan-Nya ini, Yesus menjadi teka-teki. Orang
bertanya-tanya tentang siapakah Yesus ini (Mat 8:27, 21:23; Mrk 6:2). Ia dapat
dinilai seperti nabi (Mat 16:14; Luk 7:16; Mat 21:11) atau dicurigai sebagai
tukang sihir dan nabi gadungan (Mrk 3:22; 14:65). Kadang-kadang orang mengira
Yesus punya ambisi menjadi “mesias” yang tampilnya diharapkan orang Yahudi (Yoh
6:15; Mrk 11:9-10). Karena sering mengajar Yesus mirip seorang rabi (Luk
12:13), tetapi baik cara mengajar maupun ajaran-Nya toh berbeda juga. Bahkan
bagi mereka yang mendukung-Nya dan menaruh harapan pada-Nya, Ia menjadi
teka-teki yang sukar dipahami sepenuhnya (Mrk 8:18-9:32).[55]
Seluruh
pimpinan religius-politik bangsa Yahudi menganggap Yesus sebagai ancaman. Yesus
akhirnya diadili di Mahkamah Agama, diserahkan kepada Pilatus, dan akhirnya
Yesus dinilai dan dieksekusi sebagai pengacau, perusuh dan pemberontak (Mrk
15:26). Menjelang akhir hidup-Nya Yesus sendiri memfirasatkan bahwa jalan hidup-Nya
akan berakhir dalam celaka (Luk 9:24; Mrk 9:31a; Mat 23:37a). Yesus kemudian
disiksa; Ia dicambuk, dipermalukan, dihina, dan disalibkan di antara para
penjahat. Bahkan ketika Yesus menghadapai penderitaan ini, murid-murid-Nya
lari, bahkan ada yang menyangkal-Nya. Setelah kematian Yesus murid-murid-Nya
menyendiri di suatu tempat. Tapi pada hari yang ketiga setelah kematian-Nya, Ia
bangkit dan menampakkan diri, kemudian naik ke sorga (Mat 26:47-28:10; Mrk
14:43-16:0; Luk 22:47-24:53; Yoh 18:1-21:14).
B.
KRISTOLOGI ABAD MULA-MULA SAMPAI KONSILI CHALCEDON
Bagian ini dikemukakan sebagai
landasan teori untuk menganalisis pandangan Frans Donald tentang Yesus bukanlah
Allah sejati, karena ia mengemukakan bahwa dogma Yesus adalah Allah sejati
merupakan produk dari konsili-konsili Gereja pada kurun waktu tahun 300-400
yang tidak Alkitabiah.[56] Dari sejarah Kristologi
abad mula-mula sampai konsili Chalcedon ini dapat dilihat pemahaman Yesus
Kristus adalah Malaikat sudah dari dulu ada. Pemahaman yang menolak Yesus adalah Allah sudah lama
ada. Tapi di sisi lain sudah lama ada yang menerima bahwa Yesus itu benar-benar Allah dan benar-benar manusia. Ini merupakan
suatu kontroversi yang heboh dan besar dalam sejarah kekristnen, bahkan terjadi
perbedaan pendapat yang ekstrem antara para teolog, dan pimpinan-pimpinan
Gereja pada waktu itu. Perbedaan pendapat ini bukan hanya merupakan masalah
agama Kristen saja, tapi juga menjadi masalah negara, sehingga kaisar Romawi
terlibat dengan hal ini. Masalah ini menimbulkan permusuhan, pengutukan,
penghukuman, pengucilan, dsb. Bahkan untuk memenangkan pandangannya beberapa
teologpun melakukan segala cara baik yang negatif maupun positif.
1.
Pra Konsili Nicea
Kristologi pada masa ini dipengaruhi
oleh kebudayaan Yahudi dan Yunani. Alam pikiran Yahudi, cara mereka berpikir,
visinya atas realitas secara menyeluruh boleh dikatakan “dinamis”. Yang penting
bukanlah apa yang ada, melainkan apa yang terjadi, mana pengaruhnya yang nyata.
Dan dengan cara itupun Allah dilihat dan dipikirkan. Yang penting ialah: Apakah
Allah secara aktif hadir, bagaimana Allah bertindak dan berbuat, berkarya di
dunia ini.[57]
Jadi dalam cara berpikir inilah orang Kristen Yahudi berefleksi tentang Yesus
Kristus.
Jemaat Kristen Yahudi ini memiliki
sejumlah karangan, misalnya Didakhe, Pastor karangan Hermas, Surat Para Rasul,
sejumlah karangan Apokaliptik[58], mereka juga mengelolah
karangan-karangan Yahudi seperti Kenaikan Yesaya, 4 Ezra, II Henokh, Wasiat XII
Bapa Bangsa, dll. Mereka juga menyusun injil-injil sendiri, misalnya injil
menurut orang-orang Ibrani. Hal ini yang menjadi dasar Kristologi Kristen
Yahudi. Dari sekian pemahaman yang ada tentang Yesus Kristus menurut Kristen
Yahudi, maka diantaranya ada yang mengajarkan tentang “Kristologi Angelis”
yaitu konsep tentang Yesus Kristus yang digambarkan seperti malaikat. Pandangan
ini sangat dipengaruhi alam apokaliptik. Dalam kepercayaan mereka yang didasarkan
pada PL (Daniel, Zakharia, Yehezkiel), bahwa Malaikat dalam pikiran Yahudi
adalah “utusan “ Allah yang dekat dan bahkan hampir tidak dibedahkan dengan
Allah dalam hal pengurusan dunia. Dan berlawanan dengan mereka adalah
malaikat-malaikat jahat yang dipimipin oleh Iblis. Dalam karya Hermas, yaitu
Pastor, berulang kali tampil “Malaikat mutabir”, “Malaikat Kudus”, “Malaikat
mulia”, yang perawakannya raksasa. Dan Malaikat ini ialah Anak Allah. Malaikat
yang adalah Anak Allah ini melebihi semua malaikat yang lain dan setingkat
dengan Tuhan sendiri. Malaikat yang adalah Anak Allah ini bernama “Mikhael”. Ia
adalah kepala semua Malaikat. Ia turun ke rahim Maria untuk menyelamatkan
jiwa-jiwa manusia. Ia mati untuk menebus dosa-dosa manusia, bangkit dan naik ke
surga. Inilah Kristologi Hermas.[59]
Selain Kristologi Angelis, ada juga
pemahaman lain dari Kristen Yahudi, yaitu yang disebut dengan “Ebyonim”[60]. Mereka memiliki kitab sendiri, yaitu yang disebut “Injil kaum
Ebyonim”. Menurut mereka, Yesus Kristus adalah manusia biasa anak dari Maria
dan Yusuf. Pada waktu Ia dibabtis oleh Yohanes, Ia menerima Roh Kudus sehingga
Yesus digabungkan dengan zat Ilahi, sehingga Ia menjadi Anak Allah atau
Kristus. Rupa Kristus ini tidak lain dari Roh Kudus. Ia dipandang sebagai Nabi
yang ditentukan untuk menjadi Mesias. Suatu saat nanti Ia akan kembali untuk
mendirikan Kerajaan-Nya.[61] Pandangan ini disebut
“heretis” (bidaah; dari bahasa Yunani: herein:
“memilih”) karena bersifat berat sebelah yaitu lebih menekankan kemanusiaan
Yesus Kristus. [62]
Pemahaman Kristologi pun tidak lepas
dari pengaruh budaya Yunani. Budaya Yunani tidak lepas dari pengaruh
filsafat-filsafat yang berkembang waktu itu dan pengaruh gnostis.
Pengaruh-pengaruh inipun tidak lepas dari alam pikiran Yunani. Alam pikir Yunani,
visi atau realitas dapat diistilahkan sebagai “statis” dan “esensial”. Realitas
dunia tidak dilihat sebagai serangkain kejadian dan peristiwa dengan awal dan
akhir, melainkan sebagai suatu “kosmos”, semacam bulatan yang mantap dan serba
teratur, meskipun kelihatannya berubah-ubah. Ada beberapa tingkat dalam kosmos
itu, di mana setiap realitas mempunyai tempatnya sendiri yang mantap. Antara
tingkat paling atas-tingkat bagi yang ilahi dan tingkat paling bawah-tingkat
bagi manusia dan dunianya. Tingkat-tingkat ini dihuni macam-macam makhluk dan
kuasa “rohani” yang turut mengatur dan menguasai tingkat manusia. Maka
pentinglah manusia tahu akan makhluk-makhluk dan kuasa-kuasa itu untuk
melindungi dirinya dan sedikit banyak melalui magi mengatur kuasa-kuasa itu. Maka yang paling penting bukanlah
apa yang terjadi, melainkan apa yang ada. Mereka bertanya dan memeriksa: Apa
itu Allah? Siapa Allah itu? Apakah hanya ada satu Alah atau banyak? Dan orang
Yunani menanyakan: Mana hubungan Allah itu dengan dunia yang dilihat meski
berubah-ubah sekalipun, serta mantap dan teratur? Dan kalau ada hubungan,
bagaimana hubungan itu dipikirkan?[63] Maka dalam kerangka
berpikir inilah Kristen Yunani berefleksi tentang Yesus Kristus.
Filsafat Yunani ini berkembang
dengan baik pada masa ini dan sangat dipengaruhi oleh Filsafat Plato[64], Aristoteles,[65] dan Stoa,[66] dll. Filsafat-filsafat
ini dikembangkan sedemikian rupa, sehingga diajarkan dengan jelas bahwa ada
satu Allah yang Maha Tinggi dan Trasenden. Ia tidak mempunyai hubungan langsung
dengan dunia yang “menjadi dan berubah” ini. Ini juga berarti Ia tidak
berperasaan, tidak mengenal emosi. Allah Yunani tidak berubah dan termasuk
dunia keberadaan (dunia ilahi/adikodrati), Ia tidak mungkin mempunyai hubungan
langsung dengan dunia ini (dunia materi/kodrati). Oleh sebab itu, Ia
membutuhkan Penengah antara Dia dan Dunia. Nama yang lazim dipakai para pemikir
Yunani untuk kuasa atau prinsip perantara ini ialah logos, yang berarti Akal atau Firman.[67] Dari hal ini muncul
istilah “Kristologi logos”, yaitu
Kristologi yang merefleksikkan Yesus Kristus berititik tolak dari “atas” dari
pra eksistennya (logos), atau juga
yang disebut pendekatan “Kristologi dari atas”[68].
Dalam perkembangannya Kristologi harus berhadapan dengan
pengaruh gnostik[69].
Gnostik merupakan salah satu sinkretisme yang dualistik-pantheistis yang
berusaha menggabungkan filsafat barat dengan agama timur.[70] Gnostik, seperti yang tersirat dalam namanya (diambil dari kata
Yunani: gnosis = Ilmu Pengetahuan),
adalah suatu sistem yang menjanjikan keselamatan melalui pengetahuan,[71] suatu suasana rohani,
yang dengan satu dan lain cara meresap dan kemana-mana dan memperlihatkan diri
dalam seratus seribu bentuk dan rupa, aliran, ajaran dan kelompok.[72]
Salah satu penganut gnostik ialah Marcion (sekitar tahun 140
seseorang tampil di Roma tapi kemudian dikeluarkan dari jemaat sendiri, dan
kemudian mendirikan Gereja sendiri, lengkap dengan organisasi yang lengkap
termasuk adanya para uskup, imam dan paroki). Ia memiliki kanon[73]-nya sendiri. Kanon
Marcion[74] memuat beberapa kitab PB
yang telah disadurnya. Ia mengajarkan bahwa Allah PL bukanlah Allah PB. Allah dari PL adalah Allah dari orang
Yahudi yang menciptakan langit dan bumi.
Tetapi Allah ini hanya memerangi keadilan, Allah yang murka, gemar akan perang,
tidak mengenal kasih.[75] Allah PB adalah Allah
sejati, Allah yang sebenarnya, yang baik dan penuh cinta kasih dan belas
kasihan. Allah itulah yang diperkenalkan oleh Yesus Kristus. Penebusan atau pembebasan
yang diwartakan Yesus Kristus ialah pembebasan dari hukum taurat, dari Allah
PL, dari kuasa-Nya dan dunia ciptaan-Nya. Penebusan itulah karya penyelamatan
Yesus Kristus. Yesus Kristus itu boleh saja disebut Anak Allah. Dan artinya:
Yesus Kristus ialah penampakan Allah sejati, Allah Bapa. Dan Anak itu hanya
dalam namanya berbeda dengan Bapa. Kristologi macam ini diisitilahkan sebagai
monarkianisme modalistis. Allah hanyalah satu dan esa, tunggal. Itulah yang
amat ditekankan alam pikiran Yunani. Maka Anak Allah, Yesus Kristus hanya suatu
“modus”, rupa atau bentuk dari Allah
Yang Maha Esa itu. Dan Anak Allah itu tidak menjadi sunguh-sungguh manusia.[76] Jadi Monarkianisme
Modalistis memandang trinitas (Yesus Kristus) hanya sebagai tiga (dua) cara
Allah mewujudkan diri dan bertindak demi diri-Nya sendiri dan demi kesalamatan
bangsa manusia.[77]
Selain paham Marcion di atas, ada juga ajaran yang
berusaha merekfleksikan Yesus Kristus yang dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani,
yaitu doketisme. Doketisme (Yunani: “penampilan”, “melihat”) mengajarkan bahwa
Yesus Kritus yang adalah Putra Allah hanya seolah-olah saja seperti manusia.
Kemanusiaan Yesus tidak diterima, hanya tampaknya saja Yesus Kristus mempunyai
tubuh, yang sesungguhnya disalibkan adalah orang lain, misalnya Simon Orang
Kirene. Yesus Kristus dianggap hanya memiliki tubuh surgawi.[78] Ajaran atau pola pikir
ini muncul sebagai reaksi untuk memikirkan bagaimana logos Allah ini tidak
mati atau tidak menderita, karena logos ini
bersifat ilahi. Tapi Doketisme ini dibantah oleh Gereja, bahkan disebut bidah
secara resmi pada Konsili Chalcedon.[79]
Dalam rangka
menghadapi Gnostik, termasuk di dalamnya mengenai Kristologi, maka Bapa-bapa
Gereja seperti Ignatius dari Antiokhia, Polycarpus, Irenius, danYustinus
Martir, memberikan apologet-apologet[80] mereka. Tapi, usaha dari
para Bapa Gereja ini belum menyelesaikan perbedaan pemahaman tentang Yesus
Kristus. Terutama soal yang Ilahi dan yang insani pada Yesus Kritus. Kalau
Yesus Kristus itu (Ilahi) bagaimana mungkin ia mati dan menderita? Dan
sebaliknya kalau Ia manusia (insani) bagaimana mungkin yang disebut sebagai
“Anak Allah”? Tertullianus dan Origenes dalam Kristologinya berusaha menjawab
persoalan ini.
v Yustinus Martir,
Tertullianus, dan Origenes
Yustninus Martir mengemukakan
Kristologinya dalam pergumulannya dengan gnosis dan doketisme, seperti juga
yang dilakukan oleh Ignatius[81] dari Antiokhia dan
Polycarpus[82]
sebelumnya.
Selain bergumul dengan gnosis dan doketisme, kekristenan
juga pada waktu itu bergumul dengan situasi sosial politik pada waktu itu.
Kekristenan harus berhadapan dengan kritikan dari masyarakat dan
pejabat-pejabat negara. Sehingga para cendikiawan Kristen pada waktu itu
membela kepercayaan Kristen. Para cendikiawan ini memperlihatkan bahwa kepercayaan
Kristen tidak ateis, tidak politeis, melainkan monoteisme murni. Kepercayaan
ini masuk akal dan mempunyai akarnya dalam tradisi yang paling tua. Salah satu
cendikiawan ini ialah Yustinus Martir[83]. Menurut Yustinus Yesus
Kristus adalah logos kekal yang
berpancar dari Allah yang satu[84], dan dalam arti inilah Ia disebut “Anak
Allah”. Dengan perantaraan logos ini
Allah menciptakan dunia. Logos Ilahi
dalam kepenuhan-Nya hanya menampakkan diri pada Yesus Kristus, tetapi sebutir
benih logos disebarkan di antara
seluruh manusia, jauh sebelum kelahiran Yesus Kristus. Setiap manusia memiliki
sebutir benih dari logos dalam akal
budinya. Sehingga bukan hanya para nabi PL, tetapi juga para filsuf Yunani
(yang tidak mengenal Allah Israel) memiliki benih logos tersebut. Dengan demikian ia tidak keberatan
untuk menyatakan bahwa Socrates
dan Heraclitus adalah orang Kristen. Tujuannya, tentu saja, adalah untuk
menekankan signifikansi mutlak Kristus, sehingga semua yang pernah ada
kebajikan dan kebenaran dapat disebut padanya. Para filsuf tua dan pemberi
hukum hanya merupakan bagian dari logos, sementara seluruh muncul dalam Kristus.[85]
Kristologi
Yustinus ini adalah Kristologi dari atas dan subordinasionistis. Ia mengakui
bahwa Yesus sungguh-sungguh menjadi manusia; benar-benar lahir, membuat mujizat
mati dan bangkit. Tapi menurutnya Yesus sebagai Firman Allah boleh disebut
Allah, tapi “Allah kedua” dan tidak kekal sebagai pribadi. Yustinus terutama
bukan pemikir spekulatif tetapi seorang Kristen yang ingin memberikan apologet
dengan menggunakan penjelasan berdasarkan pengalamannya. Akibatnya ia
menjelaskan logos yang dipengaruhi
oleh budaya Yunani.[86]
Selain persoalan
Kristologis di atas, maka ada juga suatu persoalan pokok Kristologis yang ada,
yaitu bagaimana pendekatan terhadap Yesus Kristus dalam kepra-adaan-Nya dapat
disesuaikan dengan monoteisme? Baik oleh gnosis, baik oleh tradisi Yahudi, juga
seperti tercantum dalam PL, baik oleh dunia (filsafat) Yunani yang Ilahi/Allah
dilihat sebagai secara mutlak trasenden, tak tercapai, dan Yang Ilahi/Allah
hanya satu dan tunggal. Di samping-Nya tidak mungkin ada sesuatu atau seorang
yang setingkat. Monarkia, keesaan dan
ketunggalan Allah tidak terganggugugat. Orang-orang Kristen (bersama dengan
para filsuf) suka mengecam politeisme, kekafiran populer; apakah mereka dengan
menyebut Yesus Kristus “Allah” dan berkata tentang Firman Allah, Anak Allah,
tidak jatuh sendiri dalam politeisme yang halus?
Cukup banyak banyak pemikir Kristen merepotkan diri dengan
masalah ini. Sejak awal dalam konfrontasi dengan orang-orang Yahudi masalah ini
sudah muncul dan mengganggu. Pemikir-pemikir Kristen berusaha memecahkan soal
itu. Maka muncullah pemikiran yang oleh (Tertullianus pertama kalinya)
diistilahkah sebagai “Monarkianisme”.
Dalam (sebagian) Kristologi Kristen-Yahudi problem itu diatasi melalui
adoptianisme. Yesus ialah seorang manusia yang secara khusus dianugerahi oleh
Allah dan diangkat menjadi Anak-Nya, entah waktu dibangkitkan, entah waktu
dibaptis entah sejak lahir. Itulah pendekatan Kristologi dari bawah. Tetapi
bagaimana dengan Kristologi dari atas, yang bertitik tolak pada pra eksistensi
Yesus Kristus?[87]
Ada dua
pemecahannya yang muncul. Yang satu, yang sebenarnya menyangkal pra-eksistensi
Yesus Kristus, diistilahkan sebagai “monarkianisme dinamik”. Firman Allah atau
Anak Allah yang sudah ada sebelumnya bukanlah pribadi, melainkan kekuatan, daya
Ilahi yang mendatangi dan mendiami manusia Yesus Kristus, orang Nazaret. Hanya
secara “dinamik” Ia boleh disebut Ilahi. Begitu misalnya Teodotus dari
Byzantium (th 190) berkata: Yesus Kristus ialah seorang manusia yang di dalam
dirinya menerima Kristus, ialah pneuma/roh
Ilahi ialah Kristus. Begitu pula pemikiran kaum Ebyonim dan Kerintus. Modalisme
dinamis menjadi fantastis, tercampur dengan unsur-unsur dari gnosis pada
Teodotus, seorang pengedar uang (kr. th 200). Di antara Allah Yang Esa serta
tunggal dan manusia Teodotus menempatkan
“Kuasa Tertnggi”, yang bernama Kristus. Dia itu rohani dan “Anak Allah”, kuasa
tertinggi itu (Roh Kudus?) turun atas
Yesus, seorang manusia.[88]
Tapi
monarkianisme yang tersebar luas pada umat Kristen pada awal abad III ialah:
Monarkianisme modalis, yang mendapat pendukung berbobot seperti Praxeas (kr. th
200), Neotus (kr. th 220) dan Sabellius (kr. th 20) kadang kala monarkianisme
itupun diistilahkan sebagai “patripassionisme” (Bapa yang menderita). Menurut
pemikiran monarkianisme modalis Allah memang Esa dan Tunggal secara mutlak.
Firman Allah/Anak Allah (dan Roh Kudus) hanya rupa atau manifestasi dari Allah
Yang Esa itu. Maka perbedaannya hanyalah sebutan nama saja. Yang menjadi
manusia, menderita, mati dan bangkit ialah Allah (Bapa) sendiri.[89] Menurut Sabellius Allah
yang Satu dan Tunggal itu memang kekal. Tetapi dalam penciptaan dan Perjanjian
Lama Ia menyatakan diri, tampak atau berupa sebagai “Bapa”, berarti: asal usul
segala sesuatu, Pencipta. Dalam inkarnasi Allah yang satu dan sama itu
menyatakan diri sebagai Anak, mendapat rupa Anak dan menjadi Juruselamat dan
dalam pengudusan manusia Allah Yang Esa dan tunggal itu menyatakan diri berupa
“Roh Kudus”. Maka Yesus Kristus sebenarnya tidak pra-eksisten sebagai sesuatu,
pribadi yang berdiri sendiri dan Firman Allahpun tidak ada.[90]
Dalam rangka
menghadapi pemikiran Monarikianisme ini, maka Tertullianus[91] merumuskan Kristologinya.
Tertullianus tetap mempertahankan monoteisme. Ia tidak mengakui adanya dua
Allah atau dua Tuhan, tetapi ia menolak apa yang dikatakan Praxeas bahwa Bapa
dan Anak dan Roh satu dan sama saja (unus,
meskipun “umum”).
Firman sudah ada dalam keallahan. Firman itu adalah sophia (hikmat). Melalui Firman/Hikmat itu segala sesuatu
dijadikan. Firman itu keluar pada saat penciptaan dan dilahirkan dan menjadi
Anak yang sesungguhnya. Firman/Anak itu mesti disebut sesuatu yang berdiri
sendiri (persona). Ia itu, Anak
“Sulung”, diperanakkan sebelum segala sesuatu. Ia keluar dari zat (substantia, hakikat) Bapa. Tapi sebagai
“Anak” Ia tidak kekal. Bapa dan Anak (serta Roh Kudus) sebenarnya suatu
kesatuan (unum), tetapi tidak satu (unus).
Bapa adalah seluruh zat (substantia, hakikat),
tetapi Anak suatu jabaran dari keseluruhan dan bagian, seperti sinar dari
matahari. Bapa dan Anak (serta Roh
Kudus) adalah dua (tiga), tidak dalam keberadaan, tetapi dalam tingkat, tidak
dalam zat (substantia, hakikat),
tetapi dalam bentuk, tidak dalam kuasa, tetapi dalam rupa (specie). Jadi masing-masing kodrat Yesus Kristus bersifat utuh
dengan ciri dan coraknya masing-masing. Keadaan rangkap dua ini digabungkan
dalam satu Pribadi (Yesus; Allah dan Manusia) dan bukan dicampurkan. Kodrat
Ilahi melakukan, misalnya berbagai mukjizat, perbuatan yang penuh kuasa,
tanda-tanda heran. Dan Kodrat insani dapat dilihat saat Yesus Kristus lapar,
haus, menangis, sedih, dan akhirnya mati. Kemudian Tertullianus juga menegaskan
bahwa Kristus menyandang manusia (dan bukan malaikat) demi untuk keselamatan
manusia, supaya memulihkan apa yang hilang. Allah memulihkan gambaran (imago) dan penyerupaan-Nya, yang
dirampas oleh iblis.[92]
Tertulianus sendiri memanfaatkan
filsafat (terutama Stoa) ide-ide dalam tulisan-tulisannya.[93] Dia setuju dengan Plato pada masalah
keabadian jiwa.[94]
Kristologi Tertullianus menjurus kepada “subordinasionis”. Anak dilihat dilihat
seperti semacam “Allah Kedua” atau Allah yang kemudian.
Origenes,[95] mengemukakan Kristologinya
melalui pendekatan Kristologi dari atas. Anak Allah, Firman Allah dalam pra
eksistensi-Nya mempunyai ciri ilahi. Ia sezat, sehakikat (homo-ousios), berarti: sejenis, dengan Bapa, yaitu Allah yang
Mahaesa. Firman Allah benar-benar menjadi manusia, secara utuh lengkap, serupa
dengan manusia lain. Origenes menerima apa yang diistilahkan sebagai “communicatio”, yang berarti: dua
rangkaian ciri (ilahi dan insani) yang tergabung dalam satu subjek sehingga
subjek itu dapat bersilih-ganti disebut menurut ciri-ciri yang yang berbeda
itu, sehingga ciri-ciri yang berbeda itu serentak dikatakan mengenai objek yang
sama. Misalnya: Allah menderita, manusia menciptakan, dsb. Jadi, menurut Origenes Anak Allah lebih
rendah dari Allah Bapa. Sehingga Anak
Allah adalah Allah yang Kedua. Origenes mempresentasikan gagasan
bahwa Bapa adalah "lebih suci" daripada Anak.[96]
Ia mengajarkan adanya subordinasi di dalam Trinitas,
yaitu Allah Bapa pada tempat yang pertama, sedangkan tempat yang kedua adalah
Allah Anak dan tempat yang ketiga adalah Roh Kudus. Origenes mengemukakan bahwa
jiwa insani Yesus adalah pra eksisten, hanya saja berbeda dengan jiwa-jiwa pra
eksisten lainnya yang jatuh meninggalkan Allah. Kemudian jiwa insani Yesus yang
pra eksisten dipersatukan dengan logos
Ilahi. Persatuan ini begitu erat sehingga jiwa Yesus yang pra eksisten itu
memasukan logos seluruhnya ke dalam
dirinya. Sehingga dari logoslah jiwa
Yesus menerima terang dan kemuliannya. Dan karena kesatuannya dengan logos jiwa Yesus kehilangan kemampuan
untuk berbuat dosa. Pada waku inkarnasi, logos
yang sudah bersatu dengan jiwa Yesus itu masuk ke dalam tubuh Yesus. Sejak itu,
Yesus menjadi Penengah antara logos
abadi dengan tubuh Yesus yang terbatas. Sebagaimana jiwa telah menerima logos, begitupun tubuh menerima jiwa,
dan melalui jiwa itu menerima logos juga.
Sehingga Origenes mengemukakan bahwa Yesus adalah manusia sungguh-sungguh, sama
seperti manusia lainnya (yang dalam
pandangan Origenes semua mempunya jiwa pra eksisten).[97]
Origeneslah yang
memberikan kepada Kristologi Yunani sejumlah istilah ilmiah yang sangat
membantu untuk mengungkapkan secara intelektual dan konseptual apa yang diimani
tentang Yesus Kristus. Istilah-istilah ini, khususnya adalah physis (kodrat), hypostasis (substansi), ousia
(hakikat), homo ousios (sehakikat),
dan theanathropos (kesatuan Allah dan
manusia). Walaupun disadari istilah-istilah ini terjadi perbedaan penafsiran
dari para teolog yang ada.[98]
Pada masa ini
“Kristologi logos” masih menjadi
fokus pemikiran dari kekristenan waktu itu. Penekanannya sekarang adalah
bagaimana melihat kesatuan ataupun perbedaan antara logos Ilahi dan tubuh insani Yesus Kristus. Berkaitan dengan hal
ini, ada dua aliran atau dua garis pemikiran, yaitu yang menekankan kesatuan
(Kristologi Firman-daging/logos sarks)
dan yang menekankan perbedaan (Kristologi Firman-Manusia/logos-anthropos). Kristologi Firman-daging mengemukakan bahwa
Firman Allah berada dalam daging dan menggerakkannya, selaku jiwa, dan daging
menjadi alat bagi Firman. Kodrat yang Ilahi dan yang insani bersatu dalam Yesus
Kristus. Pemikiran ini dikembangkan di Alexandria.[99] Kristologi ini didasarkan
pada Yohanes 1:14. Dari hal ini kesatuan bukanlah masalah bagi pemikiran
Kristologi. Sedangkan Kristologi Firman-manusia mengemukakan bahwa Firman
berdiam di dalam manusia seperti dalam sebuah rumah. Ini didasarkan pada Filipi 2:7 (logos mengambil rupa seorang hamba).
Pada Yesus Kristus itu ada dua kodrat, yaitu kodrat Ilahi dan insani yang tetap
berbeda dan terpisah dan dua-duanya mandiri. Yang Ilahi tidak tersentuh dengan
yang manusiawi. Dari hal ini kesatuan menjadi masalah bagi pemikiran Kristologi
ini. Pemikiran ini dikembangkan di Antiokhia.
Perdebatan
Kristologi ini menjadi perdebatan antara sekolah teologi di Alexandria dan
Antiokhia dengan berbagai unsur-unsur kepentingan di dalamnya, termasuk
kepentingan sosio-politis. Karena pada masa-masa itu, kekaisaran Romawi yang
duluhnya menganiaya kekristenan kemudian berubah untuk mendukung kekristenan,
bahkan agama Kristen dijadikan agama negara. Ini dilakukan oleh Kasar
Kontantinus Agung yang menjadi Kristen, kemudian mengeluarkan Edik Milano (semacam dekrit) yang
intinya mengemukakan bahwa agama Kristen secara resmi menjadi agama kekaisaran
Romawi dan seluruh wilayah jajahannya.
Sementara itu
perkembangan dogma Kristologi semakin berlanjut. Pokok persoalannya relasi
antara yang Ilahi/Firman Allah dan yang insani pada Yesus Kristus belum
dituntaskan dan semakin lama semakin tenggelam, karena perhatian Kristologi ini
bergeser pada suatu persoalan pokok yang lain, yaitu persoalan mengenai relasi
yang Ilahi/Anak Allah yang pra eksisten dengan Bapa yang adalah Allah Yang Maha
Esa. Berbagai teolog berusaha untuk merumuskan relasi Allah Bapa yang Esa
dengan Yesus Kristus ini, diantaranya adalah Arius.
2.
Konsili Nicea-Konsili Chalcedon
v Arius, Alexander, dan Konsili
Nicea
Arius,[100] berpendapat bahwa logos dan Bapa tidak berasal dari
hakikat (ousia) yang sama. Anak Allah
adalah makhluk yang diciptakan, dan Anak Allah ini yang menjadi Pencipta dari
dunia, karena itu Dia ada sebelum segala sesuatu ada, tapi ada waktu dimana Dia
tidak pernah ada. Jadi Yesus Kristus bukanlah Allah walaupun Ia bersifat Ilahi
karena Ia adalah ciptaan dari Allah yang Maha Esa. Bagi Arius Allah tidak selalu
Bapa. Anak Allahpun pernah tidak ada. Ketika Allah menciptakan Anak Allah,
barulah Allah menjadi Bapa. Anak Allah boleh saja disebut “Allah”, tetapi
keallahan-Nya ini tidak melekat pada eksistensi-Nya melainkan dianugerahkan
kepada-Nya. Gelar ini diberikan secara kiasan, karena Allah yang Esa telah
mengangkat-Nya menjadi Anak dengan melihat jasa-Nya. Tetapi hal ini tidak
berarti Anak itu sebanding atau sehakikat dengan Allah Bapa. Karena Allah tidak
mungkin sebanding dengan Anak yang adalah ciptaan-Nya. Anak atau logos menduduki tempat tengah antara
Allah dan dunia. Logos menciptakan
Roh Kudus sebagai ciptaan yang pertama. Roh tidak sebanding juga dengan logos. Logos telah menjadi daging dalam arti telah menunaikan tugas suatu
jiwa di dalam Yesus Kristus.[101]
Pemahaman
Arius ini, salah satunya diserang oleh Akexander.[102] Arius sendiri menyebut kalau Alexander itu adalah seorang
modalis (Sabellius). Saat menjelaskan tindakan melawan Arius, Aleksander
dari Aleksandria menulis surat kepada Alexander dari Konstantinopel dan
Eusebius dari Nikomedia, dalam surat ini ia juga merujuk pada puisi Arius
(Allah tidak selalu Bapa; ada satu momen ketika ia sendirian. Anak bukan dari
keabadian).[103]
Alexander berpendapat bahwa Yesus Kristus itu adalah
gambar Allah, Anak Allah, kekuatan Firman atau hikmat Allah yang pra eksisten.
Ia merupakan “pribadi” (hypostasis)
dan “kodrat” (physis) yang mandiri, tapi berbeda dengan Bapa walaupun sehakikat
dengan Bapa. Firman itu sejak kekal berasal dari Bapa, dan lahir dari diri-Nya.
Kristologi Alexander tetap subordinasionis. Anak Allah ditempatkan antara Allah
yang Maha Esa dengan ciptaan, tetapi bukan di pihak ciptaan melainkan di pihak
Allah.[104]
Tahun 325 di
kawasan timur negara Roma terdapat dua kelompok besar yang bertikai satu sama lain,
saling menuduh dan saling mengutuk. Kedua kelompok ini adalah kelompok uskup
(sekeliling Aleksander dari Aleksandria) dan pendukungnya serta kelompok
Eusebius (dari Kaisarea) dan pendukungnya. Situasi ini dapat menyebabkan
perpecahan dalam wilayah kekaisaran Roma. Sehingga Kaisar Konstantin yang
prihatin akan kesatuan negara dengan menggunakan uang negara mengumpulkan semua
uskup untuk mengadakan suatu sinode menyeluruh di kota Nicea, Asia Depan dan
menyediakan istananya sendiri sebagai tempat para uskup berkumpul. Kaisar
menentang pemecah-belahan agama. Ia telah menyatukan secara politik kerjaaan
Romawi. Ia menyatakan bahwa hanya ada satu raja, satu kerajaan, satu agama, dan
satu Allah. Ia memanggil delegasi Gereja ke Nicea untuk memastikan bahwa agama
dan Allah tidak boleh menjadi unsur-unsur pemecah-belah dalam kerajaannya.[105]
Konsili diadakan untuk menentukan
hal-hal doktrinal yang penting pada masa kekristenan awal. Konsili Nicea
berlangsung kurang lebih empat belas tahun setelah penganiayaan terakhir orang
Kristen di tangan Kaisar Galerius.[106]
Konsili Nicea yang dipelopori oleh kaisar Konstantin
Agung, dihadiri oleh kurang lebih 300 uskup dan juga oleh Kaisar sendiri.
Hampir semua uskup yang hadir ini berasal dari kawasan timur (karena masalah
ini timbul di timur). Uskup-uskup dari barat yang hadir diwakili oleh suatu
delegasi yang dikirim ukup Roma, Silvester (kr th. 35). Delegasi ini terdiri
dari uskup Hosius dari Corduba (kr th. 357) yang adalah penasihat “rohani”
kaisar, dan dua imam pembantu, yaitu Vitus dan Vincentius.[107]
Hasil dari Konsili ini adalah mengutuk Arianisme,
merumuskan syahadat Nicea, menetapkan kapan paskah secara pasti dirayakan,
mengesahkan beberapa peraturan mengenai imamat dan menyususn organisasi Gereja
yang sejajar dengan organisasi Kekaisaran. Keputusan Konsili Nicea ini menjadi
hukum negara. Kebanyakan uskup yang hadir, dan kebanyakan pendukung Arius
menandatangani hasil konsili ini, kecuali Arius dan dua orang temannya,
sehingga mereka dikucilkan.[108]
Syahadat Nicea atau pengakuan iman ini merupakan
ringkasan mengenai iman kepercayaan Kristen, menjadi semacam “asas tunggal”,
penegasan dogmatis khususnya tentang Yesus Kristus. Kata kunci syahadat ini
ialah homo ousia.[109] Syahadat ini merupakan
syahadat iman yang diolah seperlunya dari syahadat iman di kota Kaisarea
(Palestina) yang dipakai dalam upacara baptisan.[110]
v Athanasius, Ketiga
Orang Kapadokia: Basilius Agung, Gregorius dari Nyssa, Gregorius dari Nazianze,[111] dan Apollinaris dari
Laodikaia, serta Konsili Konstantinopel
Setelah konsili Nicea, maka perbedaan pendapat tentang
istilah “homo ousios” semakin
berkembang. Ada yang tetap mengikuti pandangan Arius, sehingga sering juga
disebut Arianisme atau kaum Arian, seperti Aetius, uskup Antiokhia (kr th. 366)
dan Eumomius, uskup Cyzikus (kr. th. 399). Dan ada juga pandangan yang menolak
Arius serta menolak keputusan dari konsili Nicea, seperti Ancyra, uskup
Antiokhia (kr th. 364), Cyrillus, uskup Yerusalem (kr th. 386). Kemudian ada
juga yang tetap mempertahankan rumusan konsili Nicea, misalnya, Athanasius[112], uskup Alexandria (kr
th. 373).
Setelah kaisar Konstantinus mengangkat Konstantius
sebagai kaisar di kawasan timur (th. 337-350) dan Konstans di kawasan barat
(th. 337-350), maka pendukung Arius mendapatkan dukungan dari kaisar
Konstantius. Para pendukung Arius menyusun syahadat sendiri yang menghilangkan
kata “homo ousios”. Sedangkan kaisar
Konstans di barat mendukung pembela Nicea, akibatnya kawasan baratpun secara
mendalam terlibat dalam perdebatan ini. Setelalah kaisar Konstantius meninggal
dan Julianus (361-363), yang murtad berusaha menghidupkan kembali kekafiran
Roma kuno, maka pendukung Arius semakin mundur, tapi pemikiran ini terus ada.
Tapi pemerintahan Julianus tidak berlangsung lama, sehingga pada pemerintahan
kaisar Gratianus (kr th. 364) kekristenan kembali menjadi agama kekaisaran
Romawi.[113]
Athanasius yang tetap mempertahankan keputusan konsili
Nicea dan dengan tegas menolak pemikiran Arius dan juga pendukungnnya
mengungkapkan bahwa Bapa dan Anak adalah satu, pengertian satu ini bukan
seperti satu benda yang dibagi dua bagian, dan kedua bagian ini tak lain tak
bukan hanyalah satu, dan juga bukan seperti bila satu hal disebut dengan dua
nama, sehingga Yang Sama kadang-kadang menjadi Bapa dan kadang-kadang juga menjadi
Anak. Mereka itu dua dalam pengertian bahwa Bapa adalah Bapa dan Dia itu
bukanlah Anak. Dan Anak adalah Anak dan Dia bukanlah Bapa. Tetapi hanya ada
satu kodrat (physis). Anak adalah di
dalam Bapa karena apa saja yang menjadi milik Anak merupakan milik khusus
kodrat (ousia) Bapa sama seperti
cahaya keluarlah pantulannya, dan dari sumber keluarlah sungai. Sehingga siapa
yang melihat Anak melihat apa yang (menjadi milik) khusus Bapa, sehingga Ia
satu dengan Bapa. Tetapi Bapa juga berada dalam Anak, sebab Anak adalah apa
yang khusus dari Bapa, seperti matahari berada dalam semaraknya dan akal dalam
kata dan sumber dalam sungai. Jadi Bapa dan Anak tidaklah sama saja, ada
perbedaan, namun keduanya saling meresapi (“peri
khoresis/circumincessuim, cercum-insessio”). Dasarnya adalah kesatuan atau
keidentikan kodrat (ousia, physis)
ialah keilahian (theotetes).[114] Athanasius
mengemukakan bahwa hanya jika Kristus adalah sepenuhnya Allah maka keselamatan
orang berdosa tidak mustahil. Dia satu dengan Bapa. Harus ada kesetaraan dalam
substansi dari Bapa dan Anak, bukan hanya kesamaan.[115]
Yang kurang dari Kristologi/Trinitas Athanasius adalah
konsep yang tepat untuk menunjuk pada apa yang disebut “pribadi” atau “diri”
(person). Sehingga Ketiga Orang Kapadokialah yang berjasa dalam mengatasi
kekurangan ini. Mereka mengembangkan terminologi yang tepat untuk membedakan
antara hakikat Allah pada umumnya di satu pihak dan para pribadi individual di
lain pihak. Sebelumnya para teolog memakai istilah ousia (dalam arti “hakikat”, “substansi”) dan hypostasis (dalam arti “zat”, “kodrat”) secara campur baur.
Sekarang para Kapadokia ini mempergunakan konsep ousia untuk menjukkan hakikat (esensi atau kodrat) ilahi yang
dimiliki bersama oleh ketiga Diri, sedangkan konsep hypostasis untuk eksistensi pribadi yang dimiliki oleh
masing-masing Diri Ilahi.[116] Sehingga ousia
menjadi istilah teknis bagi Ketuhanan, sedangkan hypostasis tidak lagi berarti “kodrat” melainkan “diri”, “pribadi”,
serarti dengan prosopon. Jadi ousia menunjuk pada hakikat Allah yang
umum, dan hypostasis menunjuk kepada
bentuk-bentuk khusus yang diterima oleh hakikat ilahi ini dalam diri pribadi
Bapa, Anak, dan Roh Kudus.[117]
Mereka juga mempertajam kekhususan pribadi Bapa dan Anak
(juga Roh Kudus) dibandingkan teolog sebelumnya. Basilius pertama-tama
mengenakkan kepada Bapa “kebapaan”, kepada Anak “keanakkan/keputraan” (dan
kepada Roh Kudus “kuasa pengudus” atau “pengudusan”). Dan yang menjadi
perbedaan antara kegita Diri Ilahi ini dapat diungkapkan dengan mengatakan bahwa
“Bapa ‘tidak dilahirkan’, Anak ‘dilahirkan’ (dan Roh Kudus ‘berasal’)”.
Sehingga hubungan para Pribadi satu sama lain ciri khasnya digambarkan asas dan
asalnya, Putra melaksanakan, dan Roh Kuduslah yang mengakhiri atau
menyelesaikan pekerjaan itu.[118]
Apollinaris[119], mengemukakan
Kristologinya dalam rangka membela kesatuan Yang Ilahi dan yang insani pada
Yesus Kristus; termasuk di dalamnya ia bermaksud membela keilahian Kristus yang
berdaya guna, terutama keselamatan semua manusia, melawan Arianisme. Ia ingin
memepertahankan kesatuan Anak Allah.[120] Akan tetapi, ia terpaksa
mengorbankan kemanusiaan Yesus Kristus. Menurut Apollinaris, Kristus tidak
mempunyai roh atau jiwa rasional.[121] Apollinaris
tidak menemukan tempat bagi kesadaran terbatas seorang manusia dalam Kristus,
atau untuk sebuah jiwa manusia yang dapat dianggap sebagai tempat pilihan manusia
sejati. Menurutnya logika akan pribadi Kristus menuntut bahwa
hal-hal ini harus dikorbankan demi kepentingan kesatuan pribadi Kristus.[122]
Pada Kristus ada logos
ilahi. Maksud utamanya ialah menentukan adanya kesatuan dalam diri Kristus,
sebagaimana tampak dalam rumusannya “kodrat terjelma dari logos yang satu”. Sulit masuk dalam benak Apollinaris, bahwa dalam
pribadi yang satu dan sama terdapat dua kodrat (yakni Ilahi dan insani) yang
berbeda. Baginya, suatu unsur yakni keilahian Kristus, mutlak harus diunggulkan
di atas unsur lainnya, yakni kemanusiaan Kristus. Pilihannya menekankan pada
keilahian Kristus, mengingat sifat-sifat unggul yang menjadi ciri khasnya. Sifat-sifat
itu adalah kekal, abadi, tidak dapat binasa, rohani, dan agung mulia. Sedangkan
sifat-sifat lainnya, yakni kemanusiaan Kristus selalu bersifat rapuh, sementara,
dapat binasa, dan sebagainya.[123]
Permasalahan mengenai perdebatan
pengikut Arius/Arianisme dan pembela syahadat Nicea, terlebih khusus Athanasius
masih terus berlangsung. Dan akhirnya para pembela syahadat Nicea secara
definitif mengalahkan Arianisme pada konsili Konstantinopel/Kontantinopelis I
tahun 381[124].
Dan sebagai respon terhadap ajaran Apolinaris, maka konsili inipun mengutuknya
dan ajarannya. Konsili Kontantinopel diprakarsai oleh Kaisar Teodosius I.
Konsili ini dihadiri antara lain oleh
kurang lebih 100 uskup dari Gereja Timur. Konsili ini menghasilkan
keputusan-keputusan, yaitu mengutuk berbagai jenis Arianisme, Masedonianisme
(yang menyangkal keilahian Roh Kudus), melengkapi syahadat Nicea, dan
menetapkan bahwa uskup Konstantinopel menjadi yang terkemuka di bagian timur
(tanpa meragukan kedudukan Paus atas seluruh Gereja).[125]
v Nestorius, Cyrillus,
dan Konsili Efesus (431)
Nestorius[126] mengemukakan bahwa pada
Yesus Kristus terdapat kodrat Ilahi dan insani. Dalam filsafat Aristoteles
(yang mempengaruhi Nestorius) dikemukakan bahwa kodrat (physis) itu adalah keseluruhan ciri-corak dan sifat-sifat sesuatu.
Supaya kodrat itu menjadi nyata maka setiap kodrat itu harus ada rupa (prosopon). Pada Yesus ada kodrat Ilahi
dengan rupanya dan kodrat insani dan kodratnya. Yang menyatukan kodrat Ilahi
dan insani pada Yesus Kristus adalah satu kodrat atau rupa yang lain atau “prosopon ketiga”. Prosopon ketiga ini menunjuk pada rupa Kristus. Dalam Kristus ini
kedua kodrat yang lain (Ilahi dan Insani) bersatu; dalam Kristus ini Allah
memakai realitas manusia dan manusia memakai realitas Allah. Persatuan kedua
kodrat ini dalam satu rupa, bukanlah suatu persatuan dangkal dan lahiriah saja
atau hanya kesatuan, kesejalanan kehendak saja. Persatuan ini dalam istilah
Nestorius ialah persatuan menurut “eudokia”,
perkenaan. Itu berarti Firman Allah memberikan diri (keilahian-Nya) kepada
kemanusiaan real (physis serta prosoponnya)
dan kemanusiaan itu dengan bebas menerima tawaran itu sehingga seerat-eratnya
berpaut pada Firman Allah, sehingga hanya ada satu Yesus, hanya satu Anak Allah
dan hanya satu Manusia yang dipersatukan dalam Yesus Kristus.[127] Jadi, Nestorius menegaskan yang ada hanya dapat satu Anak,
satu
Kristus, yang adalah juga sepenuhnya Ilahi dan sepenuhnya manusia, dalam dua
kodrat yang berbeda.[128]
Nestorius juga menolak gelar theotokos atau Bunda Allah. Istilah Bunda Allah ini adalah suatu
istilah yang mengakui bahwa Yesus itu adalah benar-benar Allah dan juga
benar-benar manusia, sehingga siapa yang menerima gelar ini berarti mengakui
Yesus adalah Allah dan juga Manusia, sedangkan yang menolak berarti dianggap
tidak mengakui Yesus itu benar-benar Allah dan manusia. Gelar theotokos ini diterima oleh mazhab
Alexandria, sedangkan mazhab Antiokhia menolaknya dan mengusulkan harus
menambah juga gelar theoanthropon.
Nestorius juga sependapat dengan hal ini karena gelar Bunda Allah pada Maria
menimbulkan kesan bahwa Maria yang adalah manusia memperanakkan Allah. Pendapat
ini menurut Nestorius tidak mungkin, karena Allah tidak diperanakkan, sehingga
agama Kristen menjadi agama kafir jika mengakui hal ini, lagi pula sebutan ini
tidak ada dalam kitab suci, dan bisa saja sebutan ini mengakibatkan terjadinya
percampuran kodrat Ilahi dan insani pada Yesus sehingga bisa jatuh pada
Apollinarisme. Tapi bukan dalam arti ini gelar Bunda Allah dikemukakan oleh
mazhab Aleksandria. Gelar Bunda Allah ini adalah istilah communicatio idiomatum, yang dihubungkan pada Yesus Kristus, dapat
berarti suatu istilah tertentu disebutkan dan dapat diartikan pada dua kodrat
Yesus Kristus, misalnya boleh dikatakan bahwa Yesus sebagai Anak Manusia itu
naik ke sorga, atau Anak Allah disalibkan, Yesus yang menderita, boleh juga
dikatakan Anak Allah yang menderita. Karena penekanan dari hal ini ialah
kesatuan antara Yang Ilahi dan insani pada Yesus Kristus, yaitu Yesus Kristus sungguh
Allah dan manusia.[129] Karena Nestorius menolak
gelar ini, sehingga ia dianggap menolak kesatuan Yang Ilahi dan insani pada
Yesus Kristus.[130]
Teolog yang menentang Kristologi Nestorius adalah
Cyrillus dari Alexandria.[131] Berbeda dengan
Kristologi Nestorius, Kristologi Cyrillus yang dikembangkan menurut skema
Firman-daging. Dalam pandangan Cyrillus, Kristologi Nestorius merupakan
penyangkalan terhadap misteri iman bahwa Sabda Ilahi betul-betul menjelma
menjadi manusia. Bagi Cyrillus iman akan
inkarnasi itu hanya terjamin kalau
communicatio idiomatum diterima tanpa syarat, dan gelar Theotokos diterapkan pada Bunda Maria.
Cyrillus menegaskan bahwa logos ilahi
sendirilah yang menjelma menjadi manusia dalam Yesus Kristus. Perhatian
Cyrillus tertuju kepada dua cara berada Sang logos berturut-turut: mula-mula pra eksisten-Nya dan kemudian
inkarnasi-Nya. Dalam kedua cara itu terlibatlah logos yang sama. Cyrillus pun menggunakan istilah khusus untuk
mengungkapkan baik perbedaan antara kedua cara itu maupun kesatuan logos dalam kedua cara. Dibedahkannya
antara “logos di luar daging” (logos asarkos) dengan “logos di dalam daging” (logos ensarkos). Untuk menggambarkan
kesatuan dari Ketuhanan dan kemanusiaan, Cyrillus suka memakai rumus “satu
kodrat logos ilahi” dan kodrat itulah
yang “menjelma menjadi daging”.[132]
Bagi Cyrillus, mustahillah membagi atau memisahkan kedua
kodrat yang ada pada logos yang telah menjelma. Sang logos sendiri yang
betul-betul menjadi daging. Dengan “daging” dimaksudkan Cyrillus seluruh kodrat
insani yang utuh, termasuk jiwa manusiawi. Ketuhanan dan kemanusiaan Kristus
bersatu bukan hanya karena suatu penggabungan dari keduanya yang tinggal
lahiriah ataupun bersifat moral (suatu kehendak), melainkan secara substansial
atau hypostasis. Ini berarti bahwa
kodrat insani Yesus Kristus tak pernah berada tersendiri, tetapi seluruhnya
dimiliki logos. Dengan kata lain,
kodrat manusawi Yesus Kristus itu tidak lain dari pada kodrat manusawi Sang logos. Tubuh Yesus adalah tubuh logos, bukan cuma sekedar tubuh seorang
makhluk insani. Cyrillus menekankan bahwa keselamatan dikerjakan bukan dengan
cara Allah merahmati seorang manusia, yakni Yesus, melainkan dengan cara Allah
sendiri datang ke dalam dunia. Jadi, Cyrillus mempersatukan kedua tabiat
Kristus.[133]
Bertolak dari gagasan itu maka gelar “Bunda Allah” dapat disetujui Cyrillus
secara mutlak, karena memang hanya ungkapan inilah yang sesuai dengan misteri
inkarnasi.[134]
Dalam polemiknya dengan Nestorius Cyrillus kurang
mengerti istilah yang dipakai Nestorius (mazhab Antiokhia) dan sebaliknya.
Dalam peristilahan Nestorius “kodrat” (physis)
berarti: sesuatu yang real dan konkret yang mencakup berbagai ciri-corak dan
sifat dan selalu pada kodrat ada suatu “prosopon”
(rupa) atau Nestorius memahami hypostasis dalam makna antik sesuatu
yang erat kaitannya dengan physis
atau ousia[135]. Maka, demi realitas
Keilahian dan kemanusian-Nya, pada Kristus ada dua kodrat semacam itu. Tetapi
dalam peristilahan Cyrillus “physis” (kodrat,
searti dengan ousia dan hypostasis) berarti: Realitas konkret,
“benda” nyata. Physis ialah suatu
individu konkret yang ada. Maka pada Kristus hanya ada satu “kodrat” (physis), sebab Ia memang satu individu
konkret. Kalau Nestorius berkata bahwa pada Kristus ada dua kodrat (physeis), maka Cyrillus mengerti: dua
individu. Kalau Cyrillus berkata bahwa pada Kristus hanya ada satu “kodrat” (physis), maka Nestorius mengerti:
keilahian dan kemanusiaan melebur menjadi sesuatu yang baru.[136]
Untuk menghindari bahwa Gereja Timur akan dipecah belah
oleh pertentangan terbuka antara kedua kebatrikan, Aleksandria dari
Konstantinopel, konsili umum berkumpul di Efesus. Akan tetapi, setelah konsili
yang memenangkan Cyrillus itu kecondongan dalam kalangan tertentu untuk melawan
Nestorianisme menjadi begitu ekstrem sehingga menelurkan bidaah yang
berlawanan, yakni Monofisitisme,[137] yang ditentang oleh Paus
Leo dalam dokumen yang terkenal sebagai Tomus
Leonis: ‘Risalah Paus Leo’.[138]
Surat-surat menyurat mengenai masalah Kristologi antara
kedua batrik yang bersaingan, Cyrillus dari Alexandria dan Nestorius dari
Kontantinopel, tidak menghasilkan kesepakatan. Maka, kedua-duanya naik banding
kepada Uskup Roma, Paus Celestinus I. Suatu sinode di Roma pada tahun 430
menyatakan Nestorius tersesat dan membenarkan teologi Cyrillus. Sri Paus
menugaskan Cyrillus menyampaikan keputusan ini kepada Nestorius. Maka, Cyriluus
menyusun 12 anatema terhadap bidaah baru ini yang ditambahkannya pada surat Paus,
dan ia mengancam Nestorius dengan pemberhentian dan ekskomunikasi kalau Uskup
Konstantinopel dalam jangka waktu 10 hari tidak menarik kesalahannya. Akan
tetapi, Nestorius tidak dapat menerima keputusan ini dan mendesak Kaisar
Theodosius II untuk mengumpulkan konsili sedunia. Maka, dengan dukungan dari
rekannya Valentianus III yang menjabat kaisar di Kawasan Barat, dan dengan
persetujuan Paus Celestinus, maka Kaisar Theodosius II memanggil semua uskup
dari seluruh kekaisaran supaya pada hari raya Pentakosta, tanggal 7 Juni tahun
431, berkumpul di kota Efesus. Jadi, Konsili Efesus diadakan di Efesus, Asia Kecil pada
tahun 431 di bawah Kaisar Theodosius II, cucu Theodosius Agung.[139]
Konsili inilah yang kemudian menjadi terkenal sebagai
Konsili Ekumenis III.[140] Jadi, berbeda dengan
konsili Nicea dan Konstantinopel, Konsili Efesus tidak membuat syahadat. Bahkan
dalam arti sesungguhnya tidak membuat rumusan apapun.[141]
Pada pertengahan bulan Juni sudah hadirlah banyak
peserta, misalnya Batrik Aleksandria, Konstantinopel, dan Yerusalem, yaitu
Cyrillus, Nestorius, dan Yuvenalis, masing-masing disertai uskup-uskup mereka.
Akan tetapi, Yahones Batrik Antiokhia, bersama para uskupnya belum tiba, dan
juga para utusan Sri Paus belum ada. Walaupun sekitar 60 persen (termasuk
Nestorius) mengajukan protes dan kuasa, Kaisar pun tidak menyetujui dimulainya
persidangan, dan Cyrillus sebagai mana tercantum dalam suratnya yang kedua
kepada Nestorius itu ditegaskan kesesuaiannya dengan imam ortodoks akan
inkarnasi Sang Sabda, sedangkan ajaran Nestorius ditolak. Gelar Theotokos diakui. Empat hari kemudian
tibalah Batrik Yohanes dari Antiokhia bersama para uskupnya. Ia mengadakan
sinode tandingan bersama para uskupnya serta teman-teman Nestorius. Sinode ini
membalas dengan melakukan yang sama terhadap Cyrillus: memberhentikan dan
mengekskomunikasikannya. Sri Kaisar mula-mula mendukung keputusan dari kedua
sinode itu dalam arti: ia menyatakan baik Cyrillus maupun Nestorius dipecat dan
menyuruh mereka masuk pembuangan. Akan tetapi, kemudian Cyrillus berhasil bukan
hanya untuk diizinkan kembali ke takhta keuskupannya (ia tiba pada tanggal 30
Oktober dan disambut sebagai seorang Athanasius yang kedua), tetapi juga untuk
memperoleh pengakuan dari pihak Sri Paulus bahwa konsili yang diketuai Cyrillus
itulah Konsili Ekumenis yang ketiga. Dengan demikian konsili itu disahkan.
Sebaliknya, Nestorius menarik diri ke dalam biara di Antiokhia.[142]
v Eutykhes, Flavianus,
Paus Leo I, dan Konsili Chalecedon
Konsili Efesus ternyata belum memuaskan semua pihak dan
belum menyelesaikan masalah yang ada mengenai Kesatuan dan Perbedaan Yang Ilahi
dan insani pada Yesus Kristus. Eutykhes (rahib suatu biara, ia meninggal
sekitar tahun 450) dekat kota Konstantinopel
mengajarkan bahwa sifat manusia Kristus diserap oleh logos.
Eutykhes mengajarkan bahwa Kristus hanya sehakikat dengan Allah, bukan dengan
manusia. Hanya ada satu tabiat ilahi di dalam Kristus, sedangkan daging lenyap.[143] Jadi, ia menolak gagasan bahwa Yesus memiliki
dua tabiat.[144]
Para penganut Monofistisme ini memang menerima bahwa Yesus Kristus itu juga
manusia, tetapi mereka begitu menekankan keilahian-Nya sehingga kemanusiaan-Nya
tidak berarti apa-apa. Paling tidak secara praktis kemanusiaan itu diserap oleh
keilahian, kalaupun secara formal mereka mengakui Yesus Kristus sepenuhnya
manusia.[145]
Suatu sinode yang diketuai oleh Batrik Konstantinopel,
Flavianus, berkumpul di kota itu pada tahun 448 untuk menyelidiki pikiran
Eutykhes. Semua uskup yang hadir itu menganut mazhab Antiokhia. Mereka menilai
Eutykhes sebagai wakil mazhab Aleksandria. Pada sinode tersebut, Flavianus
mengemukakan sebagai ajaran ortodoks rumus ini: “Kami mengakui bahwa Yesus
sesudah inkarnasi (terdiri) dari dua kodrat (ek dua physeis), sambil menerima satu Kristus, satu Anak, dan satu
Tuhan dalam satu diri (hypostasis)
dan satu pribadi (prosopon).”
Keterangan ini jelas melawan pendekatan mazhab Alexandria (satu kodrat/physis, hypostasis), dan secara tegas
membedakan antara istilah physis
(kodrat) dengan hypostasis (diri)
yang serarti prosopon (pribadi). Dan
diri/pribadi itu tidak lain dari pada diri/pribadi Firman/Anak Allah pra ada
(pra eksisten). Dengan demikian, peristilahan akhirnya menjadi jernih (setelah
lama sekali kacau dan kabur).[146]
Setelah Eutykhes dikutuk dan dipecat oleh Sinode
Konstantinapolis (tahun 448), ia naik banding ke beberapa sinode lainnya dan
juga kepada Sri Paus. Ternyata Dioskoros, Batrik Aleksandria, membela Eutykhes
dan menerimanya dalam persekutuan, tetapi Paus Leo Agung sebaliknya menentang
ajaran Eutykhes, yakni monofisitisme,
sebagai bidaah baru. Dalam sepucuk surat dogmatis (epistula dogmatica) kepada Flavianus, Batrik Konstantinopel itu,
Sri Paus mengungkapkan dengan jelas apa yang membedakan kedua kodrat Kristus
sambil mempertahankan kesatuan pribadiNya. Paus Leo terpaksa
menghabiskan banyak surat berdebat untuk keberadaan kedua kemanusiaan dan
keilahian dalam Yesus Kristus; "masing-masing bentuk (membawa) pada
kegiatan yang tepat dalam persekutuan dengan yang lain”.[147]
Surat
Paus Leo yang tertangal 13 Juni 449 dan terkenal dengan nama Tomas Leonis (Risalah Paus Leo) ataupun Tomus ad Flavianum (Risalah kepada
Flavianus)[148]
menjadi termasyur karena pengaruhnya terhadap konsili Chalcedon yang akan
diadakan dua tahun kemudian. Berhadapan dengan diskusi yang sulit dan panjang
lebar di Gereja kawasan Timur itu, Risalah Paus Leo merangkum secara singkat
Kristologi Gereja kawasan Barat yang tradisional. Di dalamnya termasuk bukan
hanya Kristologi Tertullianus yang memang bersifat dasaria bagi Gereja di
Barat, tetapi juga pengembangannya lebih lanjut berkat usaha Hilarius
(meninggal tahun 367), Ambrosius (meninggal tahun 397), dan Augustinus, yang
pada dasarnya mengikuti pola Firman-manusia (logos anthropos) ala
perguruan Antiokhia dan dengan demikian berhadap-hadapan dengan model Firman
daging (logos sarks) yang dipakai di
mazhab Alexandria.[149]
Setelah Eutykhes dikutuk dan diberhentikan oleh sinode di
Konstantinopel pada tahun 448, ia sendiri bersama Batrik Dioskoros dari Aleksandria
berhasil membujuk Kaisar Theodosius II supaya mengumpulkan suatu konsili di
Efesus. Pada bulan Agustus tahun 449 konsili itu diadakan, dengan Dioskoros
sebagai ketuanya. Tekanan terhadap para uskup yang hadir itu luar biasa
besarnya. Tanpa mereka diberi kebebasan untuk mengeluarkan suaranya, Eutykhes
direhabilitasi dengan alasan bahwa ajarannya tepat. Batrik Flavianus dipecat
dan dianiaya, begitu pula Theodoretus, Uskup Kirus. Ajaran bahwa pada Yesus Kristus sesudah inkarnasi
terdapat dua kodrat itu dinyatakan bidaah. Para utusan Sri Paus tidak diberi
kesempatan mengemukakan apa yang diajarkan Uskup Roma itu (yaitu epistula dogmatica). Sinode yang oleh
Paus Leo I disebut sinode “penyamun” Efesus (Latrocinum Efesinum) ini jelas memenangkan perkara Eutykhes, yang
berarti: pikiran mazhab Aleksandria. Santo Leo Agung langsung bertindak dengan
mengadakan sinode di Roma pada bulan September tahun itu juga, di mana akta
sinode “penyamun” itu secara resmi ditolak.[150]
Sinode Roma ini meminta Kaisar Theodosius II supaya
mengumpulkan konsili ekumenis di Italia, tetapi Sri Kaisar yang memihak pada
kelompok Dioskoros-Eutykhes tidak mengabulkan permintaan ini. Baru dengan
meninggalnya Theodosius II, maka pasangan Dioskoros-Eutykhes tidak lagi di atas
angin. Kaisar Baru, Marcianus dan istrinya Pukheria, ingin meredahkan suasana
yang panas itu. Beliau mendukung pendirian Flavianus, dan meniadakan
keputusan-keputusan sinode “penyamun”, sambil memutuskan untuk mengadakan
konsili lagi. Konsili itu diselenggarakan pada tahun 451 di Chalcedon, dan
dikenal sebagai Konsili Ekumenis IV.[151]
Yang hadir dalam Konsili Chalcedon kurang lebih 600
uskup, hampir semua dari kawasan Timur dan beberapa utusan Sri Paus. Konsili Chalcedon
menegaskan kesatuan Yesus dengan sifat,
dan identitas-Nya dengan zat Ilahi.[152] Konsili ini memutuskan bahwa semua keputusan dan tindakan
sinode “penyamun” dicabut, mendiang Flavianus direhabilitasi dan Dioskoros
serta pendukungnya dipecat, merumuskan ajaran tentang dua kodrat dalam kesatuan
personal Kristus, mengutuk monofisitisme, mensahkan konsili Efesus sebagai
konsili ekumanis III, syahadat Konsili Nicea dibacakan, dua surat Cyrillus
kepada Nestorius (konsili Efesus) dibacakan juga, begitu pula surat Paus Leo
Agung kepada Flavianus tentang masalah Eutykhes. Setelah Tomus Leonis ini dibacakan, para Bapa Konsili berseru, “Petrus
telah berbicara melalui mulut Leo.” Mula-mula mayoritas para hadirin mau
membatasi diri pada butir-butir acara tadi, tetapi atas desakan Marcionis
akhirnya disusun dan diterima suatu syahadat[153] mengenai iman sejati
kepada Kristus.[154]
Syahadat Konsili Chalcedon meminjam istilah-istilah yang
dikemukakan oleh Paus Leo untuk membantah Nestorianisme di satu pihak, dan
bidaah Eutykhes di lain pihak. Sekaligus syahadat ini dimaksudkan sebagai sintesis
antara mazhab Antiokhia dengan Aleksandria berhubung dengan misteri Sabda yang
telah menjelma. Bagian pertama syahadat Chalcedon menyangkut kesatuan pribadi,
sedangkan bagian kedua mengenai dua kodrat dalam Yesus Kristus.[155] Sampai konsili
Chalcedon, persoalan ataupun konflik tentang Kristologi belum secara tuntas
diselesaikan, masih ada lagi permasalahan-permasalahan yang ada dan diadakanlah
konsili-konsili lagi untuk menanggulangi masalah-masalah itu.
C.
YESUS KRISTUS DI TENGAH KONTEKS INDONESIA DALAM DKG OLEH PGI
Refleksi
tentang Yesus Kristus di Indonesia yang diakui secara umum, dapat dilihat dalam
“Dokumen Keesaaan Gereja (DKG), oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
(PGI)”
Dalam DKG, disaksikan bahwa Allah di
dalam Yesus Kristus adalah Tuhan atas sejarah dan atas seluruh bangsa-bangsa,
dan seluruh dunia ini merupakan sasaran
kasih Allah (bnd. Yoh 3:16).[156]
Yesus Kristus itu tidak berubah, karena Ia adalah sama, kemarin, hari ini,
besok, dan selama-lamanya.[157]
Dan Injil Yesus Kristus adalah Injil pendamaian yang adalah kekuatan Allah yang
menyelamatkan dan memperdamaikan segala sesuatu dengan Allah (bnd. Rm 1:16-177;
Kol 1:20). Allah di dalam Yesus Kristus adalah Allah yang memberlakukan
keadilan dan kebenaran yang menyelamatkan (bnd. Rm 1:16-17; Luk4:18-19), yang
menuntut pertobatan, yang mengaruniakan pengampunan dosa dan keselamatan, yang
memberikan keadilan-Nya kepada orang-orang miskin dan tertindas, yang
mengaruniakan kesejahteraan kepada segala bangsa, kepada segala makhluk (bnd.
Luk 24:47; Mrk. 16:15).[158]
“Tuhan
itu Allah kita, Tuhan itu Esa” (Ul 6:4). Tidak Allah selain Dia (Kel. 20:3; Ul
5:7). Dialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi serta seluruh isinya,
dan yang tetap memeliharanya hingga kesudahan alam (Kej 1:2: Mzm24:1-2; 89:12;
104:1: Kol 1:16).[159]
Allah menyatakan diri dalam karya penciptanNya dan dalam sejarah umat manusia
(Mzm 19:2-3; Rm 1:19-20) dan secara khusus dan sempurna dalam Yesus Kristus
Anak-Nya yang Tunggal (Yoh 1:18). Oleh pimpinan Roh Kudus dikenal dan disembah
sebagai Bapa dalam Yesus Kristus.[160]
Yesus Kristus adalah Perantara dari Allah dan manusia.[161]
Jadi, Allah yang Maha Esa dan kekal, yaitu Allah Bapa, Anak (Yesus Kristus) dan
Roh Kudus (Yes 43:10, 44:6; Mat 28:19; II Kor. 13:13; Flp 4:20; Ibr 13:8; Why
4:8).[162]
Yesus Kristus juga adalah
Juruselamat. Allah mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal, Yesus Kristus, dan di dalam
Dia Allah menyediakan keselamatan bagi orang yang percaya (Yoh 3:16; Kis
16:31). Hanya pada-Nya manusia beroleh keselamatan yang kekal (Kis 4:12; Yoh14:6).
Keselamatan itu telah mancapai manusia karena Yesus Kristus “yang walaupun
dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan-Nya dengan Allah itu sebagai milik
yang harus dipertahankan, melainkan mengosongkan diri-Nya sendiri, dan dalam
keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati,
bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2:6-8), dan “Allah telah membangkitkan-Nya
dari antara orang mati sebagai buah sulung bagi segenap orang percaya” (Kor
15:20-23).[163]
Pemerintahan Allah dalam Yesus
Kristus berwujud di dalam lingkungan dan suasana hidup yang di dalamnya
terdapat kasih, kebenaran, keadilan, damai sejahtera, kesukacitaan, pemulihan
dan pembaharuan hidup (Mzm 145:11-13; Mat 9:35; Luk 4:21; 4:43; Rm 14:7; I Kor
4:20).[164]
Yesus Kristus yang sama telah
menjadi Tuhan dan membudaya dan diterima akrab dalam setiap komunitas orang
percaya dengan kebudayaannya masing-masing, sehingga Tuhan Yesus Kristus
menjadi Pengesa dan suatu keesaan yang sangat majemuk merangkum semua manusia
dengan segala kekayaan budayanya. Keesaan ini dinamai Oikumene Gerejawi (OG) yang adalah GKYE (Gereja Kristus/Kristen
Yang Esa). Secara hakiki GKYE dipercayai adalah tubuh Kristus dalam setiap
budaya dan lintas semua budaya sekaligus. Karena itu diupayakan agar keesaan
Gereja itu akan nyata di Indonesia dan mencakup seluruh Gereja termasuk
Gereje-gereja di luar PGI.[165]
D.
TAFSIRAN YESAYA 63:9; DANIEL 9:25; MALEAKHI
3:1;
I TESALONIKA 4:16; IBRANI
1:3-5, 9; WAHYU 12:7-9
Pada bagian ini penulis akan melakukan penafsiran atas
teks-teks Alkitab yang dijadikan Frans Donald dasar bahwa Yesus adalah Malaikat
Mikhael.
Seperti yang dikemukakan oleh Frans Donald dalam
ilustrasinya tentang ‘anak pantai’ untuk menjelaskan istilah “Anak Allah”. Ia
mengemukakan bahwa untuk memahami istilah tertentu harus memiliki pemahaman
yang jelas tentang konteks istilah itu dengan jelas, sehingga tidak salah dalam
mengerti istilah itu. Hal yang sama juga berlaku dalam penafsiran Alkitab.
Perlu untuk memperhatikan konteks dari teks-teks Alkitab untuk mengetahui
maksud dari kesaksian para Penulis Alkitab tentang tulisannya.
Dalam penafsiran Alkitab hal ini dipelajari secara
khusus, sistematis, logis, dan koheren. Hal ini dipelajari dengan apa yang
disebut dengan Hermeneutik.[166] Perlunya penafsiran
dalam Alkitab disebabkan karena Alkitab itu ditulis oleh para penulis Alkitab
terhadap suatu alamat penulisan tertentu dengan situasi dan budaya tertentu.
Antara penulisan Alkitab dan pembaca sekarang memiliki suatu “jurang”. “Jurang”
ini berupa perbedaan budaya, bahasa, pemahaman, situasi, dsb antara zaman
penulisan Alkitab dan zaman sekarang.
Untuk menjembatani “jurang” ini diperlukanlah
hermeneutik. Dalam hermeneutik sekarang ini ada berbagai metode penafsiran
Alkitab yang dipakai, misalnya metode historis kristis dan motode naratif.
Metode historis kristis melihat teks-teks Alkitab seperti jendela, yaitu untuk
membuka hal-hal yang kurang dimengerti, membuka makna dalam teks dan melihat
aplikasinya untuk konteks sekarang. Untuk mengerti akan teks-teks Alkitab ini
maka dalam metode historis kritis ini melakukan kritik teks (konteks dari teks
dan konteks dalam teks), kritik budaya (konteks budaya), kritik historis
(konteks sejarah), kritik lingusitik (konteks bahasa yang digunakan), kritik
bentuk dsb. Sedangkan metode penafsiran naratif melihat teks sebagai kesatuan
teks dan refleksinya untuk konteks sekarang. Metode naratif ini melihat teks
sebagai suatu “cerita” dengan memperhatikan para tokoh, alur, setting, dsb.
Metode historis kritis menekankan eksposisi teks-teks Alkitab, melihat teks
secara diakronis, yaitu melihat teks itu terdiri dari suatu bagian-bagian
tertentu, dan mengeksplorasinya, sedangkan metode narasi menekankan aplikasi
dari teks-teks Alkitab, dan melihat teks-teks secara sinkronis, melihat
kesatuan dalam teks. Inti dari metode-metode ini untuk mendapatkan apa teologi
dari teks-teks tersebut untuk berefleksi, atau melihat aplikasi atau
aktualisasinya dalam konteks sekarang ini.[167]
Jadi, saat ini penulis akan melakukan penafsiran terhadap
teks-teks Alkitab ini dengan menggunakan prinsip-prinsip hermeneutik yang ada,
dan dalam hal ini menggunakan prinsip metode historis kritis.
1.
Tafsiran dalam PL
v
Yesaya
63:9
Frans Donald mengutip ayat ini
untuk menunjukkan bahwa “Malaikat Utusan di hadirat Allah-lah yang
menyelamatkan (“u malakh pana’r hosyiah”)” manusia. Dan Yesuslah malaikat/utusan
surgawi ini jadi Yesus adalah malaikat. Kutipan Frans Donald ini didasarkan
pada terjemahan lama Lembaga Alkitab
Indonesia (LAI) dan King James Version (KJV). Jadi kalimat “u malakh pana’r hosyiah” adalah kalimat kunci yang akan menjadi fokus kerja
hermeneutik ini.
Dalam bahasa Ibrani (Biblica
Hebraica) kitab Yesaya[168] diberi nama “Yeshayahu, yang berarti keselamatan
(kelepasan) dari Tuhan”. Dalam terjemahan Yunani, LXX dipakai nama Esias dan dalam terjemahan Latin
(Vulgata) disebut Isaias. Melalui
pengaruh terjemahan Vulgata ini, maka dipakailah nama Yesaya.[169]
Yesaya 63:9 digolongkan dalam Trito
Yesaya (Yesaya III). Sebagian besar Firman Yesaya II menjawab doa keluhan umat
Israel, demikian pula berita Yesaya III dihubungkan dengan doa umat yang
menanti-nantikan penyelamatan mereka. Mazmur dalam Yesaya 63:7-64:12 ini,
berasal dari zaman sesudah tahun 587 sM; mazmur ini merenungkan karya
penyelamatan oleh Tuhan yang dimulai-Nya dengan Musa, dan mengakui bahwa Tuhan
adalah benar di dalam hukum-Nya atau umat yang memberontak terhadap-Nya; namun
demikian Israel tetap percaya kepada Allah sebagai Bapanya dan menanti-nantikan
saatnya Ia mengoyahkan langit dan turun
(Yes 64:1) dan tidak menahan diri lagi (Yes 54:12). Jawaban diberikan dalam
Yesaya 61:1-2, 11 dan 57:17-18.[170]
Dari uraian yang ada[171] dapat dilihat bahwa kata
(“u
malakh pana’r hosyiah”) oleh LAI terjemahan baru dan LXX sama-sama
menerjemahkan “bukan malaikat/utusan
melainkan (Ia) Tuhan sendiri yang menyelamatkan”. Sedangkan KJV
menerjemahkan: “Malaikat dari wajah-Nya
yang menyelamatkan” dan LAI terjemahan lama menerjemahkan “Malak alhdliratnya yang menyelamatkan”.
Perbedaan ini disebabkan karena kata Ibrani yang digunakan di sini memiliki
tingkat kesulitan yang tinggi.
George Knight
mengemukakan bahwa ada dua hal yang dapat disebutkan dengan kata-kata Ibrani
yang diterjemahkan dengan “The angel of
God” atau “the angel of Yahweh”
ini. Yang pertama “Dia” di sini berarti tidak memiliki wujud keberadaan dari
dirinya sendiri; dia tepatnya menunjuk pada apa yang malaikat artikan, atau
pembawa pesan. Dia tidak penting dari dirinya sendiri, karena yang penting
adalah berita yang disampaikannya. Pembawa pesan ini keluar dari mulut Allah
dalam rupa malaikat (bnd Kej. 48:16). Kedua, “Firman” ini mengambil rupa
seorang manusia, atau malaikat TUHAN ini kelihatan seperti wujud manusia bisa
berpribadi tapi lain kali tidak (Kej 16:7-11; Bil 22:22-35; Hak 2:1-4; 6:11-12;
13:3-21). Johanes Calvin menafsirkan ini bukan hanya menunjuk pada Yesus
Kristus (kaum Evengelical menekankan ini) sedangkan kaum Katolik menafsirkan
ini hanya menunjuk pada Yesus Kristus. Allah memberi (the angel of God atau the angel of Yahweh) atau malaikat Tuhan ini
bukan untuk mengganti diri-Nya sendiri tapi Dia sendiri menyelamatkan menurut
kasih setia-Nya. Karena itu Israel sebagai mitra perjanjian, harus menuruti dan
jangan memberontak lagi padanya malaikat Tuhan ini karena nama Tuhan ada dalan
namanya (Kel 23:21).[172] Dalam cerita persitiwa Exodus
(keluarnya Israel dari tanah Mesir) bukan Malaikat Tuhan yang menyelamatkan
dan memaafkan kesalahan umat Israel, melainkan Tuhan Allah sendirilah yang bisa
mengampuni dosa dan menyelamatkan Israel (Yes 43:11-13). Dalam Keluaran 14:19; 23:20-22; 33:2, 14 dan
berulang-ulang di bagian Alkitab yang lainnya, terlebih khusus dalam Yesaya
37:36 dapat dilihat aktivitas yang dilakukan malaikat dapat dilihat wajah dari
Allah (Allah yang bertindak melalui perantaraan Malaikat Tuhan ini dan Malaikat
Tuhan ini bersikap seperti Tuhan). Barangkali karena hal ini kenapa LXX merasa
perlu untuk keluar dari penafsiran yang berlatar belakang tradisi Ibrani (tentang
Malaikat), dan dalam pengaruh budaya Yunani menafsirkan “bukan duta, tapi diri-Nya sendiri yang menyelamatkan mereka”.[173]
Sedangkan, M.
Barth mengemukakan bahwa sebagai Bapa, Allah menjadi Juruselamat umat-Nya (ay.
8-9); gelar ini pertama-tama terdapat dalam Hosea (ay. 8-9; I Sam 10:19) dan
menjadi suatu istilah kunci pemberitaan Yesaya II (Deutero Yesaya) (Yes 43:1)
dan seterusnya (Bnd Mzm 106:21). Ia juga adalah Penebus umat-Nya; gelar ini
berasal dari cerita keluaran (Kel. 6:6; 15:15; bnd: Mzm 74:2 dan 77:16; 78:35;
19:15) dan penting pula bagi Yesaya II yang mengemukakan bahwa Tuhan
langsung menolong dan tidak menyerahkan
tugas itu kepada seorang duta, utusan (malaikat) karena ia mengasihi umat-Nya.[174]
Untuk mengerti tentang Malaikat Yahweh ini, atau Malaikat
dari wajah Allah atau bukan duta tetapi Allah sendiri ini, dapat diartikan
juga dengan melihat konteks penulisan Yesaya 63:9 ini. Seperti yang dikemukakan
dalam bagian latar belakang umum, bahwa bagian ini memiliki keterkaitan erat
dengan mazmur 63:1-8, 10-14. Bagian ini bersama Yesaya 63:15-19 merupakan suatu
kesatuan mazmur. Yesaya 63:7-14 menekankan bahwa Tuhan adalah Juruselamat dari
dahulu kala, walaupun umat-Nya memberontak. Tuhan adalah Jurselamat ini sejajar
dengan Hosea 13:4; I Sam 10:19. Keselamatan ini diakui oleh umat berasal dari
Tuhan. Dan dalam Yesaya 63:9, keselamatan dilakukan melalui “Malaikat Yahweh atau Malaikat dari wajah-Nya
atau hadirat-Nya”. Ini dikemukakan dalam budaya Ibrani. Orang Ibrani sangat
menjunjung tinggi peranan Malaikat dalam perjalanan hidup Israel. Mulai dari
Bapa leluhur mereka Abraham malaikat berperan ketika Malaikat Tuhan bertemu
dengan Abraham (Tuhan menampakkan diri kepada Abraham, lalu muncullah tiga
orang, kemudian dua dari tiga orang ini pergi ke Sodom dan mereka disebut
Malaikat/Kej. 8:1-29), penyertaan Tuhan lewat tiang Api dan Awan dan itupun
dilihat lewat kehadiran Malaikat Yahweh.
Dan ketika orang Israel dihancurkan oleh bangsa Babel, dan mereka yang tersisa
yang dibuang mengakui keselamatan mereka dari Tuhan, bahwa mereka tidak dibunuh
dan akhirnya selamat walau dalam pembuangan (walaupun mengalami penjajahan)
adalah bukti penyertaan Tuhan. Dan ini disaksikan berasal dari Tuhan lewat Malaiakat Yahwe atau Malaikat dari
wajah-Nya.
Ini bukanlah menjadi masalah bagi umat Israel waktu itu
karena pandangan positif tentang malaikat dan yang penting mereka mengakui
Tuhanlah yang menyelamatkan, walaupun dari hal ini dalam rupa Malaikat Yahweh atau Malaikat dari wajah-Nya.
Tapi ini dikemukakan dalam alam pikiran Ibrani/Yahudi yang dinamis; yang
menekankan pada bukan tentang apa sesuatu itu tapi apa pengaruhnya sesuatu itu;
dalam hal ini menekankan bukan pada siapa Malaikat
Yahweh atau Malaikat dari wajah-Nya
itu tapi pada pengaruh penyelamatan itu sendiri, karena mereka tetap
mengakui penyelamatan itu sendiri dari Tuhan. Dan ini menjadi suatu masalah
ketika LXX menerjemahkan ini. Dalam budaya Yunani sulit diterima bahwa Malaikat Yahweh atau Malaikat dari wajah-Nya
yang menyelamatkan. Budaya Yunani yang statis,
yang menekankan apa sesuatu itu dan dalam hal ini menekanakan pada siapa
sosok yang menyelamatkan itu. Yang diakui adalah Tuhan saja yang menjadi
Juruselamat. Sehingga untuk mengatasi masalah ini (menurut penulis) maka LXX/Septuaginta menerjemahkan: bukan utusan atau duta atau malaikat melainkan
Tuhan sendirilah yang menyelamatkan.
“Tuhan sendirilah yang menyelamatkan umat Israel” itulah
penekanan ayat ini. Mazmur ini dikemukakan dalam konteks sesudah pembuangan
dimana umat Israel merenungkan penyelamatan dari Tuhan; mulai dari Mesir,
ketika Tuhan melalui perantaraan Musa menyelamatkan mereka dari orang Mesir,
ketika mereka dihancurkan oleh Babel dan dibuang. Mereka yang tetap selamat ini
merenungkan penyertaan Tuhan ini. Dalam ayat ini kata “selamat” yang digunakan
adalah hosyiah.. Kata ini juga muncul
dalam mazmur 20:10 yang menunjuk pada kemenangan raja. Hosyiah adalah kata yang menunjuk pada keselamatan dalam konteks
perang (pembebasan dari mesir) dan penyertaan Tuhan atas kehidupan Israel. Kata
ini juga dekat dengan kata Ibrani yasa.
Yasa menunjuk pada keselamatan, yaitu kemerdekaan dari larangan-larangan,
ikatan-ikatan, melepaskan, menyelamatkan dari kehancuran moral dan memberikan
kemenangan.[175]
Jadi, menurut penulis, persoalan yang penting dalam ayat ini
bukanlah tentang siapakah Malaikat Yahweh,
Malaikat dari Wajah-Nya ini; apakah menunjuk pada Malaikat Tuhan secara
khusus, atau penampakkan Tuhan dalam rupa malaikat. Yang penting bukan
malaikatnya tapi adalah pesannya. Boleh saja terjadi perbedaan pendapat dari
pada para penafsir. Tetapi yang penting di sini adalah Tuhan sendiri yang
menyelamatkan melalui “malakh atau
aggelos dari wajah-Nya”, karena dalam konteks ini, keselamatan menunjuk
pada peristiwa pembebasan Israel oleh Tuhan di tanah Mesir, penyertaan Tuhan
setelah pembuangan (yang direnungkan dalam bentuk mazmur ini). Jadi keselamatan
dalam konteks ayat ini sama dengan keselamatan yang dilakukan oleh Tuhan
melalui perantaraan Musa terhadap orang Israel di tanah Mesir. Sehingga
kesimpulan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa Malaikatlah yang menyelamatkan umat
dan Malaikat ini menunjuk pada Yesus Kristus tidak mendapatkan bukti yang kuat,
karena keselamatan yang dilakukan oleh Yesus Kristus memiliki ciri khas yang
khusus, yang hanya bisa dilakukan oleh Allah sendiri, yaitu menyelamatkan
manusia, dalam arti hidup yang kekal.
Frans Donald mengemukakan bahwa
Yesus adalah Almasih. Menurutnya ayat ini mengungkapkan dengan jelas bahwa Sang
Penghulu Malaikat alias Mikhael itu tak lain dan tak bukan adalah Almasih alias
Yesus Kristus. Kata-kata di ayat ini yang ditekankan oleh Frans Donald adalah Almasih, Penghulu itu…” yang dikutipnya dari LAI 1958.
Jadi kata kunci di sini adalah ad mesyiah (masyiah) nagid (negid).[177] Dr. S.M Siahaan (dan
kawan-kawan) mengemukakan bahwa kata bahasa Ibrani (nagid) yang diterjemahkan “raja” oleh LAI menunjuk pada
bermacam-macam pemimpin atau penguasa. Sebab itu tidak ada keberatan jika
ungkapan “seorang yang diurapi, seorang raja” dianggap menunjuk pada Yosua, dan
karena hati penyusun kitab Daniel lebih tertarik oleh hal keagamaan dari pada
hal politik, sehingga besar kemungkinan dialah yang dimaksud di sini.[178] John J. Collins juga
mengemukakan bahwa melalui perbandingan dengan Daniel 9:26 datangnya seorang
yang diurapi harus dikaitkan dengan Yosua, Imam agung pertama setelah
pembuangan (kemungkinan lain adalah Zerubabel gubernur).[179] Yosua bin Yosedek, adalah Imam Besar pada masa pemulihan tahun
537 sM. Pada zamannya dibangun kembali mezbah dan Bait Suci ditahbiskan. Tapi laju pemulihan itu dihalangi oleh
perlawanan. Tahun 520 sM hatinya diteguhkan oleh nubuat-nubuat Hagai dan
Zakharia, yang juga mencakup pembenaran oleh kasih karunia Allah yang nyata.
Dalam nubuat Yosua disebut “Tunas” (tsemakh,
Zakharia 6:12).[180]
Sedangkan Lynne Newell
mengemukakan bahwa “Seorang yang diurapi” dalam ayat ini menunjuk pada Yesus
Kristus. Di Israel orang yang diurapi ialah seorang raja atau seorang imam.
Tuhan Yesus memenuhi syarat itu. Ia adalah Raja dari keturunan Daud (Luk
1:32-3), dan “Imam Besar menurut peraturan Melkisedek” (Ibr 7:11, 17). Lagi
pula, istilah “seorang yang diurapi” adalah mesyiah,
meskipun kata itu tidak berarti “Mesias”, namun kemudian hari kata itulah yang
menjadi istilah “Mesias” yang dipakai untuk Dia yang dinantikan itu. Dan Mesias
itu adalah Kristus.[181]
Dari uraian di atas ternyata para
penafsir ada yang sama dan ada yang tidak menafsirkan masyiah nagid ini. Ada yang menafsir itu menunjuk pada Yosua Imam
Besar Agung, ada juga yang mengatakan
kemungkinan bisa menunjuk pada Zerubabel, dan ada juga yang menunjuk pada Yesus
Kristus. Sedangkan menurut penulis, mengenai kata mesyiah (Almasih) ini untuk sekarang penulis masih setuju dengan
para penafsir, yaitu kemungkinan saja kata ini bisa menunjuk pada Yosua Imam
besar dan juga pada Yesus Kristus. Tapi kata yang mengikuti kata ini dalam
bahasa Ibrani yang disebut nagid menurut
penulis bukan diterjemahkan dengan kata penghulu (dihubungkan dengan penghulu
malaikat). Karena kata ini berarti “Seorang pemimpin besar”; yang mana kata ini
bisa diterjemahkan dengan kata “Pangeran, Raja, atau Pemimpin berkududukan
tinggi”.
Kenapa kata ini tidak cocok diterjemahkan
dengan kata penghulu (penghulu malaikat)? Karena kata yang diterjemahkan dengan
kata “penghulu” ini dalam dalam bahasa Ibrani adalah hashar. Contohnya dalam Daniel 12:1: “Mikhael, pemimpin besar itu”;
kata pemimpin besar diterjemahkan dari kata hashar.
Dan dalam Daniel 10:13: “Mikhael…salah seorang dari pemimpin-pemimin
terkemuka”; kata “pemimpin-pemimpin terkemuka” ini diterjemahkan dari kata hasharim akar katanya hashar yang berarti “para penghulu, para
penguasa, para raja”, dalam bahasa Inggris diterjemahkan “the ruler”.
Jadi, berdasarkan uraian tafsir
yang ada, Daniel 9:25 tidak menunjuk pada Yesus Kristus sebagai Almasih yang
menunjuk bahwa Ia adalah Penghulu Malaiakat alias
Mikhael.
Frans Donald mengemukakan bahwa
Yesus Kristus adalah Malaikat dan bukan malaikat sembarangan karena Dia adalah
Malaiakat perjanjian. Pernyataan ini didasarkan Frans Donald dalam ayat ini.
Jadi kata kuncinya adalah “Malaikat Perjanjian”.
R M. Paterson mengemukakan bahwa
Malaikat Perjanjian ini adalah ungkapan yang tidak terdapat di tempat lain, dan
tidak mungkin mengetahui artinya secara pasti. Mungkin Maleakhi menunjuk kepada
utusan di atas langit. Tidak jelas, tetapi rupa-rupanya ayat 2 sampai 4
menunjuk kepada tugas utusan itu dan ayat 5 kepada tugas Tuhan.[183]
Ada juga yang mengemukakan dalam ayat
ini Kristus disebut sebagai "Malaikat Perjanjian", namun ungkapan ini
lebih tepat diterjemahkan sebagai "Utusan
Perjanjian". Dan istilah "perjanjian" adalah sinonim dengan Injil,
jadi Kristus adalah Utusan Injil. Ia adalah fokus utama dari Injil.[184]
Perjanjian". Dan istilah "perjanjian" adalah sinonim dengan Injil,
jadi Kristus adalah Utusan Injil. Ia adalah fokus utama dari Injil.[184]
Kemudian
ada yang mengemukakan bahwa Alkitab LAI Terjemahan Resmi sebenarnya
sudah menjelaskan secara tidak langsung bahwa oknum yang dimaksud dalam kata
”Malaikat TUHAN” atau ”Malaikat Allah” atau ”Malaikat Perjanjian” (Maleakhi
3:1) menunjuk kepada Pribadi Yesus Kristus yang menampakkan diri waktu
Perjanjian Lama (PL), yaitu dengan memberi kata ”Dia” (Hak 13:16 - ”Dia itu
Malaikat TUHAN”).[185]
Jadi kesimpulannya yang dimaksud dengan
”Malaikat TUHAN” atau ”Malaikat Allah” atau ”Malaikat Perjanjian” (Maleakhi
3:2) dalam Perjanjian Lama – The or an angel of the LORD, the messenger
of the covenant adalah Tuhan Yesus atau Yesus
Kristus atau Allah Anak dalam bentuk Teofani
(Penampakan diri Allah dalam bentuk seorang malaikat).[186]
Dari uraian tafsiran di atas, maka
penulis setuju dengan tafsiran yang mengatakan bahwa malaikat perjanjian menunjuk pada Yesus Kristus tetapi dalam bentuk
Teofani. Karena dalam teks-teks PL
dikemukakan bahwa Allah sering kali menampakkan diri dalam rupa malaikat.
(Kejadian 16:7-11; Keluaran 23:20-22; Bilangan 22:22-35; Hak 2:1-4; 6:11-22;
13:3-21). Jadi, Maleakhi 3:1 tidak menunjukkan bahwa Malaikat Perjanjian ini
adalah Yesus Kristus dalam hal substansi bahwa Ia adalah Malaikat. Sehingga Ia
bukanlah Malaikat alias Mikhael.
2.
Tafsiran dalam PB
Frans Donald mengutip Yohanes 5:30, 5:24, 5:35, 5:37, 6:29, 6:38,
6:57, 7:16, 7:28, 7:33, 17:3 yang intinya menjelaskan bahwa Yesus adalah utusan
Allah. Frans Donald mengatakan bahwa ayat-ayat ini jelas mengemukakan bahwa
Yesus adalah utusan Allah, dan utusan Allah adalah Malaikat Allah karena dalam
bahasa Ibrani maupun bahasa Yunani kata Malakh
dan aggelos bisa diartikan utusan[187]. Tapi berdasarkan hasil
penafsiran penulis terhadap ayat-ayat Alkitab Perjanjian Baru yang mengemukakan
bahwa Yesus adalah utusan Allah, termasuk ayat-ayat yang dipakai oleh Frans
Donald, maka didapati bahwa utusan yang dimaksud di sini bukan menunjuk pada
Malaikat.
Dalam Mat 10:40; Luk 9:48;
Yoh 3:17, 5:30, 6:39, 5:36, 6:57, 8:16, 13:20, 17:3, 17:8, 17:21, 17:18. 20:21,
Yoh 20:21; dan I Yoh 4:9, 10, 14, yang mana semua ayat-ayat ini mengemukakan
bahwa Yesus itu utusan Allah. Utusan di sini bukanlah terjemahan dari kata
bahasa Yunani aggelos, tapi kata
utusan dalam ayat-ayat ini diterjemahkan dari kata bahasa Yunani apostelanta,
apesteilen, pemphantos, apestalken, pemphas, pempho, dan apesteilas. Kata-kata ini oleh KJV dan
NIV dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kata send, sent, sending, dalam bahasa Indonesia bisa juga diterjemahkan
dengan “yang dikirim”. Jadi Yesus Kristus itu “dikirim” Allah, sehingga
ayat-ayat ini memang tidak menunjuk pada Yesus adalah Malaikat.
v I Tesalonika 4:16
Frans Donald menggunakan ayat ini untuk mendasari pendapatnya
bahwa Yesus adalah malaikat Mikhael. Ia mengemukakan bahwa Alkitab jelas menyebut
Mikhael sebagai Penghulu Malaikat. Sementara, kedatangan Yesus di akhir zaman,
terkait pula dengan kedudukan Penghulu Malaikat. Dalam ayat ini ia menyamakan
Penghulu Malaikat dengan Yesus Kristus. Jadi kata kunci di sini adalah
“Penghulu Malaiakat”.
Kata arcaggellou berasal dari kata aggelloV yang diterjemahkan dengan
Penghulu Malaikat[188]. Kata ini ditemukan dalam PB hanya dalam I
Tesalonika 4:16 dan Yudas 9 (Mikhael). Konsep ini juga ditemukan dalam Wahyu
8:2 (ketujuh malaikat); Wahyu 8: 7 (malaikat pertama dari ketujuh malaikat), 8
(malaikat yang kedua dari ketujuh malaikat), 10 (malaikat yang ketiga dari
ketujuh malaikat), 12 (malaikat yang keempat dari ketujuh malaikat); Wahyu 9:1
(malaikat yang ke lima dari ketujuh malaikat), 13 (malaikat yang ke enam dari
ketujuh malaikat); 11:15 (malaikat ke tujuh dari ketujuh malaikat). Nama yang diberikan
pada aggelloV, hanyalah Gabriel (Lukas 1:19) dan Mikhael (Yudas 9; Why 12:7).[189]
Jadi penghulu malaikat, malaikat
agung atau malaikat terpenting ini juga menunjuk pada lebih dari satu malaikat,
yaitu ketujuh malaikat dalam kitab Wahyu, malaikat Mikhael atau malaikat
Gabriel. Dan khusus ayat ini tidak disebukan nama dari malaikat ini. Kemudian
dari keterangan-keterangan ini tidak ada yang menunjuk pada Yesus Kristus,
termasuk dalam ayat ini. Sebab dalam ayat 16 ini mengkisahkan beberapa tokoh yang
berbeda dengan sifat atau tugasnya yang berbeda, yaitu “penghulu malaikat untuk
berseru”, “Tuhan yang turun dari sorga,” dan “mereka yang mati dalam Kristus
akan bangkit.”.
Ayat ini dalam hubungannya dengan
ayat 4:13-18 adalah suatu kesatuan tentang datangnya kembali Tuhan. Kedatangan
kembali Tuhan ini disertai dengan adanya kebangkitan tubuh (ay 13). Orang-orang
yang meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama Yesus (ay 14). Mereka
yang hidup tidak akan mendahului yang mati (ay 15). Ini terjadi dengan gambaran
tanda diberi dan penghulu malaikat berseru, kemudian sangkakala Allah akan
berbunyi, dan Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam
Kristus akan dibangkitkan dahulu dari pada mereka yang masih hidup (ay 16)
karena mereka yang masih hidup akan diangkat bersama-sama dan selama-lamanya
bersama Tuhan (ay 17).
Penulis I Tesalonika menuliskan
surat ini karena jemaat Tesalonika pada waktu itu ada yang tidak memiliki
pengharapan tentang orang yang meninggal khususnya orang yang mereka kasihi.
Mereka berdukacita dan kehilangan pengharapan (4:13-14). Hal ini memang sesuai
dengan kepercayaan Yunani yang tidak mengakui adanya kebangkitan tubuh. Tapi
penulis surat I Tesalonika mau mengingatkan bahwa dalam Yesus Kristus ada
kebangkitan, “termasuk kebangkitan tubuh”. Orang yang meninggal dalam Kristus
tidak akan mati selamanya tapi akan dikumpulkan Allah. Sehingga kabar sukacita
inilah yang disampaikan penulis kepada jemaat agar mereka bisa memperoleh
pengharapan kembali dan tidak larut dalam dukacita.
Jadi berdasarkan uraian tafsir
yang ada, dapat disimpulkan bahwa dalam ayat ini Yesus Kristus (yang akan turun
dari sorga) dan Penghulu Malaiakat (yang berseru) bukanlah Oknum yang sama,
sehingga Yesus bukanlah Penghulu Malaikat.
v Ibrani 1:3-5, 9
Ayat ini juga (terjemahan lama LAI
1958) yang menjadi landasan Frans Donald yang mengemukakan bahwa Yesus termasuk
kawanan para malaikat itu. Ia adalah juga berwujud malaikat. Hanya saja ia
ditinggikan melebihi teman-teman sekutunya itu. Kalimat kuncinya adalah “karena kepada siapakah di antara
malaikat-malaikat itu” dan (ayat 5) dan “teman-teman
sekutu-Mu” (ayat 9).
Dari uraian yang ada[190], maka dapat dilihat
bahwa terjemahan LAI TB lebih tepat menerjemahkan ayat 5 ini dari pada
terjemahan LAI tahun 1958/1970. Karena hanya ada satu kata (dan kata sandang)
dan hanya satu kali yang menunjuk pada malaikat, yaitu tvn aggelwn
(dari malaikat-malaikat itu) dan bukannya malaekat
manakah dari antara malaekat (ini sudah bersifat tafsiran penerjemah).
Ibrani 1:5 adalah bentuk
sastra puisi.[191]
Ayat 5 ini memiliki kesamaan pola pikir/ide pokok dengan pararellisme
antitesis.[192]
Yaitu menjelaskan suatu ide pokok tertentu dengan cara yang berlawanan atau
sebaliknya. Dalam hal ini, ide Yesus adalah Anak Allah dan semua malaikat harus
menyembah-Nya (ay. 6) disampaikan secara beralawanan, yaitu Allah berkata
kepada para malaikat: “Siapakah diantara para malaikat yang diantaranya Allah
bertanya bahwa Ia adalah Anak-Nya yang telah diperanakan-Nya?” Jawabannya tidak
ada yang dari malaikat. Karena pokok ucapan-Nya ini menunjuk kepada Yesus
Kristus (2: 9, 10). Hanya Yesus Kristus, Anak Allah dan semua malaikat harus
menyembah-Nya.
Dalam hubungannya dengan ini,
William Barclay mengemukakan bahwa “dalam Ibrani 1:5-14, penulis surat Ibrani
berusaha untuk membuktikan keunggulan Yesus dibandingkan dengan semua nabi.
Kini ia ingin membuktikan keunggulan Yesus itu di atas para malaikat. Bahwa
penulis menganggap perlu melakukan hal ini untuk membuktikan bahwa Yesus lebih
tingi dari Malaikat. Dalam alam pikiran Yahudi waktu itu sudah ada kepercayaan
terhadap para malaikat. Pada waktu itu kepercayaan kepada malaikat itu semakit
kuat, manusia makin lama makin kagum terhadap keutamaan Allah. Manusia makin
menyadari jarak dan perbedaan yang ada di antara manusia dan Allah. Akibatnya
manusia lalu menganggap malaikat menjadi perantara mereka dengan Allah. Mereka
percaya bahwa malaikatlah yang menjembatani jurang antara manusia dan Allah,
bahwa Allah bersabda dengan perantaraan malaikat, dan bahwa malaikat
menyampaikan doa manusia kepada Allah. Proses ini dapat dilihat dalam satu
contoh berikut: dalam PL hukum Allah diberikan langsung kepada Musa, tanpa ada
perantara. Tetapi pada zaman PB orang Yahudi berkayakinan bahwa Allah
memberikan hukum-Nya lebih dahulu kepada malaikat; dan para malaikat itulah
yang kemudian menerusakannya kepada Musa, karena hubungan langsung antara Allah
dan manusia dianggap tidak mungkin terjadi (Kis 7:53; Gal 3:19). Dalam Yesaya
6:1; I Raja-raja 22:19 ditemukan bahwa Allah dikelilingi oleh bala tentara
sorga, yaitu para malaikat. Kadang-kadang para malaikat itu dianggap sebagai
bala tentara Allah (Yos 5:14).[193]
Kata bahasa Yunani untuk malaikat ialah aggeloi dan kata bahasa Ibraninya ialah mal’akim. Dalam kedua bahasa itu kata-kata tersebut mempunya arti pembawa berita dan juga malaiakat. Kenyataannya arti pembawa berita lebih lazim. Para
malaikat adalah benar-benar makhluk yang menjadi sarana pembawa sabda Allah
serta pelaksana kehendak Allah dalam dunia manusia. Menurut kata orang mereka
dijadikan (diciptakan) dari unsur sorgawi yang berapi, laksana terang yang
cemerlang. Mereka diciptakan pada hari kedua, atau kelima, ketika Allah
menciptakan langit, bumi dan isinya. Mereka tidak makan atau minum, dan juga
tidak beranak. Kadang-kadang mereka dianggap tidak dapat mati, meskipun Allah
dapat saja memusnahkan mereka. Tetapi seperti yang dapat dilihat, bahwa ada
kepercayaan lain tentang keberatan mereka itu. Sebagian dari mereka, yaitu
serafim, kerubim dan ofanim (-im
adalah akhiran bentuk jamak untuk kata benda bahasa Ibrani) senantiasa berada
di sekililing takhta Allah. Mereka lebih berpengetahuan ketimbang manusia,
terutama tentang kejadian-kejadian di masa datang. Tetapi pengetahuan itu tidak
mereka peroleh dengan cara yang wajar, melainkan “melalui apa yang mereka
dengar di belakang tabir.” Mereka dipandang sebagai semacam pengiring Allah.[194]
Mereka digambarkan sebagai dewan
pembantu Allah; Allah tidak akan berbuat sesuatu tanpa bermusyawarah dengan
mereka lebih dahulu. Misalnya, waktu Allah berfirman: “Baiklah Kita menjadikan
manusia” (Kej 1:26), maka di sini Allah berfirman kepada dewan malaikat
itu. Acap kali para malaikat itu
berdiskusi dengan Allah dan menyampaikan keberatan mereka terhadap
rencana-rencana-Nya. Mereka terutama berkeberatan terhadap penciptaan manusia;
dan pada saat itu segerombolan mereka sempat dismusnahkan oleh Allah. Mereka
juga menaruh keberatan terhadap pemberian hukum Tuhan, dan menyerang Musa
ketika Musa berjalan naik ke gunung Sinai. Mereka melakukan semua itu karena
mereka iri hati, dan tidak menghendaki adanya makhluk lain yang turut ambil
bagian dalam tempat serta hak-hak luar bisa mereka.[195]
Ada berjuta-juta malaikat. Baru
kemudian mereka diberi nama oleh bangsa Yahudi. Dan antara mereka itu ada tujuh
malaikat yang senantiasa siaga di hadirat Allah, yaitu para malaikat utama.
Dari antara yang utama itu yan terpenting adalah Raphael, Uriel, Phanuel,
Gabriel yang menyampaikan berita dari Allah kepada manusia, dan Mikhael, yang
menentukan nasib umat manusia. Para malaikat itu mempunyai kewajiban banyak.
Mereka menyampaikan berita dari Allah kepada manusia. Dalam melakukan tugas itu
mereka menyampaikan berita, lalu gaiblah (Hak 13:20). Mereka campur tangan
dalam berbagai peristiwa sejarah atas nama Allah (II Raj 19:35, 36). Ada dua
ratus malaikat yang mengawasi geraknya bintang-bintang dan mengatur arahnya.
Ada malaikat yang mengawasi pergantian tahun ke tahun, bulan ke bulan dan hari
ke hari tanpa kesudahan. Ada malaikat yang berperan sebagai seorang pangeran
yang menguasai atau merajai lautan. Ada malaikat-malaikat yang berkuasa atas
es, hujan, salju, hujan es, guntur, dan kilat. Ada malaikat-malaikat yang
menjaga mereka dan menyiksa mereka yang kena laknat. Ada malaikat-malaikat yang
menjadi pelopor, yang mencatat setiap patah kata yang diucapkan manusia. Ada
malaikat-malaikat yang merusak, dan malaikat-malaikat pelaksana hukuman. Ada
setan, yaitu malaikat penuntut yang setiap hari terus menerus menuntut manusia
di hadapan Allah, kecuali pada Hari Penebusan. Ada malaikat’ul maut yang hanya
pergi melakukan tugas kalau disuruh Allah, dan yang tanpa memandang bulu memanggil
orang yang baik maupun yang jahat untuk menghadap Allah. Setiap bangsa
mempunyai malaikat yang menjadi pengawalnya, yang mempuyai prostasia, yaitu kuasa atas bangsa yang bersangkutan. Setiap orang
pribadi pun mempunyai malaikat pengawalnya. Bahkan anak-anak kecil pun
mempunyainya sebagai pengawal (Mat 18:10). Begitu banyaknya jumlah malaikat itu
sehingga para rabbi dapat berkata: “Setiap daun rumput pun punya malaikat.”[196]
Ada suatu kepercayaan khusus yang
hanya dianut oleh beberapa orang. Kalau kepercayaan umum mengatakan, bahwa
malaikat itu tidak dapat mati, maka ada orang-orang percaya bahwa malaikat itu
hanya hidup satu hari saja. Ada kepercayaan dalam mazhab rabinis yang
mengatakan, bahwa “Setiap hari Allah menciptakan sekelompok malaikat baru yang
mengucapkan pujian di hadirat-Nya, dan setelah itu mereka lenyap.” “Setiap pagi
para malaikat itu diperbaharui, dan setelah memuji Allah mereka kembai ke
aliran api tempat asal mereka” Kitab 4 Esdras 8:21 menuturkan tentang Allah
“yang di hadirat-Nya tentara sorgawi berdiri gemetar dan yang oleh sabdaMu
mereka berubah menjadi angin dan api.” Dalam sebuah khotbah seorang rabbi
menceritakan adanya malaikat yang mengucapkan: “Allah mengubah kita setiap jam
. . . Kadang-kadang Ia menjadikan kita api, kadang-kadang angin..” Itulah juga
yang dimaksud penulis Surat Ibrani jika ia berkata-kata tentang Allah yang
mengubah para malaikat menjadi angin dan api.[197]
Dengan kepercayaan tentang alam
malaikat yang demikian itu (angelologi), maka menurut keyakinan manusia muncul bahaya yang sudah besar, yaitu bahwa para
malaikat itu akan mencampuri urusan antara Allah dan manusia. Makanya perlu
sekali diperhatikan bahwa Putra Allah jauh lebih besar ketimbang para malaikat,
dan bahwa orang yang mengenal Sang Putra tidak memerlukan malaikat sebagai
perantaranya. Penulis Surat Ibrani telah melakukan hal itu dengan memilih ayat-ayat yang baginya
merupakan suatu rangkaian ayat yang secara jelas membuktikan bahwa Sang Putra
telah diberi tempat yang lebih tinggi dari pada para malaikat. Ayat-ayat yang
disebutnya ialah Mazmur 2:7; II Sam 7:14; Mazmur 97:7 atau Ulangan 32:43;
Mazmur 104:4; 45:7, 8; 102-26, 27, dan 110:1. Bunyi ayat-ayat ini di dalam
surat Ibrani berbeda dari bunyi ayat-ayat yang diketahui, karena penulis Ibrani
mengambilnya dari Septuaginta, yaitu
kitab suci PL bahasa Yunani, yang tidak selalu sama dengan kitab suci PL dalam
bahasa Ibrani. Kitab suci PL bahasa Ibrani itulah yang menjadi sumber
terjemahan Alkitab bahasa Indonesia. Beberapa ayat yang ia pilih sebagai bukti
agak nampak aneh. Umpama saja, II Sam 7:14 yang aslinya hanya menunjuk kepada
Salomo dan tidak ada sangkut pautnya dengan Sang Putra atau Almasih. Mazmur
102:26, 27 merupakan petunjuk tentang Allah dan bukan tentang Sang Putra.
Tetapi nampaknya merupakan hal yang lazim kalau orang-orang Kristen kuno
menemukan ayat yang memuat kata “Putra” atau kata “Tuhan” mereka menganggap
punya wewenang untuk melepaskannya dari konteksnya lalu menerapkannya demikian
saja pada Yesus.[198]
Penulis surat Ibrani berusaha untuk
menghindari bahaya. Ajaran tentang alam malaikat memang kedengaran tidak,
tetapi mengandung suatu bahaya. Ajaran itu menampilkan sejumlah makhluk di luar
Yesus yang dijadikan perantara yang menghubungkan manusia dengan Allah. Pada
hal dalam iman Kristen sama sekali tidak ditunjukkan adanya perantara semacam
itu. Karena Yesus dan pengorbanan-Nya telah secara pasti membuat manusia dapat
langsung berhubung dan datang kepada Allah. Penulis surat Ibrani telah
memaparkan kebenaran yang besar, yaitu bahwa manusia tidak memerlukan seseorang
atau makhluk gaib untuk menjadi perantara yang membawa manusia datang pada
Allah. Yesus Kristus telah mendobrak setiap perintang dan membukan jalan
manusia untuk langsung menuju Allah.[199]
Frans Donald juga mengemukakan
bahwa dalam Ibrani 1:9 teman-teman sekutu Yesus sebelum turun ke dunia adalah
para makhluk sorgawi alias malaikat. Hal itu cukup menjelaskan bahwa tentulah
Yesus termasuk dalam bagian kawanan malaikat itu. Yesus juga berwujud malaikat.
Hanya saja Ia ditinggikan melebihi teman-teman sekutunya.
Ibrani 1:8-9 ini dikutip dari Mazmur 45:7-8. Metochous dalam Mazmur 45:6-7 sebenarnya
menunjukkan raja yang lain. Ketika Salomo memerintah menurut hikmat yang Allah
berikan dengan keadilan dan kelurusan, seluruh rakyat menyukai Salomo lebih
dari pada raja yang lain (bnd: I Raj 3:16-28). Tetapi dalam isi surat Ibrani
pasal pertama, yang dibandingkan adalah Kristus dan malaikat. Dalam bukunya Tafsiran Surat Ibrani, Moffat
menganggap metochous adalah malaikat. Tetapi dalam Tafsiran Surat Ibrani-nya John Calvin, menganggap metochous adalah saudara-saudara yang
kudus yang mendapat bagian dalam panggilan surgawi. Dalam ajaran tanya jawab
yang ditulis John Calvin, ia berkata: “Karena Iman aku menjadi anggota tubuh
Kristus dan membagikan pengurapan-Nya. Aku diurapi untuk nama-Nya yang kudus,
mempersembahkan diri kepada-Nya dan menjadi korban hidup dengan ucapan syukur.
Dengan alam pikiran yang bebas, seumur hidup aku melawan dosa dan penjahat.
Dengan demikian, aku berkuasa bersama dengan Kristus serta menguasai segala
ciptaan sampai selama-lamanya”.[200]
Peter Wongso mengemukakan
bahwa: “ayat 8 dan 9 ini dikutip dari
Mzm 45:6-7. Mazmur tersebut adalah puji-pujian dalam pernikahan raja, garis
besarnya adalah pendahuluan (ay 1), keunggulan dan anugerah raja (ay 2-4), raja
menang dalam peperangan (ay 5), prinsip pemerintahan negara: adil dan lurus (ay
6-7), kesukaan raja bersama denan anak-anak istananya (ay 8-9), mengenai ratu,
putri dan dayang (ay 10-15) dan kesimpulan (16-17).[201]
Siapakah yang dipuji dalam Mazmur
ini? John Calvin, reformator abad ke 16 menganggap hal ini melukiskan upacara
pernikahan raja Salomo. Dalam terjemahan Yerusalem, bahasa Inggris Roma Katolik
pada tahun 1966 tertulis: “Ini merupakan
syair pujian dalam upacara pernikahan raja Salomo, Yerobeam kedua dan raja
Ahab”. Pada umumnya ahli-ahli
agama Yahudi menganggap bagian ini merupakan pujian dalam upacara pernikahan.
Kaum Injili menganggap bahwa mazmur ini adalah mazmur nubuatan mengenai upacara
pernikahan Mesias sebagai Raja. Pada tahun 1946 Alkitab Terjemahan Baru bahasa
Inggris yang diterbitkan oleh gereja Skotlandia, selain menyinggung keilahian
Anak Allah, juga menerjemahkan demikian: “Takhtamu akan bagaikan takhta Allah
sampai selamanya.” Jikalau diperhatikan bahwa konteks ayat-ayat ini adalah
untuk menerangkan keilahian Kristus: “Tentang
Anak, Ia berkata, takhtamu kepunyaan Allah, tetapi untuk seterusnya dan
selamanya.” Dengan jelas di sini disebutkan bahwa “Anak” adalah “Allah”.
selanjutnya: “Takhta-Nya tetap untuk
seterusnya dan selamanya.” Hal ini menyatakan bahwa Anak Kudus adalah
Allah, memiliki sifat keilahian dan takha-Nya akan sampai selamat-lamanya.[202]
Jadi,
Ibrani 1:3-5, 9 (dalam kesatuan dengan Ibrani 1:1-14) merupakan kesaksian
penulis Ibrani bahwa Yesus itu adalah Anak Allah, Ia adalah Allah, Ia lebih
tinggi dari para malaikat, dan oleh karena itu Ia harus disembah oleh Malaikat,
karena Ia bukanlah Malaikat.
Frans Donald mengemukakan bahwa
Mikhael-lah yang berperang dan mengalahkan Iblis, Satan, Naga besar alias si
ular tua itu. Sedang dari Kitab Ibrani 2:14 didapati keterangan bahwa Yesuslah
yang mengalahkan dan memusnahkan Iblis. Jadi, kesimpulannya Yesus mengalahkan
Iblis, Mikhael mengalahkan Iblis. Jadi Yesus adalah Mikhael.
Wahyu 12:7-9 merupakan suatu kesatuan dengan
Wahyu :12:1-18. Dalam penglihatan perempuan dan naga, maka dapat dilihat bahwa
setelah naga tidak berhasil menelan Anak laki-laki yang akan menggembalakan
semua bangsa dengan gada besi; dimana Anak ini dibawah lari kepada Allah dan
tahta-Nya. Identitas Anak laki-laki (uίon/uίoV) menunjuk kepada Yesus Kristus. Dia akan memerintah semua bangsa
dengan tongkat besi, dan barang siapa yang memang akan diberi hak untuk ikut
dalam pemerintahan-Nya. Ini adalah suatu kutipan mazmur 2:9, mazmur Mesianis.
Setelah cerita ini, maka dalam penglihatan ini memperlihatkan adanya suatu
peperangan antara Mikhael dengan malaikat-malaikatnya dan iblis dengan
malaikat-malaikatnya.
Gagasan tentang iblis, musuh
bebuyutan Allah, berasal dari agama Persia kuno. Di sini Angra Mainya, Roh yang
marah, hampir merupakan lawan yang setara dari Ahura Mazda, Tuhan yang
bijaksana. Gagasan ini diambil alih oleh bangsa Yahudi dalam rupa Satan,
kekuatan utama dari kejatahatan dan dosa. Dalam Iman Israel kuasa jahat itu
negatif, perusak pekerjaan Allah, tetapi tidak pernah menjadi lawan yang setara
dengan Allah.
Dalam kitab Ayub, satan bertindak
sebagai pendakwa di hadapan Allah. Kata satan berarti “pendakwa”. Kata
Yunaninya diabolos (pemfitnah), dari
situ diturunkan kata “devil” dan
“iblis”, yang berarti “penipu”. Peranan iblis di sini sebagai pendakwa atau
penuduh yang menuduh orang-orang percaya kepada Allah. Tujuannya agar iblis
dapat mengalahkan manusia atau menjatuhkan mereka. (bnd: Ayb 1:6-12; 2:1-6; 21,
3:1).
Wahyu 12:9 sejajar dengan konteks
pelemparan iblis dari surga, yang tentangnya dibicarakan di sini, dengan
penglihatan yang mendahului, yakni kenaikan Kristus ke surga. Justru karena
Kristus telah mencapai kemenangan besar dalam penderitaa-Nya, kebangkitan-Nya
dan kenaikan-Nya ke surga, maka malaikat-malaikat dapat menghalaukan iblis dari
surga. Apa yang tertulis dalam ayat 7 dan 8 ini adalah betul-betul sama dengan
apa yang Yesus katakan dalam Lukas 10:18: “Aku melihat iblis jatuh seperti
kilat dan langit” yang berarti bahwa oleh pekerjaan Yesus, iblis menderita
kekalahan dan kehilangan kuasanya, yaitu mendakwa.[204]
Dari hal ini, dapat dilihat bahwa
Yesus Kristus yang dilukiskan dalam Wahyu 12:1-18 sebagai Anak laki-laki (ay 4)
mengalahkan Iblis lewat kematian, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga.
Kekalahan iblis di sini, yaitu ia kehilangan kuasanya untuk mendakwa manusia.
Dan mereka yang memberikan nyawanya pada Kristuspun ikut mengalahkan iblis,
yaitu tidak jatuh dalam dakwaan iblis (ay 11). Dalam penglihatan ini Mikhael
malaikatnya berperang dengan iblis dan malaikatnya. Dalam peperangan ini iblis
dilemparkan ke dunia dari sorga, dan bukannya dikalahkan oleh Mikhael[205], karena malaikat Mikhael
sendiri dalam perselisihan dengan iblis tentang mayat Musa tidak berani
menghakimi iblis, dan mengatakan kiranya Tuhan yang menghardik iblis (Yudas 9).
Dan Tuhan dalam konteks surat Yudas di sini ialah Yesus Kristus (Yudas 4).
Berdasarkan uraian tafsir ini,
maka dapat dilihat bahwa Mikhael yang berperang dalam Wahyu 12:7-9 tidak
menunjuk pada Yesus Kristus yang memusnahkan Iblis dalam Ibrani 2:14. Jadi,
Wahyu 12:7-9 tidak menyimpulkan bahwa Mikhael adalah Yesus Kristus.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan
dalam Bab II ini, yaitu dalam penjelasan “Yesus Historis”, bahwa Yesus Kristus
benar-benar pernah hadir dalam sejarah manusia secara real. Ia ikut merasakan apa yang dialami oleh manusia, tapi Ia
bukanlah manusia biasa, karena Ia adalah Allah. Dalam refleksi Kristologis Abad
Mula-mula sampai Konsiili Chalcedon terjadi berbagai pergumulan dan tantangan
yang ada. Ada yang pendapatnya diakui dan ada yang tidak. Hal ini disertai
dengan pengutukan-pengutukan, pengucilan-pengucilan bahkan penganiyaan terhadap
siapa yang tidak mematuhi keputusan yang ada. Dari serangkaian pergumulan yang
ada tentang Yesus Kristus, pada akhirnya meneguhkan bahwa Yesus Kristus adalah
Allah, yaitu sehakikat (homo ousias) dengan
Allah walupun berbeda Diri, Pribadi (hypostasis,
prosopon). Pada Yesus Kristus itu terdapat dua kodrat/tabiat (physe), yaitu yang Ilahi dan Insani.
Konsep Yesus Kristus adalah Malaikat Mikhael sudah ada dari dulu, yaitu dalam
pikiran Apokaliptik melalui karya Hermas, yaitu “Pastor”. Tapi pemahaman ini
tidak mendapatkan dukungan yang kuat. Hal ini bukan menjadi perdebatan
Kristologi pada masa ini (masa Bapa-bapa Gereja sampai Konsili Chalcedon).
Pemahaman (Yesus adalah Malaikat, karena itu Ia adalah
ciptaaan) memiliki kemiripan dengan pemahaman yang mengatakan bahwa Yesus
bersifat Ilahi tapi Ia adalah ciptaan sehingga Allah lebih tinggi dari pada
Yesus. Pemahaman ini (Allah lebih tinggi dari Yesus Kristus) berasal dari
Yustinus Martir, Tertullianus, dan Origenes. Sedangkan Arius mengemukakan bahwa
Yesus hanyalah ciptaan dan Dia bukanlah Allah (seperti Frans Donald yang
menyimpulkan bahwa Yesus bukanlah Allah). Tetapi pemahaman ini ditentang oleh
Aleksander, Athanasius dan mendapatkan rumusan yang baku bahwa Yesus itu adalah
Allah, sehakikat dengan Allah walaupun berbeda Pribadi atau Diri dalam konsili
Nicea dan Kontantinopel. Yesus Kristus memiliki kodrat atau tabiat Ilahi dan
insani seperti dalam konsili Efesus dan Chalcedon.
Dalam refleksi Yesus Kristus di Indonesia, seperti yang
dikemukakan oleh PGI dalam DKG, bahwa Yesus Kristus adalah Allah Anak, Tuhan
dan Juruselamat semua bangsa. Ia adalah Pendamai, Pelaku keadilan dan
kebenaran, Ia mengaruniakan kesejahteraan terhadap segala bangsa. Ia menjadi
Pengesa dari suatu keesaan yang majemuk yang merangkum semua manusia dengan
segala kebudayaannya.
Dari berbagai uraian tafsir yang ada, dapat disimpulkan
bahwa dalam Yesaya 63:9; Daniel 9:25;
Maleakhi 3:1; I Tesalonika 4:16; Ibrani 1:3-5, 9; Wahyu 12:7 dan teks-teks yang
lain (Bab II) tidak ada ayat manapun yang menunjukkan bahwa Yesus adalah
Malaikat Mikhael alias Penghulu
Malaikat.
BAB
III
ANALISIS
DAN REFLEKSI
Seperti
yang dikemukakan dalam Bab I, bahwa Frans Donald menjadi sosok kontroversi
sekarang ini karena mengemukakan bahwa Yesus adalah Malaikat Mikhael. Hal ini
diresponi dengan pro dan kontra. Yang kontra memberikan pandangan yang negatif
terhadap Frans Donald, menghinanya, mengatakan ia adalah pembawa ajaran sesat,
dsb. Yang mengkritik ini yakin bahwa ia yang paling benar. Sebaliknya Frans
Donald pun menanggapi akan hal ini dan yakin juga bahwa pendapatnya yang paling
benar dan sesuai Alkitab. Hal ini bisa dilihat dalam situs-situs internet yang
ada, seperti yang dipaparkan di Bab I. Bahkan ada debat-debat terbuka yang
dilaksanakan untuk menanggapi hal ini. Dari debat tersebut muncul sikap saling mempersalahkan,
dan saling menyatakan diri paling benar. Perbedaan di antara mereka membuat mereka saling menuduh yang satu dengan
yang lain adalah ajaran sesat. Tapi apakah cara ini relevan
dengan konteks sekarang di Indonesia,
yaitu konteks pluralitas?
Sebelum
lanjut akan hal ini, perlu dikemukakan bahwa kontroversi tentang keilahian
Kristus sekarang belum apa-apa dibandingkan dengan kontroversi pada zaman
Bapa-bapa Gereja sampai konsili Chalcedon. Seperti yang dipaparkan dalam Bab
II, kontroversi ini bukan hanya diwarnai dengan saling membenarkan dan menyalahkan,
mengatakan yang berbeda pendapat adalah ajaran sesat. Zaman ini juga diwarnai
dengan hal-hal yang lebih ekstrim lagi, yaitu adanya pengucilan, penganiyaan,
terhadap orang-orang yang ajarannya tidak sesuai dengan keputusan-keputusan konsili. Bahkan
ini bukan hanya menjadi masalah Gereja, tapi juga menjadi masalah Negara,
sehingga melibatkan Kaisar.
Ironis
memang, ketika Kekristenan yang pada awalnya mengalami masa penghambatan karena
mengakui Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, tetapi hidup dalam dalam cinta kasih. Pada waktu itu banyak yang mati
sebagai martir. Dalam penghambatan
iman sesungguhnya bertumbuh,
sehingga muncul istilah “semakin dibabat semakin merambat”. Setelah perjuangan tersebut membuahkan hasil, yaitu diakuinya
agama Kristen sebagai agama negara, muncul persoalan Kristologis yang diresponi
dengan perdebatan yang mengakibatkan pengucilan,
pengutukan, penganiyaan, dsb. Apakah ini mencerminkan sikap kekristenan? Ironis
memang seseorang atau kelompok menyatakan bahwa ia memiliki ajaran Kristen yang
benar (yang menekankan kasih), tapi di sisi
lain ia tidak
menghargai pendapat yang berbeda dengannya, malah melakukan pengucilan, bahkan
penganiyaan.
Oleh
karena itu penulis tidak setuju dengan pola perdebatan yang menjurus pada
hal-hal yang saling menghina dan saling menyalahkan terhadap perdebatan apakah
Yesus itu Allah atau Malaikat Mikhael, seperti yang terlihat dalam kontroversi
Frans Donald saat ini. Disadari memang ini memberikan dampak negatif terhadap iman kristen, karena yang menjadi pokok
perdebatan di sini adalah
dasar kekristenan itu sendiri. Tetapi
menurut penulis hal ini adalah kesempatan untuk membuat analisa kritis terhadap
pandangannya.
Dalam
hubungannya dengan ini, konsep Frans Donald yang mengemukakan bahwa Yesus itu
adalah Malaikat Mikhael bukanlah sesuatu hal yang baru. Sebelumnya Saksi Yehova
dan komunitas Kristen Tauhid pun beranggapan hal yang sama, bahkan sejak awal
kekristenan pemahaman ini sudah ada. Hal ini bisa dilihat dalam refleksi orang
Kristen Yahudi, yaitu karangan Hermas, seorang Pastor Yahudi (Bab II). Waktu
itu karangan Hermas ini dipengaruhi oleh pemikiran apokaliptik dan dianggap
memiliki kewibawaan sebagai kitab suci.
Frans
Donald sering mengungkapkan bahwa pendapatnya ini sesuai dengan ajaran Alkitab.
Kalau begitu pertanyaan yang muncul dengan hal ini adalah: apakah pemahaman
Yesus adalah Malaikat Mikhael sesuai dengan ajaran Alkitab? Jika ya, mengapa
karangan Hermas di atas tidak masuk dalam kanon Alkitab PB? Bukankah kalau
sampai karangan Hermas ini dimasukkan dalam kanon PB, akan sangat jelas
kelihatan bahwa Yesus itu adalah Malaikat Mikhael. Berdasarkan catatan sejarah yang
ada hal itu tidak terjadi. Ini berarti karangan Hermas tidak dapat dimasukkan
dalam kanon, karena tidak sesuai dengan ukuran kanon pada waktu itu. Kanon
Alkitab disusun salah satunya sebagai alat perlawanan terhadap bahaya gnostik
pada waktu itu, disamping adanya Pengakuan Iman dan Uskup yang melawan gnostik.
Penetapan kanon Alkitab PB beriringan
dengan terjadinya perdebatan Kristologis, yaitu menyangkut keilahian dan
kemanusiaan Yesus Kristus, maupun relasi antara Yang Ilahi dan insani pada
Kristus.
Menurut penulis dari segi ini, Alkitab dijadikan dasar untuk menghadapi doktrin-doktrin Kristologi
yang berbeda dengan pengakuan Iman Gereja pada waktu itu (Nicea-Chalcedon). Andaikata Alkitab
tidak dapat dijadikan dasar yang kuat dari dogma Kristologi (pengakuan iman
Nicea-Chalcedon), maka tidak mungkin Alkitab diterima sebagai Kanon orang
Kristen pada waktu itu yang diumumkan secara resmi oleh Gereja.
Walaupun disadari ada juga pihak-pihak yang mendasari
Alkitab untuk mengemukakan bahwa Yesus itu bukanlah Allah. Tapi kalau dilihat
dari sisi historis kanon Alkitab PB itu diakui, maka dapat dilihat bahwa dalam Alkitab PB
itu terdapat kesaksian bahwa Yesus itu adalah Allah.
Dalam PB terdapat suatu pengakuan
iman jemaat tentang Yesus Kristus, yaitu “kyrios
Yesus Christos” (Roma 10:9, II Kor 11:13, Gal 6:18, dan masih banyak lagi
terdapat dalam teks-teks PB); artinya Tuhan Yesus Kristus atau Yesus Kristus
adalah Tuhan. Yesus Kristus adalah kyrios.[206] Dalam PB kesaksian tentang Yesus Kristus adalah Allah sudah ada. Tapi
perlu disadari bahwa “Alkitab tidak secara tuntas mengatasi perdebatan
Kristologis ini”. Karena ada pihak yang menggunakan teks-teks Alkitab dan
mengemukakan bahwa Yesus itu bukanlah Allah sejati, walaupun Ia bersifat Ilahi,
seperti Saksi Yehova, Kristen Tauhid dan Frans Donald. Hal ini wajar, karena
teks-teks Alkitab (PB) disusun bukan dalam konteks perdebatan Kristologis tapi
dalam konteks tertentu untuk jemaat tertentu dengan permasalahan teologis
tertentu.
Dalam hubungannya dengan hal ini, Athanasius adalah orang
yang pertama kali mengakui 27 kitab PB yang diakui sebagai kanon. Sebelumnya
ada kanon Marcion (gnosis) dan Irenius yang melawan gnosis. Athanasius adalah
teolog pendukung konsili Nicea (1 hakikat, 3 pribadi; Yesus adalah Allah (bukan
Malaikat Mikhael)). Kalau 27 kitab ini oleh Athanasius tidak menyaksikan bahwa
Yesus adalah Allah mana mungkin Athanasius mengakuinya sebagai kanon? Justru
karena Athanasius melihat dalam 27 kitab ini dapat menyaksikan bahwa Yesus
adalah Allah, maka Athanasius mengakui 27 kitab ini sebagai kanon.
Dari uraian Kristologi Bapa-bapa Gereja sampai konsili
Chalcedon, maka dapat dilihat bahwa Kristologi adalah sebuath misteri. Karena
telah berabad-abad diusahakan jalan tengah terhadap perdebatan Kristologi, tapi
tetap saja terjadi perbedaan pendapat.
Hal inipun berlaku sampai sekarang ini. Mereka yang tidak mengakui Yesus
sebagai Allah sejati, seperti Irenius, Tertullianus, Origenes, Arius, saksi
Yehova, Kristen Tauhid dan Frans Donald, adalah orang-orang yang berusaha
merefleksikan Yesus Kristus. Yang walaupun berbeda dengan pemahaman penulis
tetapi harus dihargai. Karena penulis menyadari refleksi penulis tentang Yesus
Kristuspun masih “samar”, nanti jelasnya nanti mungkin ketika bertemu langsung
dengan Yesus Kristus nanti. Karena apa gunanya kita menganggap Kristologi kita yang benar, tapi
menghina, mengucilkan, pemahaman yang berbeda? Biarkan Kristus sendiri yang menjadi
hakim atas hal ini.
Sebagai orang Kristen, kita harus memiliki panduan iman
atau ajaran yang kuat tentang Yesus Kristus untuk dijadikan dasar kehidupan.
Bahkan Yesus Kristus bukan hanya dasar, tapi juga keselamatan itu sendiri. Tidak
mengakui Yesus sebagai Allah berdampak pada keselamatan itu sendiri. Walaupun
Gereja sekarang ini diperhadapkan dengan pemahaman yang lain bahwa Yesus itu
adalah Malaikat Mikhael, maka Gereja harus memberikan tanggapan kritis atas hal
ini. Menghargai pendapat ini tapi juga berpegang teguh terhadap ajaran yang
diterima Gereja tentang Kristus.
Frans Donald mendasari bahwa dari kesaksian-kesaksian
Alkitab bahwa Yesus itu adalah Malaikat Mikhael. Pola penafsiran Frans Donald
disebutnya sebagai metode penafsiran ayat Alkitab menjelaskan ayat Alkitab[207]. Alasannya supaya tidak
jatuh terhadap pandangan ahli dalam metode-metode penafsiran ilmiah. Frans Donald mengutip ayat-ayat yang
mengemukakan bahwa Yesus itu utusan Allah, lalu Ia menyimpulkan bahwa utusan
itu adalah Malaikat, sehingga Yesus adalah Malaikat. Ia juga mengutip teks-teks
yang mengemukakan bahwa Mikhael adalah penghulu Malaikat, dan mengambil
teks-teks untuk menghubungkan Yesus dengan Mikhael. Ia mengutip Yesaya 63:9
(terjemahan lama LAI) untuk mengemukakan bahwa Yesus adalah penyelemat, dan
dalam ayat ini yang menyelamatkan umat adalah Malaikat. Jadi Yesus adalah
Malaikat. Frans Donald mengutip Maleakhi 3:1 bahwa sebagai Malaikat, Yesus
bukanlah sembarang Malaikat, Ia adalah Malaikat Perjanjian. Kemudian Frans
Donald mengutip Daniel 9:25 (terjemahan lama LAI) sebagai penghubung Yesus dan
Mikhael. Frans Donald mengemukakan bahwa ayat ini menyatakan bahwa Almasih adalah penghulu. Almasih adalah Yesus dan Penghulu adalah
Malaikat Mikhael, Ia juga mengutip I Tesalonika 4:16, Ibrani 1:5,9 dan Wahyu
12:7 dan menyimpulkan Yesus adalah Malaikat Mikhael.
Pola penafsiran Frans Donald ialah pola silogisme. Yaitu
mengambil suatu penyataan tertentu ditambah penyataan yang lain dan
menyimpulkannya. Contoh Silogisme adalah buah itu bergizi, apel adalah buah,
jadi apel itu bergizi. Frans Donald mengemukakan bahwa Yesus adalah Almasih,
Almasih disebut juga penghulu yang adalah Malaikat Mikahel, jadi Yesus adalah
Malaikat Mikhael; Yesus adalah Penyelamat, Malaikat Mikhael juga menyelamatkan
umat, jadi Yesus adalah Malaikat Mikhael. Pola silogisme ini memiliki
kelemahan, contohnya: Anjing adalah binatang, kucing adalah binatang, jadi
anjing adalah kucing. Apakah contoh ini menggambarkan realitas yang sebenarnya?
Tidak, begitu juga dengan pola silogisme Frans Donald terhadap Yesus Kristus
adalah Malaikat Mikhael.
Frans Donald mengemukakan bahwa dalam menafsir harus
memakai prinsip-prinsip penafsiran, yaitu memperhatikan konteks.[208] Tetapi hal ini tidak
sepenuhnya dipakai dalam penafsirannya. Ia hanya memperhatikan konteks kata-kata
dalam teks, dan tidak memperhatikan konteks budaya, kritik historis, dsb. Frans Donald melakukan
harmonisasi teks-teks Alkitab[209] dan eisegesis,[210] yaitu mengutip ayat-ayat
dan menunjuk pada ayat yang lainnya dan menarik kesimpulan tanpa memperhatikan
konteks budaya, historis, linguistik dalam teks-teks tersebut.
Berdasarkan hasil penafsiran penulis, maka teks-teks yang
dikemukakan sebagai rujukan Yesus adalah Malaikat Mikhael, yaitu Yesaya 63:9,
Daniel 9:25, Malekahi 3:1, I Tesalonika 4:16, Ibrani 1:5, 9, Wahyu 12:7-9 (dan
juga teks-teks yang lain seperti yang dipaparkan dalam Bab II) tidak ada yang
menunjuk bahwa Yesus adalah Malaikat Mikhael. Bahkan Ibrani 1:3-5 secara khusus
mau menyaksikan bahwa Yesus lebih tinggi dari para Malaikat, dan para Malaikat
harus menyembah-Nya.
Pergumulan Kristologi Bapa-bapa Gereja-Konsili Chalcedon
adalah bagaimana merefleksikan Kristus di tengah-tengah konteks pada waktu itu.
Konteks menghadapi bahaya gnostik, konteks bagaimana mengakui Yesus adalah
Allah di tengah-tengah pemahaman monoteistik, dan bagaimana mengakui Yesus
adalah benar-benar manusia dan Allah, serta relasi yang Ilahi dan insani pada
diri Kristus. Menurut Penulis, hal yang sama dialami juga oleh Frans Donald. Ia
bergumul bagaimana merefleksikan Kristus yang adalah manusia dan bersifat ilahi
di tengah konteks monoteistik dan implikasinya dalam konteks pluralitas saat
ini di Indonesia. Jalan yang ditempunya adalah Yesus adalah Malaikat Mikhael.
Dengan demikian Yesus tetap diakui bersifat Ilahi, benar-benar berinkarnasi
menjadi manusia dan sesuai dengan konteks pluralitas, dimana dalam pluralitas
agama pada umumnya mengakui Allah Yang Esa (monoteis). Hal ini digumulinya
karena melihat realitas perang agama di Indonesia yang menjurus pada konflik
dan memakan korban. Dengan mengakui Yesus adalah Malaikat Mikhael, maka Frans
Donald mengemukakan bahwa agama Islam dan Kristen bisa dipertemukan, sehingga
bisa diperdamaikan. Kesamaan doktrin diharapkan bisa menyebabkan terjadinya
persatuan antar umat beragama. Pergumulan Frans Donald ini mendapatkan dukungan
dalam lingkungan Kristen Tauhid.
Sayangnya pemahaman ini tidak
Alkitabiah. Menurut
tafsiran penulis di Bab II tentang ayat-ayat Alkitab yang dijadikan dasar Frans
Donald mengemukakan bahwa Yesus adalah Malaikat Mikhael, ditemukan bahwa
ayat-ayat ini tidak mendukung pendapat Frans Danold. Malah, dalam Ibrani 1:3-9,
secara spesifik mau menunjukkan bahwa Yesus itu lebih tinggi dari Malaikat,
semua malaikat harus menyembah-Nya, karena Ia bukan malaikat tapi Allah.
Walau demikian, ada pelajaran penting yang
dikemukakan oleh Frans Donald dalam pemahaman Kristologi umat Kristen sekarang
ini, yaitu bagaimana merefleksikan Yesus Kristus dalam konteks kita, khususnya
juga di Indonesia. Diakui bahwa refleksi Kristologi Bapa-bapa Gereja sampai
Konsili Chalcedon harus bisa dibahasakan dengan bahasa yang cocok dengan
konteks sekarang, bahkan harus ada penyusunan pengakuan iman tentang Yesus
Kristus sesuai dengan konteks sekarang. Disadari hal ini tidak gampang karena
pengakuan iman Nicea-Kontantinopel saja memakai waktu bertahun-tahun dan
diwarnai konflik, tapi walaupun begitu hal ini sudah bisa diusahakan mulai dari
sekarang.
Merefleksikan Yesus Kristus dalam konteks sekarang, sudah
menjadi pergumulan dari para teolog, khususnya di dunia ketiga. Muncul teologi
kontekstual yang melahirkan teologi Pembebasan di Amerika Latin, teologi Minjung, teologi Kerbau di Asia. Dan bagaimana di Indonesia? Teologi/ Kristologi
apa yang cocok untuk konteks Indonesia?[211]
Merefleksikan Yesus Kristus dalam konteks pluralitas
sekarang ini, khususnya di Indonesia bukanlah hal yang baru. Banyak yang telah
berusaha melakukan hal ini, khususnya dalam usaha untuk mencari titik temu
antara agama Islam dan Kristen agar tidak terjadi lagi perang agama. Hal ini dapat
dilihat dengan usaha-usaha untuk
mewujudkan kerukunan antar umat beragama dengan adanya kesamaan doktrin.
Misalnya usaha yang menekankan bahwa Allah Islam dan Kristen itu sama, atau ada
yang berusaha mencari titik temu dengan mengemukakan bahwa Abraham atau Ibrahim
sama-sama merupakan Bapa leluhur Islam dan Kristen, ataupun yang mengemukakan
Nabi Isa dalam Islam sama dengan Yesus Kristus dalam Kekristenan. Hal yang
samapun dilakukan Frans Donald. Ia mencari titik temu antara Islam dan Kristen,
yaitu pada sosok Yesus Kristus, agar supaya Allah orang Islam dan Kristen sama
dengan asas monoteisnya, maka konsep Yesus Kristus adalah Allah menjadi masalah
dan sering menjadi pokok pertikaian.
Oleh karena itu Frans Donald mengungkapkan Yesus Kristus itu bukanlah
Allah tapi Malaikat Mikhael, sehingga bisa mendapatkan titik temunya. Hal ini dilakukan Frans Donald karena juga
pengaruh dengan Kristen Tauhid yang memiliki pandangan yang sama. Terlihat
ironis karena oknum-oknum yang menimbulkan kontroversi-kontroversi ini tidak
memiliki latar belakang pendidikan teologi yang memadai, termasuk Frans Donald.
Sebagai refleksi kristologis atas pemahaman Frans Donald
ini dalam konteks Indonesia, menurut penulis tidak harus ada kesamaan doktrin
untuk adanya kerukunan. Kesamaan doktrin antara Islam dan Kristen (harapan
Frans Donald) bukan menjadi kunci kerukunan di Indonesia. Buktinya sesama
Kristen saja yang sama-sama mengakui Yesus adalah Allah sering terjadi konflik
(misalnya konflik antara golongan arus utama dengan aliran
pentakostal/kharismatik). Yang penting bukan kesamaan doktrin, tapi pola pikir
dan sikap yang saling menghargai perbedaan doktrin yang ada. Perbedaan bukanlah
alat pemecah, tapi dengan perbedaan kita bisa saling menghargai doktrin
masing-masing. Merefleksikan Yesus Kristus dalam zaman post modern dengan
pendekatan dogmatika, misalnya dalam hubungannya antara dogma Islam dan Kristen
memang tidak akan bertemu. Karena jelas memang dogma Islam dan Kristen berbeda.
Tetap hargailah perbedaan yang ada sambil mempertahankan kebenaran dogma yang
diyakini. Biarkan saja muncul berbagai buku, film kaset kontroversi tentang
Yesus Kristus, kita tidak boleh meresponi hal ini secara destruktif, tapi
hargailah sambil tetap mempertahankan ajaran Gereja yang diterima sampai dengan
saat ini. Hargailah perbedaan yang ada tetapi tetap kritis.
Oleh karena itu merefleksikan Yesus dalam konteks
pluralitas di Indonesia (sesuai juga dengan refleksi tentang Yesus Kristus oleh
PGI dalam DKG) adalah mewartakan Yesus yang adalah Pengasih, Pembebas,
Pendamai, Penolong, Pelawan ketidakadilan, Pelawan korupsi, Pelawan kolusi, serta Pelawan
nepotisme, Yesus Kristus yang menghendaki adanya kerukunan.
Refleksi-refleksi ini juga harus ditunjukkan oleh orang-orang Kristen dalam
pola pikir dan tingkah lakunya dalam hidup sehari-hari.
PENUTUP:
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
KESIMPULAN:
v Pemahaman
Frans Donald bahwa Yesus adalah Malaikat Mikahel bukanlah hal yang baru, karena
pemahaman ini sudah ada dari dulu dan dinyatakan bidaah oleh Gereja
v Pemahaman
Frans Donald yang mengemukakan konsep Yesus adalah Allah hanyalah produk dari
konsili-konsili tidak tepat, karena konsep Yesus benar-benar Allah (dan
Manusia) yang dirumuskan pada zaman Bapa-bapa Gereja-Konsili Chalcedon bukan
hanyalah produk dari konsili-konsili saja tapi juga sesuai dengan kesaksian
Alkitab.
v Pemahaman
Frans Donald bahwa Yesus adalah Malaikat Mikhael memiliki kesamaan dengan
konsep dari Hermas, saksi Yehovah, dan Kristen Tauhid.
v Pemahaman Yesus adalah Malaikat Mikhael tidak
mendapatkan bukti yang kuat dalam kesaksian Alkitab. Berdasarkan tafsiran
ayat-ayat Alkitab yang ada didapati bahwa Yesus bukanlah Malaikat Mikhael, Yesus lebih tinggi dari Malaikat, para Malaikat harus
menyembah-Nya,
karena Yesus adalah Allah.
v Frans Donald melakukan harmonisasi teks-teks Alkitab dan eisegesis. Frans Donald mengutip
ayat-ayat Alkitab dan menunjuk pada ayat yang lainnya dan menarik kesimpulan
tanpa memperhatikan konteks budaya, historis, linguistik, dalam teks-teks
tersebut. Jadi Frans Donald tidak menggunakan sepenuhnya prinsip-prinsip
penafsiran Alkitab untuk menafsirkan teks-teks Alkitab yang dijadikannya dasar
bahwa Yesus adalah Malaikat Mikhael.
v Dari
hasil penelitian yang dilakukan penulis, yaitu dalam rangka saling menghargai
dan bukan saling menyalahkan, didapati bahwa terjadi perbedaan pendapat antara
Frans Donald dengan penulis. Frans Donald mempercayai dan mengakui bahwa Yesus
Kristus bukanlah Allah melainkan Malaikat Mikhael. Sedangkan penulis
mempercayai dan mengakui bahwa Yesus Kristus adalah Allah dan bukan Malaikat
Mikahel.
v Pergumulan
Kristologi sekarang (termasuk pergumulan Kristologi Frans Donald) adalah
bagaimana merefleksikan Kristus di tengah-tengah konteks Pluralitas. Dalam konteks Pluralitas
(sesuai juga dengan refleksi tentang Yesus Kristus oleh PGI dalam
DKG), Yesus adalah Pengasih, Pembebas, Pendamai, Penolong, dan Pelawan
ketidakadilan, Pelawan korupsi, Pelawan kolusi, serta Pelawan
nepotisme, Yesus Kristus yang menghendaki adanya kerukunan.
B.
SARAN:
Ø Perlu
dikaji atau diadakannya penelitian lebih lanjut tentang bagaimana merefleksikan
Yesus Kristus di tengah konteks pluralitas.
Ø Perlu
dikaji dan dikritisi atau diadakannya penelitian lebih lanjut terhadap
tokoh-tokoh (orang-orang yang seperti Frans Donald) dan aliran-aliran Kristen
yang kontroversial (seperti Kristen Tauhid).
Ø Perlu
diadakannya studi lebih lanjut bagaimana menghargai pendapat yang berbeda
dengan dogma Gereja, sambil tetap memegang teguh dogma Gereja sesuai
perkembangan dogma itu sendiri.
Ø Perlu adanya penjelasan tentang isu-isu Kristologis yang
kontroversi saat ini, seperti Kristologi Frans Donald dalam materi katekisasi
sidi jemaat.
Ø Menulis
jurnal, buku-buku untuk menanggapi isu-isu Kristologi saat ini di majalah,
koran, dan internet.
Ø GMIM hendaknya mulai merumuskan
pengakuan Imannya
tentang Yesus Kristus sesuai konteks
saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur:
Armstrong, K., SEJARAH TUHAN, Kisah Pencarian
Tuhan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam 1000 Tahun, Bandung: Mizon, 2002
Arikunto, S., Prosedur Penelitian, Yogyakarta:
Rineke Cipta 1998
Avis,
P., Ambang
Pintu Teologi, Jakarta: BPK
GM, 1991
Banawiratma,
JB (ed)., Kristologi dan Allah Tritunggal, Yogyakarta: Kanisius, 1989
Barclay,
W., Pemahaman
Alkitab setiap Hari, IBRANI, Jakarta: BPK GM, 1981
Barth,
M., Tafsiran
Alkitab Kitab Yesaya Pasal 55-66,
Jakarta: BPK GM, 2003
Barth, M-Pareira, B., Tafsiran Alkitab KITAB MAZMUR1-72,
Pembimbing dan Tafsirannya, Jakarta:
BPK GM, 1997
Berkhof,
H – Engklaar, I., Sejarah Gereja, Jakarta:
BPK GM, 1988
Bertes.,
K., Sejarah
Filsafat Yunani, Yogyakarta:
Kanisius, 1975
Bloomendaal,
J. Pengantar
kepada Perjanjian Lama, Jakarta:
BPK GM, 1979.
Brill,
W., Tafsiran
surat Ibrani, Bandung:
Yayasan Kalam Hidup, 1993
Brown,
C., Christian & Western Thought,
Vol. 1,
Leicester: Apollos, 1990
Chilton,
B., Studi
Perjanjian Baru bagi Pemula, Jakarta:
BPK GM, 1994
Collins,
J., Daniel,
Yogyakarta: Kanisius, 1998
Darmawijaya, St., Pengantar
ke dalam Misteri Yesus Kristus, Yogyakarta:
Kanisius, 1990
Davidson, I., A
Public Faith: From Constantine to the Medieval World AD 312-600 Volume Two The Baker History of the Church,
Michigan: Grand Rapids, Baker Books, 2005
de
Heer, J., Tafsiran Alkitab WAHYU YOHANES II, Jakarta: BPK GM, 1978
Diester,
N., Teologi
Sistematika I, Yogyakarta: Kanisius, 2008
Donald,
F., Allah
dalam Alkitab & Al Qur’an, Sesembahan yang SAMA atau BERBEDA,
Semarang: Borobudur Indonesia Publishing, 2008
…………...,
Kasus
Besar yang Keliru: Ternyata YESUS MALAIKAT, Semarang: Borobudur Indonesia Publishing, 2009
…………..., MENJAWAB DOKTRIN TRITUNGAL
Tentang Ke-allah-an Yesus, Semarang: Borobudur Indonesia Publishing,
2009
Draine,
J., Memahami
Perjanjian Baru, Jakarta: BPK GM, 1996
Drewes, B-Mojou, J., PENGANTAR KE DALAM ILMU TEOLOGI, Jakarta: BPK GM, 2003.
E, Sumaryono., Hermeneutik, Yogyakarta: Kanisius, 1993
Ehrman,
B., Lost Christianities,Oxford
University Press
Enss, P., THE MOODY HANDBOOK OF THEOLOGY,
Buku Pegangan Teologi I, Malang:
Literatur SAAT, 2003
Foxe,
J., Kisah
para Martir Tahun 35-2001, Yogyakarta: Yayasan Andi, 2001.
Garlow,
J-Jones, P., Cracking Da Vinci's Code,
Colorado: Cook Communications, 2004
Fee,
G-Stuart, D., Bagaimana Menafsirkan Firman Allah dengan Tepat, Malang: Gandum Mas, 1989
Groenen, C., SEJARAH DOGMA KRISTOLOGI,
Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada Umat Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 2009
H,
Hadiwijono., Apa dan Siapa Tuhan Allah,
Jakarta: BPK GM, 1974
.........................,
Sari
Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta:
Kanisius, 1985
H, Sutanto., Hermeneutic:
Prinsip dan Metode Penafsiran, Malang:
Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1993
Hagelberg,
D., Tafsiran
kitab Wahyu; DARI BAHASA YUNANI, Yogyakarta:
Yayasan Andi, 2005)
Haye, J- Holladay, C., Pedoman
Penafsiran Alkitab, Jakarta:
BPK GM, 1996
Hill, A-Walton, J., Survei
Perjanjian Lama, Malang: Gandung Mas, 1996
Jacobs, T., IMANUEL, Perubahan
dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, Yogyakarta: Kanisius, 2000
………....,
PAHAM
ALLAH, dalam Filsafat, Agama-agama dan Teologi, Yogyakarta:
Kanisius, 2006
Keene.
M, Kristianitas, Yogyakarta, Kanisius, 2006.
Knight, G., ISAIAH
55-66. The New Israel, Edinburg: The Handsel Press LTD, 1985
Kristiyanto, E., Gagasan
yang Menjadi Peristiwa, Sketsa Sejarah Gereja Abad I-XV, Yogyakarta: Kanisius, 2002
…………….…, SELILIT
SANG NABI, Bisik-bisik tentang Aliran Sesat, Yogyakarta: Kanisius, 2007
Lane,
T., Runtut
Pijar, Jakarta: BPK GM, 1993
Lasor, W., et.
all., Pengantar PL 2 Sastra dan Nubuat, Jakarta: BPK GM, 1994
Lembaga
Biblika Indonesia., Surat-surat Ibrani, Yogyakarta: Kanisius, 1985
Lohse,
B., Pengantar
Sejarah Dogma Kristen, Jakarta:
BPK GM, 1989
McBride A-Praems, O., Images
of JESUS: Menyelami 10 Rahasia Pribadi Yesus, Jakarta: Obor, 2003
McGuckin, J., St Cyril of
Alexandria and the Christological Controversy, SVS, 2004
Millard, J-Erickson, J.,
TEOLOGI
KRISTEN Volume II, Malang:
Gandum Mas, 2003
Milne, B., MENGENALI
KEBENARAN, Jakarta: BPK GM,
2003
Nazir, M., Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, Jakarta
1988
Newell, L., SERI
TAFSIRAN ALKITAB Kitab Daniel, Malang: Seminari Alkitab Asia
Tenggara, 1996
Norris,
A., “Letter
to Flavian of Constantinople.” The Christological
Controversy, Philadelphia, Fortress
Norris, R., God and World in Christian Teologi Premier: A Study in Yustinus Martir, Irenaeus,
Tertullian dan Origen, London: Adam & Charles Black, 1966
O'
Carroll, M., Trinity, Delaware: Michael glazier, Inc, 1987
P, Wongso., Eksposisi Doktrin Alkitab Surat
Ibrani, Malang: Seminari
Alkitab Asia Tenggara (SAAT)), 1997
Paterson,
R., Tafsiran
Alkitab Kitab Nabi Maleakhi, Jakarta: BPK GM, 1985
Pos,
A., Tafsiran
WAHYU, Jakarta: BPK GM, 1966
Ramsdell,
G., Teologi Yustinus Martir,
Jena: Frommann, 1923
Saruan, J., Iman Kristen, Tomohon:
Lembaga Penerbitan Diakonos, 2005
Siahaan, S., et. all,
KITAB
DANIEL Latar Belakang, Tafsiran dan Pesan, Jakarta: BPK GM, 1994
Soedarmo,
R., Ikhtisar
Dogmatika, Jakarta: BPK GM,
2006
Sudjaly, B., SEJARAH DOGMA TRINITAS, Yogyakarta:
Taman Pustaka Kristen, 1986
Sutama, A., Yesus Tidak Bangkit? Menyingkap Rekayasa
Yesus Historis dan Makam Talpiot, Jakarta: BPK GM, 2007
Sutompul, A., Metode
Penafsiran Alkitab, Jakata:
BPK GM, 1997
Tenney,
M., Survey
Perjanjian Baru, Malang:
Gandung Mas, 1997
Urban,
L., Sejarah
Ringkas Pemikiran Kristen,
Jakarta: BPK GM, 2003
van de Beek, A., KRISTUS
Pusat Kehidupan Kita, Jakarta:
BPK GM, 2003
van den End, Th., Harta
Dalam Bejana, Sejarah Ringkas, Jakarta:
BPK GM, 1986
Vorgrimler, H., TRINITAS;
BAPA, FIRMAN DAN ROH KUDUS, Yoyakarta:
Kanisius, 2005
Wellem, F., Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh
dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK GM, 1996.
Widyapranawa,
S., Tafsiran
Jesaya 1-12, Jakarta: BPK GM,
1973
Y,
Mulyono., Teologi Ketabahan; Ulasan atas Kitab Wahyu Yohanes, Jakarta:
BPK GM, 1993
Referensi:
LAI., Alkitab,
Jakarta, 1970
…...,
Alkitab,
Jakarta, 1984
…...,
Alkitab,
Jakarta, 2002
…...,
Alkitab,
Jakarta, 2004
…...,
Alkitab,
Jakarta, 2007
…...,
Alkitab
Perjanjian Lama Ibrani-Indonesia, Jakarta, 1999
…...,
Alkitab
Penuntun Hidup Berkelimpahan, Jakarta, 2003
Balz, H-Schneider, G
(ed)., EXEGETICAL DICTIONARY OF TE NEW TESTAMENT VOLUME II, Michigan: William B. Eerdmans Publishing
Company, 1991
Botterceck, J, et.
all., THEOLOGICAL DICTIONARY VOL. I-VIII, Michigan: WB. Eerdemans
Publishing Company, 1997
Bromiley, G (ed)., Theological
Dictionary of The New Testament Vol II, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1964
Brown, C (ed)., Exegitical
Dictionary of the New Tastement Vol I-III, Michigan: Exeter
Tge Pater Noster Press, 1980
Douglas, J (peny)., Ensiklopedi
ALkitab Masa Kini Jilid I A-L, Jakarta: YKBK/OMF 2007
…………………., Ensiklopedi ALkitab Masa Kini
Jilid II M-Z, Jakarta: YKBK/OMF 2007
Elwell, W., Evangelical
Dictionary of Theology, Grand Rapids: Baker Book House, 1984.
Green, J., The Interlinear Hebrew/Greek
English Bible, Vol. I, Lafayetk, Indiana: Associated Publisher and
Authors, Inc, 1981
………...., Pocket Interlinear New Testament,
Numercially
Coded to Strong’s Exhaustive Concordance, Michigan: Baker Book House,
1988
H, Sutanto., Perjanjian Baru Interliner
Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru (PBIK), Jilid I,
Jakarta: LAI, 2003
Heuken.
A, Ensiklopedi
Gereja III, Jakarta, Yayasan
Cipta Loka Caraka, 1993
Moulton, H., The
Analytical Greek Lexicon Revised, Michigan: Regency Reference Library
Zondervan Publishing House, 1978
Nestle, E-Aland, K., Novum Testamentum Grace, Stuttgart:
Wurttembergische Bibelanstalt, 1963
Nicoll, W (ed)., The
Expositori’s Greek Testament, New
York and London Press: 1978
O’Collins,G-Farrugia,G.,
Kamus
Teologi, Yogyakarta:
Kanisius, 2000
Rahlfs, A., Septuaginta
II, Stuttgart: Wruttembergische’ Biblelanstalt, 1935
Turabian, K., A Manual for Writers of Term
Papers, Theses, and Dissertations, Sixth
Edition, Chicago: The University of Chicago Press,
Walker, D., Konkordansi
Alkitab, Jakarta: BPK GM, 2005
Website:
http://en.wikipedia.org/wiki/Arius
http://gpdworld.us/content/pdstudi-tatabeket/keselamatan
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&lanpair=enId&u=http://www.earlychurch.org.uk/tertullianus.php
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&lanpair=enId&u=http://www.earlychurch.org.uk/tertullianus.php
http://www /renungan_dan_artikel/kristen_tauhid_tidak_akui_trinitas
http://www.sarapan
pagi.org/siapakah-mikhael-penghulumalaikat-vt2325.html
http://www.thetruthaboutdavinci.com/the-council-of-nicaea.html
Wawancara:
FD., Wawancara, 20- November -2009
FD., Wawancara, 21- November -2009
FD., Wawancara, 09-Februari-2010
LAMPIRAN
LAMPIRAN BAB II:
Ø Konsili Nicea
Syahadat iman yang diolah
seperluhnya dari syahadat iman di kota Kaisarea (Palestina) yang dipakai dalam
upacara baptisan:
“Terkutuklah oleh Gereja Katolik dan apostolik mereka yang berkata: “Pernah Ia
(yaitu Putra Alah) tidak ada”, dan bahwa Ia dijadikan dari yang tidak ada, atau
orang yang menyatakan bahwa Putra Allah berbeda hypostasis atau hakikat-Nya,
atau telah dijadikan, atau mengalami perubahan, mereka ini dikutuk oleh Gereja
Katolik[212]
(ini dijadikan anatema atau kutuk, laknat terhadap pendapat bidaah).
Isi dari syahadat Nicea adalah (yang
ditambahkan oleh konsili Nicea dari syahadat yang sudah ada diberi huruf
tebal):
“Kami percaya
kepada Allah yang satu, Bapa Yang Maha Kuasa, Pembuat segalahnya, yang
kelihatan dan yang tidak kelihatan;
Dan kepada satu Tuhan Yesus Kristus, Anak
Allah, Tunggal lahir dari Bapa (ialah:
dari zat/hakikat/ousia Bapa, Allah
dari Allah, cahaya dari cahaya, Allah benar/sejati dari Allah benar/sejati,
dilahirkan/diperanakkan, tidak dibuat, sezat/hakikat: homo ousios dengan Bapa), yang oleh-Nya segalahnya dijadikan,
yang ada di surga dan di bumi, yang karena kita manusia dan karena keselamatan
kita datang dari atas menjadi daging, menjadi manusia, menderita dan pada hari
ketiga bangkit, pergi ke atas ke surga, datang mengadili orang hidup dan mati,
Dan kepada Roh Kudus”
(sesudah syahadat ini menyususul anatema, kutuk, laknat terhadap para
bidaah).[213]
Syadat
Nicea ini juga pada intinya mengemukakan suatu rumusan teologis mengenai Allah
Bapa dengan Anak (dan Roh Kudus), yaitu satu hakikat (homo ousios) dan tiga Pribadi (hypostasis,
prosopon) (Istilah hypostasis dan prosopon sudah dibedahkan seperti
definisi yang diberikan oleh Ketiga Bapa Kapodakia dan Flavianus).
Akibat keputusan dari Syahadat ini, maka
Arius serta uskup-uskup pembangkang dipecat dan dibuang ke pedalaman.
Tulisan-tulisan Arius dibakar dan siapa yang mempunyai tapi tidak menyerahkan
terancam hukuman mati.[214]
Ø Konsili
Kontantinopel
Konsili
Kontantinopel yang mengambil alih syahadat konsili Nicea dan memperluas artikel
ketiga yang menyangkut Roh Kudus. Rumusannya, yaitu:
“Kami
percaya akan satu Allah, Bapa Yang Maha Kuasa,
Pencipta langit dan bumi, dan segalah sesuatu yang kelihatan dan tak
kelihatan.
Dan
akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah yang tunggal;
Ia
lahir dari Bapa sebelum ada segala abad, terang dari terang, Allah benar dari
Allah benar, dilahirkan bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa, segala sesuatu
dijadikan oleh-Nya,
Ia
turun dari sorga untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita, da ia menjadi
daging oleh Roh Kudus dari perawan Maria, dan menjadi manusia, Ia pun
disalibkan untuk kita pada waktu Pontius Pilatus, Ia wafat kesengsaraan dan
dimakamkan, pada hari yang ketiga Ia bangkit menurut Kitab Suci, Ia naik ke
surga, duduk di sisi Bapa, Ia akan kembali dengan mulia, mengadili orang yang
hidup dan yang mati, Kerajaan-Nya tak akan berakhir.
Dan
akan Roh Kudus,
Ia
Tuhan yang menghidupkan, Ia berasal dari Bapa, Yang serta Bapa dan Putra
disembah dan dimuliakan, Ia bersabda dengan perantaraan para nabi.
Akan
Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik. Kami mengakui satu baptisan
akan penghapusan dosa. Kami menantikan kebangkitan orang mati dan hidup di
akhirat, Amin.[215]
Ø Paus Leo
Hal-hal
yang ditekankan Leo Agung dalam risalahnya, yaitu:
à Pribadi Sang Allah-manusia, pribadi Dia yang
menjadi daging, adalah identik dengan pribadi logos Ilahi.
à Di dalam satu pribadi yang dimiliki oleh logos yang telah menjelma itu terdapat
dua kodrat, ilahi dan insani, secara selaras tetapi tidak tercampur. Sri Paus
merumuskan begini: “Sifat dan ciri masing-masing kodrat yang berpadu dalam satu
pribadi itu tinggal utuh, seraya keluhurannya menerima kerendahan, kekuatan dan
kelemahan, kebakaan kefanaan.
à Kesatuan kedua kodrat itu bersifat hakiki,
karena pentingnya kesatuan itu bagi penebusan. Pengantara satu-satunya antara
Allah dan manusia itu dalam arti tertentu harus dapat mati, tetapi dalam arti
tertentu pula harus tidak dapat mati. Memang mungkinlah mengatakan bahwa logos mati, artinya Ia mati menurut
kodrat-Nya yang insani, tetapi bukan menurut Kodrat-Nya yang Ilahi.
à Kedua kodrat Kristus mempunyai cara kerja
tersendiri, walaupun yang satu selalu bertindak dalam keselarasan dengan yang
lain.
à Ajaran tentang communicatio idiomatum harus dipertahankan. Ajaran ini berarti
bahwa kesatuan kepribadian, maka sifat-sifat atau atribut (idioma) yang dimiliki masing-masing kodrat itu dapat ditukar. Maka,
tepatlah misalnya mengatakan bahwa Anak Allah disalibkan dan dimakamkan atau
bahwa Anak Manusia turun dari surga.
Dengan
demikian Paus Leo I tegas mempertahankan unsur-unsur hakiki dalam Kristologi
dan dalam kaitannya dengan Soteriologi, sambil menyadari betapa paradoksal
misteri iman yang tampak sebagai fenomena Yesus Kristus.[216]
Ø Konsili Chalcedon
Syahadat Konsili Chalcedon:
“Maka dengan mengikuti para moyang suci, kami sekalian sehati sepikir
mengajar bahwa mengakui Sang Putra dan Tuhan kita Yesus Kristus sebagai satu
dan sama:
v yang
sama sempurna dalam keilahian dan yang sama sempurna dalam kemanusiaan,
v yang sama sungguh Allah dan sungguh manusia
(terdiri) dari jiwa berakal dan tubuh,
v menurut keilahian sehakikat dengan Bapa dan
yang sama sehakikat dengan kita menurut keinsanian,
v dalam segalahnya sama dengan kita, tetapi
tanpa dosa (bdk. Ibr 4:15),
v menurut keilahian dilahirkan dari Bapa
sebelum (segala) zaman, tetapi menurut kemanusiaan pada hari-hari akhir itu
yang sama (dilahirkan) dari perawan Maria, Bunda Allah, demi untuk kita dan
demi untuk keselamatan kita.
Kami mengajar bahwa Tuhan Yesus Kristus yang satu dan sama, Putra yang
tunggal itu, harus diakui
Ø dalam dua kodrat (en duo physein), tak tercampur (asygkhytos),
tak berubah (atreptos), tak terbagi (adiairetos), tak terpisah (akhoristos),
Ø dengan sama sekali tidak dihilangkan
perbedaan kodrat-kodrat karena pemersatuan,
Ø tetapi sebaliknya ciri-corak khas
masing-masing kodrat tetap aman, dan (kedua kodrat itu) tergabung dalam satu
pribadi (prosopon) dan satu diri (hypostasis),
Ø tidak terbagi ataupun terpisah menjadi dua
pribadi (prosoa),
melainkan
yang satu dan sama Anak Tunggal, Allah-logos,
Tuhan Yesus Kristus, sebagaimana para nabi dahulu dan Yesus Kristus sendiri
mengajar kita tentang itu dan syahadat para moyang menyampaikannya kepada
kita”.[217]
Ø Tafsiran
Yesaya 63:9
“dalam kesesakan mereka.
Bukan seorang duta atau utusan,
Melainkan
Ia sendirilah yang menyelamatkan mereka;
Dialah yang menebus
mereka dalam kasih-Nya dan belas kasihan-Nya.
Ia mengangkat dan
mengendong mereka
Selama
zaman dahulu kala.” (Yesaya
63:9)
à ABI[218] : “u
malakh pana’r hosyiah”
à LAI 1970 :
“Malak alhadliratnja sudah memelihara”
à LAI TB[219] : “Bukan seorang duta atau utusan
melainkan Ia sendirilah yang menyelamatkan”
à KJV :
“The Angel of His Presence saved”
à KJV II :
“The Angel of His Face saved”
-
őude : Kata sambung
=
tak ada, bukan, tidak
-
aggelos : Kata benda maskulin singular nominatif
=
malaikat, seroang pengirim, pembawa pesan, utusan
-
all : Kata
sambung
=
kecuali, kalau, melainkan
-
autoV : menunjuk pada kata ganti orang ketiga
=
sendiri, dirinya sendiri
-
kurioV : Kata benda maskulin singular nominatif
=Tuhan,
tuan
- estwsen : Kata kerja imperfektum aktif indikatif orang ketiga singular dari kata swzw
= dia telah sedang menyelamatkan
à “Bukan malaikat/utusan, melainkan Tuhan
sendiri telah sedang menyelamatkan”
Ø Tafsiran
Daniel 9:25
“Maka ketahuilah dan pahamilah: dari saat firman itu keluar, yakni bahwa
Yerusalem akan dipulihkan dan dibangun kembali, sampai pada kedatangan seorang yang diurapi, seorang raja, ada
tujuh kali tujuh masa; dan enam puluh dua kali tujuh masa lamanya kota itu akan
dibangun kembali dengan tanah lapang dan paritnya, tetapi di tengah-tengah
kesulitan” (Daniel
9:5)
à ABI :
“… ad mesyiah (masyiah) nagid (negid)…”
à FD[221] : “….Yesus, Mikhael itu
à LAI 1958 :
“… kepada Almasih, Penghulu itu
à LAI TB :
“… kepada seorang yang diurapi, seorang
raja
à KJV :
“… to Messiah the Prince
Ø Maleakhi 3:1
“Lihat, Aku menyuruh utusan-Ku, supaya ia mempersiapkan jalan di
hadapan-Ku! Dengan mendadak Tuhan yang kamu cari itu akan masuk ke dalam bait-Nya!
Malaikat Perjanjian yang kamu
kehendaki itu, sesungguhnya, Ia datang, firman TUHAN semesta alam.”
(Maleakhi
3:1)
à ABI :
malakh heberit
à LAI :
Malaikat Perjanjian
à FD[222] : malakh/utusan yang dijanjikan
à KJV :
the messenger of the
covenant
Ø Tafsiran I Tesalonika 4:16
“Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala Allah berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan
mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit.
(I
Tesalonika 4:16)
à Novum :
arcaggellou
à LAI TB :
“penghulu malaikat”
à BIS :
“malaikat agung”
à KJV :
“archangel (malaikat yang terpenting)”
à NIV :
“archangel (malaikat yang terpenting”
Ø Tafsiran
Ibrani 1:3-5; 9
Ia
adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang
ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan. Dan setelah Ia selesai mengadakan
penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tingi,
jauh leih tinggi dari pada malaikat-malaikat, sama seperti nama yang
dikaruniakan kepada-Nya jauh lebih indah dari pada nama mereka.
Karena kepada siapakah di antara malaikat-malaikat itu pernah Ia
katakan:
“Anak-Ku Engkau!
Engkau telah Kuperanakkan
pada hari ini?”
dan
“Aku akan menjadi Bapa-Nya
dan Ia akan menjadi Anak-Ku?”
(Ibrani 1:3-5)
“Engkau mencintai keadilan dan
membenci kefasikan;
sebab
itu Allah, Allah-Mu telah
mengurapi Engkau
dengan
minyak sebagai tanda kesukaan, melebihi teman-teman sekutu-Mu”
(Ibrani 1:9)
Ayat 5:
Ø Novum :
tini gar eitin pote tvn aggelwn˙
Ø LAI 1958 :
karena malaekat manakah dari antara maleikat itu yang pernah difirman-Nya: (menurut Frans Donald)
Ø LAI 1970 :
karena malaekat menakah dari antara segalah malaekat itu yang pernah
difirmankanNja:
Ø LAI TB : karena kepada siapakah diantara malaikat-malaikat itu pernah Ia katakan:
-
tini : Kata ganti introgatif
maskulin singalar datif
=
kepada siapakah, untuk yang manakah
-
gar : Kata sambung koordinasi
eksplanatori (bersifat menejelaskan)
=
karena, untuk, bagi,
-
eitin : Kata kerja auris aktif indikatif
orang ke III singular (H. Sutanto)
=
Ia bersabda (Analytical)
:
Kata kerja auris aktif imperfektum
=
Ia telah bersabda
-
pote : Partikel indefiniti (kata
penyerta) (H. Sutanto)
=
pernah
: Partikel demi waktu, enclitic (kata yang
tidak bertekenanan) (Analytical)
=
Dia pernah
-
tvn aggelwn˙ :
Kata sandang + kata benda maskulin plural genetif dari kata agleloV
=
dari malaikat-malaikat itu
à Karena kepada siapakah dari malaikat-malaikat
itu Dia pernah telah bersabda:
Ayat 9:
Ø Novum :
metocouV sou
Ø LAI TB :
“teman-teman sekutu-Mu”
Ø BIS :
“teman-temanMu”
Ø NIV :
“Your companions (teman-teman Kamu)”
Ø KJV :
“Your companions (teman-teman Kamu)”
Ø The Interlienar Bible Greek/English : “Your
patners (teman-teman sekutuMu)
metocouV sou = Kata sandang + kata benda maskulin
plural akusativ dari kata metocoV,
yang berarti “teman-teman kamu atau teman-teman/kawan-kawan sekutuMu”.
Ø Wahyu
12:7-9; Ibrani 2:14
“Maka timbullah peperangan di sorga. Mikhael dan malaikat-malaikatnya berperang melawan naga itu, dan
naga itu dibantu oleh malaikat-malaikatnya, tetapi mereka tidak dapat bertahan;
mereka tidak mendapatkan tempat lagi di sorga. Dan naga besar itu si ular tua, yang disebut Iblis atau Satan, yang
menyesatkan seluruh dunia, dilemparkan
ke bawah; ia dilemparkan ke bumi, bersama-sama dengan
malaiakat-malaikatnya.” (Wahyu
12:7-9)
“Karena
anak-anak itu adalah anak-anak dari darah dan daging, maka Ia juga menjadi sama
dengan mereka dan mendapat bagian dalam keadaan mereka, supaya oleh kematian-Nya
Ia memusnahkan dia, yaitu Iblis, yan
berkuasa atau maut;” (Ibrani 2:14)
Lampiran Bab III
Dalam
Alkitab bahasa Ibrani, nama diri Allah yang disembah bangsa Israel terdiri dari
4 konsonan YHWH (Kel. 3:15, 7:2). YHWH merupakan nama diri Allah yang
terpenting dalam PL, dan diseluruh Alkitab Ibrani nama itu tercantum lebih dari
6800 kali. Karena terdiri dari 4 huruf, sering nama yang tidak dapat diucapkan
diri disebut Tetragammaton, yang artinya “4 huruf”. Setelah pembuangan Israel
di Babel (538 sM), ucapan nama YHWH
yang sesungguhnya tidak dketahui lagi. Tetapi nama YHWH merupakan nama yang paling suci bagi umat Yahudi dan karenanya
nama itu tidak boleh diucapkan. Sebagai gantinya setiap kali tertera YHWH diucapkan dengan Adonai
yaitu istilah Ibrani yan artinya “TUHAN: (dengan akhiran i yang merupakan pronomina
posesif artinya “ku”; Tuhanku”). Dengan cara yang demikian penyalahgunaan nama
YHWH pun dapat dihindari. Hal ini masih terus dilakukan oleh umat Yahudi
modern. Terjemahan bahasa Aram dari YHWH
adalah Mara artinya “Tuhan”, dapat diberi akhiran MARI artinya “Tuhanku”(datanglah)”
(I Kor 16:22; Why. 22:20).
Pada
saat Alkitab pertama kali diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa
Yunani yang dikenal dengan Septuaginta (abad 3 sM). YHWH diterjemahkan KURIOS.
Dalam bahasa Inggris lama (Elizaethan). Kurios dapat diterjemahkan Lord artinya
“Tuhan”, atau lord artinya “tuan” (bnd. Bahasa Jerman Herr). Dalam PB bahasa
Yunani, Kurios dapat berarti “majikan” (Mat 13:27; 25:20; Luk :8). “pemilik”
(Mat 0:8; 21:40). “tuan/Bapak” (mat 25:11; Yoh12:21), “tuan” (IKor. 8:5).
“Tuhan” (Kis.\ 5:14; 9:10-11; 42; Rm 12:11; Gal 1:9), dan “Allah” (Mat 5:33;
Mrk 5:19; Luk 1:6).
Mengikuti
teladan terjemahan Alkitab pertama (Septuaginta), terjemahan Alkitab dalam
bahasa Inggris seperti King James Version, New King James Version, Revised
Standard Version, New Revised Standard Version, New English Bible, Revised
English Bible, Good News Bible/Today’s English Version, New American Bible, New
America Standard Version, New International Version menerjemahkan YHWH dengan LORD “TUHAN”. Dan ini pun
yang dilakukan dalam ALkitab bahasa Melayu/Indonesia mulai terjemahan A.C. Ruyl
(112), D. Brouwerious (1668), M. Leijecker (1733), J. Emde (1835), H.C. Klinkert
(1679), W.G. Shelabear (1910, 1913), W.A. Bode (1938), terjemahan Lama (1958):
PL Klinkert + PB Bode), Indjil terbitan Arnoldus, Ende (1964), Terjemahan Baru
(1974), sampai Alkitab Kabar Baik dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari (1985).
Pada hakikatnya YHWH, Adonai dan Kurios
diterjemahkan “Tuhan”. (Catatan: dalam terjemahan Ruyl dan terjemahan
Brouwerios Kurios diterjemahkan Tuan “Tuhan”; sedangkan terjemahan Leidjdecker YHWH diterjemahkan dengan Huwa “Hua/Hua”, Adonai dan Kurios diterjemahkan “Tuhan”).
Ada
yang menduga bahwa YAHWEH (atau dalam
ejaan Jerman Yahve) merupakan ucapan
dari nama YHWH. Yahweh sebagai nama
diri dipakai dalam suatu terjemahan Alitab bahasa Inggris Jerusalem Bible dan
revisinya New Jerusalem Bible. Terjemahan Alkitab ini merupakan upaya Gereja
Katolik Roma yang mula-mula diusahakan dalam bahasa Perancis La Bible de
Jerusalem. JEHOVAH (YEHOWA) merupakan
arti artifisial yang mulai dipakai pada abad 16 M, yaitu pada edisi awal King
James Versioan serta dalam revisinya Authorized Standard Version (1901) dan
terjemahan yang sejenis. Jehovah atau Yehowa berasal dari kesahpahaman makna notasi
yang dicantumkan oleh Guru-guru Alkitab Masoret pada teks Alkitab Ibrani
(antara abad 6-10 M). Nama diri Allah yang sangat suci dan tidak boleh
diucapkan itu (YHWH) diberi bunyi
hidup dari kata Adonai (“Tuhan”) Adonai
(catatan: akhiran I merupakan bentuk
pronomina posesif artinya “ku”). Tujuan notasi ini agar pembaca teks Ibrani
setiap kali membaca nama YHWH secara
otomatis mengucapkan ADONAI. Akan
tetapi pada abad 16 M, ada penerjemah yang tidak cukup memahami arti notasi
itu, dan langsung membacanya aHoWah atau
Jehovah, Yehowa. Lafal ini muncul (dan baru pada abad ke 16 M) karena
kekurangpahaman penerjemah pada seluk-beluk bahasa dan kebudayaan Ibrani.
Itulah sebabnya terjemahan King James Version sendiri sudah lama meninggalkan pemakaian
Jehovah.
Dalam
Alkitab Ibrani, teks yang tertulis disebut Kethibh, sedangkan catatan-catatan
ditepi teks yang dibuat oleh Guru-guru Alkitab Masoret yang berisi
“perbaikan-perbaikan” dan cara membacanya/mengucapkan disebut disebut Qere. Dalam Alkitab Ibrani ada kurang
lebih 1.300 “perbaikan” Qere
berdasarkan alasan gramatikal, estetika atau dogmatika. Bila kata yang
“diperbaiki” itu terlalu sering dipakai dalam teks (seperti nama YHWH) inilah yang disebut Qere Perpetuum, yaitu cara membaca yang
harus diingat terus menerus. Dengan kata lain, walaupun tanpa notasi ditepi,
pemasangan bunyi hidup pada konsonan YHWH
merupakan peringatan bahwa setiap kali membaca YHWH lafalnya adalah Adonai, dan bukan Yahweh atau Yehowa. Bagi umat Allah, nama YHWH tidak dapat dan tidak mungkin diucapkan karena nama itu sangat
suci. Dengan penuh rasa hormat mereka hanya berani menyebut Adonai yang
terjemahannya “Tuhan”. (J. Saruan, Iman Kristen, (Tomohon:, Lembaga
Penerbitan Diakonos, 2005), hlm. 3-6; yang disadur dari tulisan Dr. Daud H.
Soesilo, Ph.D dalam Forum Biblika, Edisi April 1992 No. 2, terbitan LAI).
[1] Frans Donald lahir dan
dibesarkan dalam keluarga Katolik yang sederhana. Sepeninggalan ayahnya, karena
kerinduannya akan kebenaran ia telah melakukan passing over ke dalam
berbagai denominasi Protestan (Pantekosta/Kharismatik, Bethani, Saksi Yehovah,
Adventis, dll). Ia juga mempelajari Hindu Dharma dan Islam. Frans Donald,
sering disebut sebagai pemikir bebas meyakini bahwa umat Islam dan Kristen
adalah sama-sama anggota keluarga besar ciptaan Allah. Kepeduliannya adalah
agar kedua umat beragama tersebut tidak berpikir sempit dalam kotak-kotak dogma
doktrin hasil karya manusia, tetapi kembali pada hakikat ajaran kitab-kitab
suci dan menghormati kebebasan berpikir. (F Donald, Kasus Besar yang Keliru: Ternyata
YESUS MALAIKAT, (Semarang:
Borobudur Indonesia Publishing, 2009, hlm.127).
[2] Buku ini direvisi dengan alasan
agar lebih mantap dan akurat bukan karena salah, tapi untuk memantapkan dan
mempercantik buku (F Donald, Wawancara
oleh penulis, sms, Kawangkoan, 20-November-2009)
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Unitarianisme merupakan suatu
gerakan yang dikenal dengan sifat keterbukaannya yang mencolok dalam hal
keberagaman. Sesuai dengan asas dasarnya yang menghormati setiap orang untuk
merumuskan iman sesuai dengan hati nurani dan akal sehat masing-masing, maka
seorang Unitarian dapat mendekati berbagai topik kontroversial secara obyektif
dengan tetap menghargai perbedaan pendapat.
[6] Tokoh buku terbesar dan
terlengkap di Sulawesi Utara yang banyak dikunjungi masyarakat.
[7] Dihitung penjualan dari tahun 2008 sampai tahun 2009:
tahun 2008 masuk 470 terjual 411, tahun 2009 masuk 95 terjual 65 eksemplar; “Menjawab Doktrin Tritunggal”: tahun
2008 masuk 100 terjual 79 eksemplar, tahun 2009 masuk 35 terjual 28 eksemplar: “Kasur Besar Keliru: Ternyata YESUS
MALAIKAT”: tahun 2008 masuk 100 terjual 87 eksemplar, tahun 2009 masuk 50
terjual 48 eksemplar.
[8]
M. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, Jakarta 1988), hlm. 63
[9]
Ibid, hlm. 212
[10] S. Arikunto, Prosedur
Penelitian, (Yogyakarta:
Rineke Cipta 1998), hlm. 231
[11] Ibid, hlm. 236
[12] Diambil dari Profil Frans Donald
di Facebooknya.
[13] Frans Donald, Wawancara oleh penulis, email, Kawangkoan,
09-Februari-2010
[14] Yang membuat Frans Donald muak adalah klaim-klaim kebenaran yang
ternyata rapuh. Ia mengemukakan bahwa semakin diselidiki tentang hal ini makin
katahuan bahwa "kebenaran-kebenaran" tersebut ternyata sekedar mitos
(atau dongeng) yang berhasil digembar-gemborkan (dipropagandakan dengan sangat
apik) belaka (Frans Donald, Wawancara
oleh penulis, email, Kawangkoan, 09-Februari-2010).
[15] Ibid
[16] Buku ini mendapat sambutan yang luar biasa dari Pendeta Dr
Tjahjadi Nugroho, MA (yang dalam buku ini disebut sebagai Ketua Asosiasi
Pendeta Indonesia).
[17] Frans Donald, Wawancara oleh penulis, sms, Kawangkoan, 20-November-2009
[18] F. Donald, ALLAH DALAM ALKITAB & AL
QURA’AN, Sesembahan yang SAMA atau BERBEDA?, (Semarang: Borobudur Indonesia Publishing, 2009), hlm. xxii,
xxvii
[19]
Frans Donald, Wawancara oleh
penulis, sms, Kawangkoan, 20-November-2009
[20] Dikutip
dari komentar pembaca dalam buku: “Kasus Besar yang Keliru: Ternyata YESUS
MALAIKAT, dan buku Allah dalam Alkitab
dan Al Qur’an” karangan Frans Donald.
[21] Ibid
[22] Frans Donald, Wawancara oleh penulis, email, Kawangkoan,
21-November-2010
[23] Ibid
[24] http://www.in-christ.net/blog/renungan_dan_artikel/kristen_tauhid_tidakakutrinitas
[25]
Frans Donald, Wawancara oleh
penulis, email, Kawangkoan, 09-Februari-2009
[26] F.
Donald, MENJAWAB DOKTRIN TRITUNGAL Tentang Ke-allah-an Yesus, (Semarang: Borobudur Indonesia
Publishing), 2009, hlm. 96
[27] F. Donald, Op. Cit, KASUS
BESAR YANG KELIRU: Ternyata Yesus Malaikat, hlm. 2-3. Catatan: kata
ganti I tunggal dari Frans Donald diganti dengan kata ganti III tunggal oleh
penulis.
[28] Ibid
[30] F. Donald, Op. Cit, hlm. 4-6
[31] Ibid
[32] Ibid, hlm.11-12
[33] Ibid, hlm. 31-32
[34] Ibid, hlm. 9-50, 52
[35] Ibid
[36] Ibid, hlm. 54-55
[37] Ibid, hlm. 63-64
[39] Ibid, hlm. 80-82
[40] Ibid, hlm. 108-109
[41] Ibid, hlm. 110-114
[42] Ibid
[43] Ibid
[44] Ibid
[45] Ibid, hlm. 116-118
[46] “melalui” (terjemahan
Frans Donald yang menggantikan kata “oleh” terjemahan LAI)
[47] F. Donald, Op. Cit
[48] Dalam sejarah Kekristenan, maka
suatu aliran yang mengakui Yesus adalah Malaikat Mikhael adalah Saksi Yehova. Berikut adalah beberapa point penting tentang
pemahaman 'Kristologi' versi saksi Yehova:
1. Yesus adalah mesias saat dibaptis dan diurapi Roh Kudus
2. Yesus adalah Anak Allah dan bukan Allah
3. Yesus adalah ciptaan pertama
4. Yesus lebih rendah dari Yehova
5. Yesus adalah inkarnasi penghulu malaikat
6. Yesus tidak mati di kayu salib akan tetapi pada tiang siksa
7. Yesus mati selamanya, tubuh-Nya tidak bangkit/dibangkitkan
1. Yesus adalah mesias saat dibaptis dan diurapi Roh Kudus
2. Yesus adalah Anak Allah dan bukan Allah
3. Yesus adalah ciptaan pertama
4. Yesus lebih rendah dari Yehova
5. Yesus adalah inkarnasi penghulu malaikat
6. Yesus tidak mati di kayu salib akan tetapi pada tiang siksa
7. Yesus mati selamanya, tubuh-Nya tidak bangkit/dibangkitkan
[51] Ibid
[53] Ibid
[54] Ibid, hlm. 123
[56] F. Donald, Op. Cit, Kasus
Besar yang Keliru: Ternyata Yesus Malaikat, hlm. 107. Bnd: F. Donald, Menjawab
Doktrin Tritunggal, (Borobudur
Indonesia Publishing, 2009), hlm. xvi.
[57] C. Groenen, Op. Cit, hlm. 35-36
[58] Apokaliptik
(penyingkapan) adalah suatu aliran Yahudi yang karena penganiyaan-penganiyaan
yang dialami lebih suka menggunakan bahasa-bahasan simbol, menekankan kehidupan
sesudah penghambatan, akhir zaman, dsb.
[59]
Bnd: Groenen, Op. Cit, hlm. 74-83
[60] Dalam bahasa Ibrani berarti
“orang-orang miskin”. Mereka adalah kelompok asketis dari kalangan Kristen
Yahudi yang hidup pada abad pertama dan kedua. Mereka menekankan ketaatan pada
hukum Musa, dan kerena itu menolak rasul Paulus (G. O’Collins-G. Farrugia, Kamus
Teologi, (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), hlm. 63
[61] B. Milne, MENGENALI KEBENARAN, (Jakarta: BPK GM, 2003), hlm. 201
[62] Bnd: Dr. Nico Syukur Diester, Teologi
Sistematika I, (Yogyakarta,
Kanisius, 2008), hlm. 167
[63] Groenen, Op. Cit, hlm. 36
[64] Plato mengemukakan bahwa ada dua
macam dunia, yang serba berubah dan serba jamak, dimana tiada hal yang
sempurna, dunia yang diamati dengan indera, yang bersifat inderawi. Dan dunia
ide dimana tiada perubahan dan tiada kejamakan (dalam arti, bahwa yang baik
hanya satu, yang adil hanya satu saja), yang bersifat kekal. Hubungan antara
kedua dunia itu adalah demikian, bahwa ide-ide dari dunia atas itu hadir dalam
benda yang kongkrit (umpamanya: idea manusia berada pada tiap manusia dan
seterusnya), dan sebaliknya benda-benda itu berpartsipasi dengan idea-ideanya,
artinya: mengambil bagian dari ide-idenya, bukan hanya satu ide saja, melainkan
dapat juga lebih (umpamanya: bunga bagus, berpartispasi dengan idea bunga dan
bunga bagus). Dengan demikian idea-idea itu berfungsi sebagai model atau contoh
benda-benda yang diamati di dalam dunia ini. (H. Hadiwijono, Sari
Sejarah Filsafat Barat I, (Yogyakarta:
Kanisius, 1985), hlm. 41)
[65] Aristoteles mengkonsepkan
tentang Allah dalam kaitannya dengan Filsafatnya tentang gerak. Menurut
Aristoteles dalam jagad raya tidak mempunyai permulaan atau penghabisan. Karena
setiap hal yang bergerak digerakkkan oleh sesuatu hal lain, yaitu satu
Penggerak Utama yang menyebabkan gerak itu tetapi sendiri tidak digerakkan.
Penggerak Pertama bersifat abadi, sebagaimana juga gerak yang disebabkan
olehnya. Penggerak ini terlepas dari materi, karena segala hal yang mempunyai
materi, mempunyai juga potensi untuk bergerak. Allah sebagai Penggerak Pertama
tidak mempunyai potensi apapun juga. Allah harus dianggap sebagai Aktus Murni.
Allah sebagai Penggerak Pertama tidak mengenai atau mencintai sesuatu yang lain
dari pada diri-Nya sendiri. Karena, jika Allah mengenal dunia, Dia harus
mempunyai potensi juga. Kalau begitu dia bukan aktus murni (K. Bertens, Sejarah
Filsafat Yunani, (Yogyakarta:
Kanisius, 1975), hlm. 158).
[66]
Aliran Stoa didirikan oleh Zeno. Ia berasal dari Siprus, tetapi pergi ke Atena
dan pada akhirnya mendirikan sekolahnya sendiri di Stoa Poikile. Itulah
sebabnya namanya “Stoa”. Filsafat Stoa didasarkan atas kepercayaan bahwa baik
dunia manusia yang tingal di dalamnya pada akhirnya bergantung hanya pada satu
prinsip saja, yaitu “Akal Budi”. (J. Draine, Memahami Perjanjian Baru
(Jakarta: BPK GM, 1996), hlm. 25). Prinsip ini pada suatu titik perkembangan
dapat melakukan pemusnahan segala sesuatu, namun menurut waktunya akan ada
pembentukan baru dan pemulihan pun akan terjadi. Sama seperti api yang dapat
tiba-tiba menjadi nyala besar, kemudian hampir mati, lalu berkembang menjadi
mantap lagi (B. Chilton, Studi Perjanjian Baru bagi Pemula, (Jakarta: BPK GM, 1994), hlm. 137). Dalam Filsafat Stoa, membedakan antara logos sejauh yang mendiami alam rohani dengan logos sejauh mengkomunikasikan diri, artinya sejauh diungkapkan.
Pembedaan ini dipakai para Bapa-Bapa Gereja untuk menerangkan hubungan antara
Bapa dengan Putra-Nya. Allah sendiri tak berawal dan tak bernama, serba
trasenden, dan melampaui segala sesuatu yang tak ada. Karena itu, antara Allah
dan alam ciptaan terdapat jurang pemisah. Logoslah
yang menjembatani jurang ini. Dialah Mediator antara Allah Bapa dan dunia.
Hanya melalui logos saja Allah
berkomunikasi dengan dunia serta mewahyukan diri kepada dunia. Mula-mula logos itu berdiam sebagai suatu kekuatan
di dalam Allah. Akan tetapi, demi penciptaaan dunia Ia “berasal” dari Allah,
hal ini diibaratkan Yustinus seperti cetusan api berasal dari api. Kemudian
dengan perantara logos itulah Allah
menciptakan dunia (N. Dister, Op. Cit, hlm. 191).
[67] T. Lane, Runtut Pijar, (Jakarta: BPK GM, 1993), hlm. 4
[68] Istilah yang muncul dalam
hubungannya dengan “Kristologi dari atas” ialah “Kristologi dari bawah” yang
merefleksikan Yesus Kristus bertitik
tolak dari segi historisnya atau dari segi kemanusiaannya. (Bnd: St. Darmawijaya
PR, Pengantar
ke dalam Misteri Yesus Kristus, (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), hlm. 32-38; JB. Banawiratma (ed), Kristologi dan Allah Tritunggal, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm.
29-31
[69] Menurut pandangan hidup gnosis
itu maka dunia (manusia) seadanya secara dasariah buruk. Ia merupakan hasil
kekeliruan besar. Dunia yang sesungguhnya, dunia sejati ialah dunia ilahi,
suatu prinsip ilahi yang tidak terjangkau dan tidak tercapai. Antara dunia,
prinsip ilahi, itu dan dunia yang diamati dan dialami manusia terpasang
pelbagai tingkat atau lapis lain yang memang berpangkal pada yang ilahi, tetapi
semakin rendah tingkatnya dan semakin buruk. Tingkat terbawah, tingkat material
yang dialami manusia ialah tingkat yang paling buruk. Manusia sejati, manusia
sebenarnya berciri ilahi, semacam bunga api yang tercetus dari yang ilahi.
Tetapi manusia sejati itu terjatuh dan terkurung dalam dunia material ini
dengan segala keburukan dan hawa nafsunya. Penyelamatan manusia justru
pembebasannya dari kurungan itu dan kembalinya manusia sejati kepada
asal-usulnya, yang ilahi. Hanya manusia sejati sudah lama lupa akan
asal-usulnya sehingga malah tidak tahu lagi siapa dirinya dan apa itu
penyelamatannya dan betapa buruk situasinya. Karena itu manusia sendiri tidak
dapat keluar dari pengajarannya. Supaya selamat manusia membutuhkan
“pengetahuan” (gnosis), ilmu mistik
eksistensial yang tidak dapat diperolehnya. Tetapi yang ilahi, Bapa ilahi,
tidak lupa akan apa yang berasal dari diri-Nya, yaitu manusia. Maka yang ilahi
dari tingkat teratas mengutus seorang penyelamat. Manusia asli sejati, yang
membawa gnosis yang perlu, menyampaikan “wahyu” yang membuka mata manusia yang
buta dan lupa itu. Bila manusia menerima wahyu itu, maka ia mengenal dirinya.
Lalu dengan meninggalkan penjara materialnya manusia sejati kembali kepada yang
ilahi dan menjadi selamat. Dan meninggalkan dunia seadanya berarti pula manusia
menjadi bebas dari “tata tertibnya”, dari segala tata hukum dan tata susila.
(Groenen, Op. Cit, hlm. 87-88;
bnd: Th. van den End, Harta Dalam Bejana, Sejarah Ringkas, (Jakarta: BPK GM, 196), hlm. 42-43).
[70] H. Berkhof- I. Engklaar, Sejarah
Gereja, (Jakarta: BPK GM,
1988), hlm. 19
[71] M. Tenney, Survey Perjanjian Baru, (Malang: Gandung Mas, 1997), hlm 19
[72] Bnd: B. Sudjaly, SEJARAH
DOGMA TRINITAS, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1986), hlm. 23
[73] Arti kata kanon mula-mula adalah
“buluh”. Kemudian suatu alat yang dibuat dari buluh, kemudian “ukuran”, lalu
daftar-daftar kitab-kitab yang diangap mempunyai kewibawaan dan oleh karena itu
yang diakui sebagai kaidah (norma) hidup. Dengan arti yang terakhir inilah kata
“kanon” dipakai kalau dikatakan bahwa “Kitab Suci adalah kanon”. Kitab Suci
adalah daftar kitab-kitab yang berwibawa, yang menjadi norma atau kaidah hidup.
(R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (BPK
GM: Jakarta, 2006), hlm. 120)
[74] Kanon pertama
dibuat oleh Marcion (diluar Kanon PL yang telah diterima kewibawaannya). Kanon
PL ini diterima pada petermuan di Yamnia kr. tahun 100 sM). Kanon Markion
meliputi sepuluh surat Paulus (yang
tidak ada adalah surat-surat Pastoral dan Ibrani) dan Injil Lukas. Kanon ini
dijadikan salah satu dasar Marcion megemukakan ajarannya tentang Yesus Kristus.
Kanon (PB) yang berikut adalah Kanon Muratorianum (Fragmentum Muratorium) sekitar tahun 200 disusun di Roma.
Penyusunnya belum diketahui secara pasti, tapi dugaan kuat disusun oleh
Hippolytus dari Roma. Dinamakan Fragmentum
Muratorium karena ditemukan oleh L. A. Muratori di Perpustakaan Ambrosius
di Milano (Itali) dan diterbitkan olehnya pada ahun 1740. Naskah ini berupa
Fragmen yang tidak utuh. Mulai di tengah suatu kalimat mengenai Injil Markus
dan terdiri dari 85 baris. Selain menyebutkan buku-buku suci, juga asal usul
apostolik dari buku-buku ditunjukkan dan catatan-catatan lain mengenai
kepengarangannya dan kanonisitasnya ditambahkan, khususnya mengenai Injil
Yohanes. Yang tidak disebut ialah Surat Ibrani, Surat Yakobus, dan Surat
Petrus. Akan tetapi, dua Kitab Wahyu disebut: satunya dari Yohanes dan satunya
lagi dari Petrus. Setelah kanon Muratorianum, Bapa Gereja Irenius sudah
mempunyai sebuah kanon Kitab Suci Kristen PB. Kanon itu memuat keempat Injil,
13 Surat Paulus, Kis, Why, I Petrus, I, II Yoh. Konon Irenius jelas berlawanan
dengan Kanon susunan Markion. Pada tahun 367, Athanasius (Uskup Alexandria),
mengemukakan bahwa Kanon PB meliputi 27 kitab yang sejak itu dipandang
eksklusif sebagai kitab kanonik. Ia mengemukakan daftar kitab-kitab itu dalam
surat Paskahnya yang ke 39. Kemudian pada tahun 382 Konsili Roma menetapkan
Kanon PB yang sama dengan yang dikemukakan oleh Athanasius. Pada tahun 393
Konsili Hippo Regius mendukung keputusan konsili Roma, dan pada tahun 397
Konsili Kartago III juga melakukan hal yang sama. Kemudian pada tahun 1546,
kanon yang telah ditetapkan oleh konsili-konsili ini disahkan pula oleh suatu
konsili umum sedunia, yaitu Konsili Trente yang mengakui 45 kitab PL (termasuk
kitab-kitab deuterokanonika (yang dipakai Katolik) dan 27 kitab PB (N.
Dister, Op. Cit, hlm. 99-100).
[75] R. Soedarmo, Op. Cit,
hlm. 120
[76] Groenen, Op. Cit, hlm. 95
[77] E. Kristiyanto, SELILIT SANG NABI, Bisik-bisik tentang
Aliran Sesat, (Yogyakarta,
Kanisius, 2007), hlm. 79
[78] B. Milne, Op. Cit, hlm. 201
[79] Bnd: E Kristiyanto, Op. Cit, hlm. 66-68; N. Dister, Op. Cit, hlm. 66-267; dan
Collins-Farrugia, Op. Cit, hlm. 57
[80] Sebagai pembelaan iman dari
Bapa-bapa Gereja terhadap ajaran-ajaran gnostik, dan apologet ini berupa
argumentasi-argumentasi yang juga ditulis lewat surat-surat atau kitab-kitab.
[81]
Ignatius berasal dari Siria dan dilahirkan sekitar tahu 35. Ia adalah
Uskup di Antiokhia. Ignatius mengakui bahwa Yesus
Kristus adalah Allah dan juga manusia (Groenen, Op. Cit, hlm. 92-93).
[82] Polycarpus dilahirkan sekitar
tahun 69. Menurut Irenius, Polycarpus adalah murid rasul Yohanes. Irenius
sendiri adalah murid dari Polykarpus. Polycarpus bekerja sebagai uskup di
Jemaat Smirna, Asia Kecil pada pertengahan abad kedua. (R. Petersen, 100
Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, (Jakarta: BPK GM, 2001),
hlm. 8).
Polycarpus menganut pendekatan yang sama dengan pendekatan Ignatius dan
juga melawan doketisme. Tetapi Polycarpus lebih menekankan pada makna
penyelamatan penderitaan dan kematian Yesus (Groenen, Op. Cit, hlm. 93)
[83] Yustinus merupakan seorang
apologet Kristen yang terkemuka dalam Gereja abad II. Dilahirkan di Flavia
Neopolis (Nablus) atau Sikhem (nama pada zaman kuno) di Samaria, pada tahun 95.
Ayahnya adalah seorang kafir (F. Wellem,
Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, (BPK
GM: 1996), hlm. 149). Oleh sebab itu Yustinus lahir dalam keluarga Yunani di
Palestina. Ia rindu mencari kebenaran, tapi tak ada aliran Filsafat maupun
agama yang membuat ia puas. Akhirnya suatu kali ia berjumpa dengan seorang tua
dekat laut. Orang tua itu memperkenalkannya pada PL dan Kristus. Yustinus
menyebutkan bahwa ia sangat terkesan pada orang Kristen yang tidak takut
menghadapi mati syahid. Lalu ia menjadi Kristen, karena melihat bahwa “hanya
Filsafat inilah satu-satunya yang aman dan menguntungkan” (T. Lane, Op. Cit, hlm.8).
Suatu kali ia mengadakan
perjalanan yang cukup jauh. Dalam perjalanannya ia selalu berargumentasi
tentang iman yang diyakininya. Ia bertemu dengan Tryfo. Di Roma, ia bertemu
dengan Marcion, pemimpin gnostik. Pada suatu perjalanan ke Roma, ia pernah
bersikap tidak ramah pada seseorang yang bernama Crescens, seorang Cynic.
Ketika Yustinus kembali ke Roma pada tahun 165, Crecens mengadukannya pada
penguasa atas tuduhan memfitnah. Yustinuspun ditangkap, disiksa dan akhirnya
dipenggal kepalanya bersama-sama 6 orang percaya lainnya” (Curtis, Op. Cit, hlm.6; Bnd: J. Foxe, Kisah
para Martir Tahun 35-2001, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2001), hlm.
13-14).
[84] Berasalnya logos dari Allah Bapa diibaratkan Yustinus seperti cetusan api
berasal dari api.
[86] G.
Ramsdell, Teologi Yustinus Martir (Jena: Frommann, 1923, hlm. 175, diakses, 09
Febuari 2010), diambil dari http://transelate.co.id/http://www.newworldencylopedia.org/; Internet; Bnd:
T. Jacobs, PAHAM ALLAH, dalam Filsafat, Agama-agama dan Teologi, (Yogyakarta:
Kanisius, 2006), hlm. 150
[87] Groenen, Op. Cit hlm. 106-107
[88]
Ibid, hlm. 106
[89] Sekarang ini ada satu
contoh/ilustrasi yang sering digunakan untuk mengungkapkan misteri Trinitas,
bahkan contoh ini sering diungkapkan oleh Guru Agama, Pendeta, dan juga
digunakan dalam katekisasi sidi jemaat (seperti yang dialami penulis). Misteri Trinitas sering kali dianalogikan
sebagai berikut: “Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus itu seperti
halnya dengan seorang ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai Guru, dan juga
merupakan Pelayan Khusus (Penatua). Ketika Ibu itu di rumah ia disebut sebagai
“Ibu, mama” oleh anak-anaknya atau “Istri” oleh suaminya. Ketika di sekolah ia
dipanggil sebagai “Ibu Guru”, dan ketika dalam pelayanan Gereja, ia disebut
sebagai “Penatua”. “Penatua, Ibu Guru, Ibu/mama/Istri” bukanlah tiga orang yang
berbeda, tapi tiga nama/penyebutan terhadap satu orang. Begitu juga dengan
misteri Trintias”. Tapi kelihatannya, contoh atau ilustrasi ini lebih mirip
dengan dogma Monarkianisme Modalis dari pada dogma yang dirumuskan Konsili
Nicea-Konstantinopel (yang diikrarkan jemaat dalam ibadah-ibadah GMIM).
Ilustrasi ini tidak menjawab persoalan Trinitas (Kristologi) (seperti
pergumulan Bapa-Bapa Gereja), yaitu bagaimana relasi Allah dengan Anak dengan
Roh Kudus (seperti dalam ilustrasi: relasi antara Ibu/Istri dengan Ibu Guru
dengan Penatua). Bagaimana ilustrasi ini menggambarkan realitas “Allah mengutus Anak-Nya yang tunggal, yaitu
Yesus Kristus”; apakah juga mau dikatakan bahwa Ibu mengutus Penatua?”
[90] Groenen, Op. Cit,
hlm. 106-107
[91] Nama lengkapnya adalah Qaintus
Septimus Florens Tertullianus. Ia lahir kr tahun 150 di Kartago. Ia adalah Bapa
teologi latin yang menulis kebanyakan karya-karyanya dalam bahasa latin.
Tertullianus adalah pembela yang tinggi akan iman Katolik Ortodoks, namun pada
tahun-tahun akhir hidupnya meninggalkan gereja yang am dan menjadi anggota dan
pemimpin aliran Montanisme di Kartago, Afrika Utara (F. Wellem, Op. Cit, hlm. 232).
[92] Groenen, Op. Cit, hlm.108-109; Bnd: N. Dister, Op. Cit, hlm. 193; B. Lohse, Pengantar
Sejarah Dogma Kristen, (Jakarta:
BPK GM, 1989), hlm. 98-100; H. Hadiwijono, Apa dan Siapa Tuhan Allah, (Jakarta: BPK GM, 1974), hlm. 50
[93] Colin
Brown, Christian & Western Thought, Vol. 1, (Leicester: Apollos, 1990, hlm. 91, diakses 09
Febuari 2010), diambil dari http://translate.google.co.id/=http://www.earlychurch.org.uk/tertullianus; Internet
[94] Richard A.
Norris, God and World
in Christi
an Teologi Premier: A Study in Yustinus Martir, Irenaeus, Tertullian dan
Origen, (London:
Adam & Charles Black, 1966, hlm. 86, diakses
09 Febuari 2010), diambil dari http://translate.google.co.id/translate?hl=id&lanpair=enId&u=http://www.earlychurch.org.uk/tertullianus.php: Internet
[95] Origenes lahir dari sebuah
keluarga Kristen yang sangat saleh pada tahun 185 di Kota Alexandria Mesir.
Nampaknya ia telah dibaptis sejak kecil sesuai dengan kebiasaan Gereja di sana.
Ayahnya adalah seorang ahli pidato, sehingga ia sendiri mengajarkan anaknya
dalam ilmu retorika. Origenes belajar teologi pada Clemes dari Alexandria,
sedangkan filsafat dipelajari pada Ammonius Saccas, yang dipandang sebagai
salah satu pendiri aliran filsafat Neo-Platonisme (F. Wellem, Op. Cit, hlm. 205).
[96] Bart D. Ehrman,
Lost Christianities,
(Oxford University Press, hlm. 254, diakses 09 Febuari 2010), diambil
dari http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikiversity.org/wiki/Topic:Ante-Nicene_Fathers; Internet
[97] N. Dister, Op. Cit, hlm. 194-195; Bnd: F. Wellem, Op. Cit, hlm. 208; B. Lohse, Op. Cit,
hlm. 97-98; P. Avis, Ambang Pintu Teologi, (Jakarta: BPK GM, 1991), hlm. 59-60
[98]
N. Dister, Op. Cit, hlm. 196
[99] Alexandria
dan Antiokhia merupakan dua pusat teologi yang masing-masing memiliki sekolah
teologinya sendiri. Sekolah teologi atau perguruan di Antiokhia terkenal dengan
metode ilmiah yang dipakai dalam menyelidi Kitab Suci (termasuk metode kritik
sastra), terarah pada apa yang bersifat historis, menolak alegori dan menaruh
tekanan pada keberadaan Yesus sebagai Manusia di bumi ini, pada perkembangan
historisitasNya. Sedangkan di Aleksandria dipengaruhi oleh pemikiran Yunani
yang filosofis dan yang terarah kepada apa yang melampaui pancaindra, kepada
kenyataan rohani dan ilahi. Pemikiran ini secara prinsip mempertentangkan yang
ilahi dengan yang insani. Di kalangan Aleksandria unsur ilahi dalam Kristus
begitu ditekankan sehingga unsur insani condong diabaikan. Dan dalam soal
pendekatan terhadap Kitab Suci lebih menekankan metode alegoris, menekankan
makna rohani (Bnd: L. Urban, Sejarah
Ringkas Pemikiran Kristen,
(Jakarta: BPK GM, 2003), hlm. 100-102, Groenen, Op. Cit, hlm 125, 146, N. Dister, Op. Cit, hlm.196-197); B. Drewes-J.Mojou, PENGANTAR
KE DALAM ILMU TEOLOGI, (Jakarta:
BPK GM, 2003), hlm. 37-39
[100] Arius (kr. th 336) berperawakan
tinggi, kurus; seorang yang cakap, fasih lidah dan berkepribadian yang menarik,
berwatak keras dan agak sombong. Ia juga dilukiskan sebagai orang yang
ambisius. Kemungkinan ia lahir di Alexandria, kr tahun 250, yaitu pada masa
penghambatan Kaisar Decius di Antiokhia. Pendidikan teologi Arius diperolehnya
dari seorang Presbiter terkenal, yaitu Lucianus di Antiokhia. Diduga Arius
belajar kepadanya sampai dengan matinya Lucianus sebagai martir tahun 306.
Kemudian Arius kembai ke Alexandria dan menetap di sana. Munculnya Arius ke
permukaan sejarah berhubungan dengan Miletus, uskup Lykepolis (Wellem, Op. Cit, hlm. 21).
[101] Bnd: N. Dister, Op. Cit, hlm. 140-141, E. Kristiyanto, Op. Cit, hlm. 57-62, Groenen, Op. Cit, hlm. 126-130, Wellem, Op. Cit, hlm. 21; B. Milne, Op. Cit, hlm. 202
[102] Alexander adalah seorang Uskup
di Aleksandria (kr th. 326). Ia adalah Uskup dari Arius. Alexander termasuk
mazhab Alexandria dan menganut pikiran Origenes. (Groenen, Op. Cit, hlm. 129)
[103] Michael O'
Carroll, Trinity, (Delaware: Michael
glazier, Inc, 1987 hlm 23, diakses 09
Febuari 2010), diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Arius;
Internet
[104] Groenen, Op. Cit, hlm. 129
[105] A. McBride-O. Praems, Images
of JESUS: Menyelami 10 Rahasia Pribadi Yesus, (Jakarta: Obor, 2003), hlm. 75
[106] J.
Garlow-P. Jones, Cracking Da
Vinci's Code, (Colorado: Cook Communications,
2004, hlm. 96, diakses 09 Febuari 2010), diambil dari http://www.thetruthaboutdavinci.com/the-council-of-nicaea.htm;
Internet
[107] Bnd:
M. Keene, Kristianitas, (Yogyakarta:
Kanisius, 2006), hlm. 53; H. Vorgrimler, TRINITAS; BAPA, FIRMAN DAN ROH KUDUS, (Yoyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 107
[108] Bnd: A. Heuken, Ensiklopedi
Gereja III, (Jakarta: Yayasan
Cipta Loka Caraka, 1993), hlm. 10; L. Urban, Op. Cit, hlm. 78-80; N. Dister, Op. Cit, hlm. 143-145; Groenen, Op. Cit, hlm. 128-132; T. Lane, Op. Cit, hlm. 24; dan Collins-Farrugia, Op. Cit, hlm. 152-164.
[109] Kata “homo ousia”: sehakiat, sezat dengan Bapa. Istilah ini dimasukkan
atas desakan kaisar Konstantinus dan penasihatnya Hosius. Oleh Hosius istilah
ini dimengerti sebagai terjemahan istilah latin con-substantialis, yang sejak Tertullians tradisional dalam teologi
latin. Hanya sejarah selanjutnya membuktikan bahwa istilah ini serba kabur dan
dipahami dengan pelbagai cara. Pada masa konsili Nicea istilah “ousia” masih searti dengan istilah “hypostasis”, seperti ternyata dalam
tambahan pada syahadat Nicea (dari “ousia”
atau “hypostasis” lain). Adapun
istilah “ousia” dapat berarti:
realitas yang secara utuh lengkap mandiri. Tetapi khususnya, dalam ilsafat
Plato, “ousia” berarti: realitas
rohani/ilahi yang berulang kali direalisasikan secara terbatas, “kodrat”
abstrak. Maka istilah “homo ousios” dengan
Bapa dapat dimengerti: ousia (keilahian)
yang satu dan sama (numerik satu) terdapat pada Anak Allah (Yesus Kristus) dan
pada Bapa. Tetapi tambahan “homo” (sama)
sekaligus mengungkapkan bahwa Anak Allah, Yesus Kristus, toh tidak satu dan
sama saja dengan Allah yang Esa (Bapa), sehingga Anak Allah dengan satu
dan lain cara toh mandiri (melawan
modalisme). Tetapi “homo ousios” juga dapat dipahami sebagai “sejenis” dengan
Bapa, semacam “kopi”, cap, realisasi kedua dari keilahian yang teralisasikan
dalam Allah Bapa, Yang Maha Esa. Dan rupanya kebanyakan bapa konsili Nicea
mengertinya demikian: Anak Allah, Yesus Kristus, sejenis dengan Allah (Bapa),
Anak Allah merupakan gambaran, eskpresi utuh lengkap dari Allah. Dan itu dapat
berarti bahwa relasi Anak Allah (Yesus Kristus) dengan Allah dipikirkan secara
subordinasionis, seperti sesuai dengan mazhab Aleksandria (Origenes, Alexander)
(Groenen, Op. Cit, hlm. 131).
[110] Lihat lampiran (hlm. 118-119)
[111] Baik Basilius Agung (meninggal
pada tahun 379) yang adalah Uskup Kaisarea dan Metropolis Kapadokia, maupun
adiknya yang bernama Gregorius dan yang menjadi Uskup Nyssa (meninggal tahun
394), maupun juga sahabatnya yang bernama pula Gregorius dan yang menjadi Uskup
Nazianze (meninggal sekitar tahun 390) merupakan tiga ahli teologi yang besar.
Dalam trio yang gemilang ini, karya Athanasius dilanjutkan dan mencapai
puncaknya. Ketika mereka meninggal, fajar kekalahan Arianisme dan kemenangan
iman Nicea menyingsing. Ketiganya berasal dari keluarga tersohor dan
berpendidikan. Pustaka sastra dan filsafat kuno maupun karya para bapa Gereja
telah mereka pelajari. Pengajaran mereka selaku uskup dan guru amat
mempengaruhi kemajuan teologi selanjutnya. Kendati dipersatukan oleh minat
bersama di bidang intelektual dan spiritual maupun oleh ikatan persahabatan
tersendiri. Basilius terkenal sebagai seorang yang walaupun condong kepada
kontemplasi dan mati raga (ia termasuk pendiri hidup mem-biara dalam Gereja),
amat giat aktif sebagai administrator, sedangkan Gregorius dari Nazianze
termasyur sebagai juara satu dalam hal berpidato dan Gregorius Nyssa sebagai
pemikir: dalam hal teologi spekulatif dan mistik ia melebihi keduanya (N.
Dister, Op. Cit, hlm. 151).
[112] Athanasius yang lahir di Aleksandria sekitar
tahun 95 menerima pendidikan klasik dan
teologi di kota kelahirannya. Pada tahun 319 ia ditahbiskan menjadi diakon dan
tidak lama sesudahnya menjadi sekretaris uskup Aleksandria yang bernama
Aleksander. Dalam fungsinya yang demikian ia menemani uskupnya ke konsili Nicea,
di mana diskusinya dengan kaum Arian menarik perhatian. Tiga tahun kemudian ia
menggantikan Aleksander sebagai uskup Aleksandria. Iman Nicea dibelanya dengan
begitu gigih sehingga kaum Arian berbuat apa saja untuk mengesampingkan
Athanasius, antara lain meminta bantuan kepada kuasa sipil dan kepada kuasa
gerejawi yang korup: sampai lima kali Athanasius diturunkan dari takhta
keuskupannya dan lebih dari 17 tahun lamanya ia berada dalam pembuangan. Semua
penderitaan itu tak dapat mematikan semangatnya dalam memperjuangkan kebenaran.
Kendati permusuhannya yang tak tahu kompromi terhadap ajaran yang sesat, ia
bersikap toleran dan moderat terhadap orang-orang yang disesatkan karena salah
paham. Banyak uskup Timur menolak paham homo-ousios
karena salah pengertian, dan Athanasius memperlihatkan simpati dan kesabaran
yang besar dalam memenangkan mereka kembali bagi kebenaran. Gereja Yunani
memberika gelar “Bapak Ortodoksi” kepadanya, dan Gereja Roma memperhitungkannya
di antara keempat Bapa Gereja Timur yang besar. (N. Dister, Op. Cit, hlm 146).
[113] Groenen, Op. Cit, hlm. 135-139
[114] N. Dister, Op. Cit, hlm. 146-150; Bnd: Groenen, Op. Cit, hlm. 138-140; E. Kristiyanto, Gagasan
yang Menjadi Peristiwa, Sketsa Sejarah Gereja Abad I-XV, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 75
[115] Ivor.
Davidson, A Public Faith: From Constantine to the Medieval World AD 312-600
Volume Two The Baker History of the
Church, (Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 2005, hlm-65, diakses 09 Febuari 2010), diambil dari
http://knol.google.com/k/a-study-of-athanasius-on-the-incarnation-of-the-word-of-god; Internet
[116] Paul Enns mengemukakan bahwa
akibat dari kesatuan hypostasis dari
kedua natur (kodrat Ilahi dan insani) adalah Pribadi theantropi/Allah dan Manusia (P. Enss, THE MOODY HANDBOOK OF THEOLOGY,
Buku Pegangan Teologi I, (Malang:
Literatur SAAT, 2003), hlm. 27
[117] N. Dister, Op. Cit, hlm. 151-152; Bnd: K. Armstrong, SEJARAH
TUHAN, Kisah Pencarian Tuhan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Kristen,
dan Islam 1000 Tahun,
(Bandung: Mizon, 2002), hlm. 183-162
[118] Ibid
[119] Apollinaris lahir di Laodikaia
sekitar tahun 310. Karena bersama Athanasius memperjuangkan kredo Nicea dengan
gigih, ia diekskomunikasi oleh Gregorius, Uskup Laodikaia yang menganut
Arianisme. Kira-kira pada tahun 361 Apollinaris menjadi uskup komunitas Nicea
di Laodikaia sampai akhir hidupnya. Hieronimus merupakan salah satu muridnya di
Antiokhia pada tahun 374. Bahu membahu bersama Athanasius dan Basilius Agung ia
memerangi Arianisme, sampai ia sendiri akhirnya dihukum sebagai bidaah karena
berat sebelah dalam menekankan Ketuhanan Kristus sehinga mengabaikan
kemanusiannya Kristus (N. Dister, Op. Cit, hlm. 200)
[120] J. Millard-J.Erickson, TEOLOGI
KRISTEN Volume II, (Malang:
Gangung Mas, 2003), hlm. 360; Bnd: B. Milne, Op. Cit, hlm. 203
[121] Apollinaris mengikuti Plato, ia
menyatakan bahwa manusia terdiri dari tubuh (soma), jiwa (psykhe), dan
roh (nous). Yang kedua dari tiga
unsur ini, yaitu jiwa, diartikan sebagai jiwa irasional (psykhe alogike) ataupun animal (hewani) dan sebagai asas kehidupan,
sedangkan unsur ketiga, yaitu roh atau pikiran, sebagai jiwa rasional (psykhelogike) dan sebagai asas yang mengontrol
serta menentukan. Nah, menurut Apollinaris, dalam Kristus terdapat tubuh insani
dan jiwa irasional. Kedua unsur yang pertama tadi, tetapi bukan unsur ketiga,
yakni jiwa rasional atau insani. Unsur ketiga itu tempatnya diambil oleh logos Ilahi. Dengan kata lain, dalam
pandangan Apollinaris inkarnasi Sang logos
harus diartikan bukan secara luas, yakni sebagai penjelmaan Sabda menjadi
manusia, melainkan secara harfiah: logos
hanya mengambil daging saja, hanya suatu tubuh yang dijiwai oleh psykhe alogike saja. Akan tetapi, jiwa insani yang rasional itu tidak ada pada
Yesus. Jadi jiwa rasional atau roh itu diganti oleh Sabda Allah. maka, tentang
Yesus Kristus tak dapat dikatakan bahwa Ia melakukan kegiatan intelektual yang
manusiawi. (N. Dister, Op. Cit, hlm. 288)
[122] J. McGuckin, St Cyril of Alexandria and the Christological Controversy, (SVS, 2004 131, diakses 09 Febuari 2010), diambil
dari http://en.wikipedia.org/wiki/Apollinari
; Internet
[123] E. Kristiyanto, Op. Cit, hlm. 69-70; bnd: N. Dister, Op. Cit, hlm. 200-203; L. Urban, Op. Cit, hlm. 103-104
[124] Untuk syahadat Konsili
Kontantinopel, lihat lampiran (hlm. 119-120)
[125] Bnd: A. Heuken, Op. Cit, hlm. 10; L.Urban, Op. Cit, hlm. 104; N. Dister, Op. Cit, hlm. 153; Groenen, Op. Cit, hlm. 128-132; T. Lane Op. Cit., hlm. 32; dan Collins-Farrugia, Op. Cit, hlm. 152-164.
[126] Nestorius lahir sesudah tahun
381 di Syria dan belajar teologi di Perguruan Antiokhia. Barangkali berguru
pada Theodorus. Setelah masuk biara dan menjadi imam Gereja Antiokhia, ia mulai dikenal sebagai
pengkhotbah ulung. Kaisar Theodosius II mengangkatnya menjadi Batrik
Konstantinopel pada tahun 428. Dengan demikian, Nestorius itu orang Antiokhia
yang kedua (sesudah Santo Yohanes Krisostomus) yang menduduki tahta keuskupan
agung terpandang ini. Berbeda dengan Krisostomus yang menahan diri dari
mempromosikan teologi Antiokhia di mimbar Gereja, Nestorius justru mejadikan
Kristologinya pokok bahasan kesukaannya dalam khotbah-khotbahnya. Nestorius
mewartakan bahwa ada dua Pribadi terpisah dalam Kristus yang telah menjelma
(yakni Pribadi Ilahi, Sang logos,
yang berdiam di dalam pribadi insani, manusia Yesus), dan bahwa Santa Perawan
Maria tidak dapat disebut “Bunda Allah”. Timbullah perselisihan yang hebat
dengan Batrik Cyrillus dari Alexandria. Akitabnya, Nestorius diturunkan dari
takhta keuskupannya serta diekskomunikasi oleh Konsili Efesus pada tahun 431
yang dikumpulkan Kaisar Theodosius. Sri Kaisar menyuruhnya kembali ke biaranya
di Antiokhia, dan empat tahun kemudian membuangnya ke Oasis di Mesir Atas.
Nestorius hidup lebih lama dari pada Theodosius (yang wafat pada tahun 450),
tetapi tidak diketahui kapan persis ia meninggal (N. Dister, Op. Cit, hlm. 209-210).
[127] Bnd: N. Dister, Op. Cit, hlm. 209-213; L. Urban, Op. Cit, hlm. 105-107; Gronen, Op. Cit, hlm. 146-151; E. Kristiyanto, Op. Cit, hlm. 82
[128] J. McGuckin, St Cyril of Alexandria and the Christological Controversy, (SVS, 2004, hlm.
135, diakses 09 Febuari 2010), diambil dari http://energeticprocession.wordpress.com/some-notes-on-the-christology-of-nestorius/
; Internet
[129] Bnd: N. Dister, Op. Cit, hlm. 209-213; L. Urban, Op. Cit, hlm. 105-107; Gronen, Op. Cit, hlm. 146-151
[130] Sehingga
dianggap Nestorius mengemukakan bahwa pada Yesus terdapat dua pribadi yang
berbeda (nestorianisme) pada hal bukanlah demikian, ini hanyalah perbedaan
interpretasi terhadap suatu istilah. Sehingga dari hal ini harus dibedahkan
pemikiran sendiri dari Nestorius dan nestorianisme
[131] Pada tahun 412 Cyrillus dipilih
dan diangkat menjadi uskup Alexandria, menggantikan Batrik Theophilus,
pamannya. Cyrillus telah lahir di metropolitan
city Mesir itu dan mendapat pendidikannya di pusat studi yang tersohor itu;
perguruan Aleksandria. Sebagai Batrik Alexandria, Cyrillus seorang tokoh
kontroversial. Rupanya ia mewarisi berbagai prasangka dari pamannya. Cukup lama
hubungannya dengan Santo Yohanes Khrisostomus terganggu. Sama seperti sang
paman, dalam menghadapai para lawannya, kegiatannya boleh dikatakan tak kenal
kasihan. Setelah Nestorius pada tahun 428 menjadi uskup Kebatrikan
Konstantinopel, Cyrillus dalam surat Paskahnya pada musim semi tahun 429 dan
kemudian dalam surat edaran kepada para rahib di Mesir langsung membantah
pandangan teologis Nestorius yang dilontarkan oleh yang terakhir ini dalam
khotbah-khotbahnya. Dengan demikian, antagonisme tersembunyi yang selama dua
generasi sudah terdapat dalam masalah Kristologis antara kedua pusat tersohor
di Gereja Timur, sekarang menjadi konflik publik, bukan hanya antara para wakil
dari kedua mazhab, melainkan juga antara Aleksandria dan Konstantinopel.
Sejarah permusuhan timbal balik yang panjang antara kedua takhta itu
menambahkan faktor politik kepada kontroversi teologis, sehingga kontroversi
itu juga diwarnai perkelahian pribadi (N. Dister Op. Cit, hlm. 213).
[132] N. Dister, Op. Cit, hlm. 213-214
[133] Wellem, Op. Cit, hlm. 88
[134] Ibid, hlm. 21-216
[135] J. McGuckin, Op. Cit, hlm. 132
[136] Groenen, Op. Cit, hlm. 152-153
[137] Bidaah ini memisahkan diri dari
patriarkat Konstantinopel, mesti tidak dengan jelas membela bentuk
monofisitisme dalam arti sepenuhnya, yaitu yang menyatakan peristiwa penjelmaan
berarti peleburan kodrat keilahian dan kemanusiaan Kristus menjadi “kodrat” seperti
titik air ke dalam laut. Monofitisme menerima bahwa Yesus Kristus manusia,
tetapi mereka begitu menekankan keilahianNya sehingga kemanusianNya tidak
berarti apa-apa. Paling tidak secara praktis kemanusiaan itu diserap oleh
keilahian, kalaupun secara formal mereka mengakui Yesus Kristus sepenuhnya
manusia. Yang termasuk penganut bidaah ini antara lain Timotius Aerulus yang
menjadi Patriark Monofisit di Alexandria; Petrus yang menjadi Patriark
Antiokhia. Akhirnya, Gereja-gereja monofisit diorganisasi oleh Sevetus dari
Antiokhia yang diturunkan dari jabatan sebagai Patriark Antiokhia pada tahun
518. Gereja-gereja monofisit ini sekarang pada umumnya disebut Ortodoks Oriental (E. Kristiyanto, Op. Cit, hlm. 70-71; bnd N. Dister, Op. Cit.
hlm. 218-221).
[138] N. Dister, Op. Cit, hlm. 218
[140]
N. Dister, Op. Cit hlm. 218;
bnd: E. Kristiyanto, Op. Cit, hlm. 85-86
[141] T.
Jacobs, IMANUEL, Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus
Kristus, (Yogyakarta: Kanisius,
2000), hlm. 225
[142] Ibid, hlm. 218-219
[143] A. van de Beek, KRISTUS Pusat Kehidupan Kita, (Jakarta: BPK GM, 2003), hlm. 55. Bnd:
E. Kristiyanto, Op.Cit, hlm. 87-90
[144] Millard-Erickson, Op.Cit, hlm. 379; Bnd: B. Milne, Op.Cit, hlm. 203
[145] Ibid, hlm. 221;
[146] N. Dister, Op. Cit, hlm. 221-222
[147] A.
Norris, Jr, “Letter to Flavian of Constantinople.” The Christological Controversy, (Philadelphia:
Fortress Press, 1980), hlm. 150
[148] Untuk melihat penekanan risalah
Paus Leo, lihat lampiran (hlm. 120-121)
[149] N. Dister, Op. Cit, hlm. 222; E.
Kristiyanto, Op. Cit, hlm. 90-92
[151] Ibid
[153] Untuk Syahadat Konsili
Chalcedon, lihat lampiran (hlm. 121-122)
[154] W. Elwel, Op. Cit, hlm. 225; bnd:
Groenen, Op. Cit, hlm. 165; T.
Lane, Op. Cit, hlm 51;
Collins-Farrugia, Op. Cit, hlm. 152-164
[155] N. Dister, Op. Cit, hlm. 225
[156] PGI, Dokumen keesaaan gereja
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (DKG-PGI): Keputusan Sidang Raya XVI
PGI, Wisma Kinasih, 29 November-5 Desember 2004, (Jakarta: BPK GM,
2007), hlm, 34-35
[157] Ibid, hlm. 39.
[158] Ibid
[159] Ibid, hlm. 72
[161] Ibid
[162] Ibid, hlm. 73
[163] Ibid, hlm. 76
[164] Ibid, hlm. 78
[165] Ibid, hlm. 86
[166]
Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein.
Istilah ini diambil dari tradisi Yunani. Dalam mitologi Yunani, ada yang
namanya dewa Hermes. Dewa Hermes adalah dewa yang bertugas untuk menyampaikan
pesan dewa misalnya Zeus kepada manusia. Para dewa memiliki bahasanya sendiri
yang berbeda dengan bahasa manusia. Sehingga Hermeslah yang mengerti akan
bahasa dewa menyampaikan pesan kepada manusia dengan menggunakan bahasa
manusia, sehingga manusia bisa mengerti akan pesan yang dimaksud.
[167] Bnd: E. Sumaryono, Hermeneutik, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm.
23-34; H. Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran, (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1993), hlm. 133-249; A.
Sutompul, Metode Penafsiran Alkitab,
(Jakata: BPK GM, 1997), hlm. 314-316; G. Fee-D. Stuart, Bagaimana Menafsirkan Firman Allah dengan
Tepat, (Malang: Gandum Mas,
1989), hlm. 11-13; J. Haye-C. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab, (Jakarta: BPK GM, 1996, hlm. 37-160)
[168] Kitab
Yesaya, terbagi atas tiga bagian, yaitu pasal 1-39 (Yesaya I; nubuat Nabi
Yesaya sendiri), pasal 40-55 (Yesaya II/Deutero Yesaya), pasal 56-66 (Yesaya
III/Trito Yesaya). Pasal 55-66 disebut Trito-Yesaya, seolah-olah pasal-pasal
ini berasal dari satu nabi saja, tetapi itu tidak benar. Dan isinya ternyata
ada banyak perbedaan di dalam ide-ide yang ditemukan di sini; rupa-rupanya
pasal ini berasal dari penulis-penulis yang berbeda. Dari isi Trito-Yesaya dapat disimpulkan mengenai
keadaan historis: rupa-rupanya bangsa Israel sudah hidup kembali di Palestina
dan Yerusalem sudah dibangun lagi. Pokok inti nubuat ini bukanlah kelepasan
dari Babylon, tetapi keadaan yang kurang baik sesudah pada masa pembuangan di
Babylon, kesusahan para pemimpin bangsa itu (pasal 56:9, dst), sinkretisme
(pasal 57:3, dst), alasan-alasan terhadap pembangunan Bait Allah (pasal 66:3, dst),
alasan-alasan terhadap pembangunan Bait Allah (pasal 66:1, dst). Kepercayaan
yang optimis seperti yang terdapat dalam deutero Yesaya tidak ditemukan dalam
Trito-Yesaya (J. Bloomendaal, Pengantar kepada Perjanjian Lama, 1979), hlm. 115-116).
[169] S. Widyapranawa, Tafsiran
Jesaya 1-12, (Jakarta: BPK
GM, 1973), hlm. 12
[170] M. Barth, Tafsiran Alkitab Kitab Yesaya
Pasal 55-66, (Jakarta: BPK
GM,2003), hlm. 3
[171] Lihat lampiran (hlm. 122-124)
[172] G. Knight, ISAIAH 55-66. The New Israel, (Edinburg: The Handsel Press LTD),
1985, hlm 75-76
[173] Ibid
[174] M. Barth, Op. Cit, hlm. 79
[175] http//:gpdworld.us/content/pdstudi-tatabeket/keselamatan
[176] Kitab Daniel ditulis pada tahun 164 sM, pada masa puncak
perjuangan Makkabeus. Kitab Daniel pasal 11 menguraikan sejarah penguasa Seleuka
sampai pada zaman Antiokhus IV. Kitab Daniel
bukanlah utamanya kita sejarah, melainkan tergolong dalam tulisan-tulisan
apokaliptis. Tulisan-tulisan apokaliptis adalah tulisan-tulisan tentang
penyataan ilahi kepada para bijak masa lampau, seperti Henokh, Abraham dan
Daniel. Para bijak itu danggap menerima penyataan ilahi, yang kemudian ditulis
di dalam tulisan-tulisan yang berisfat rahasia. Kitab Daniel sebenarnya adalah
tulisan rahasia milik sekelompok kecil orang Yahudi. Nama Daniel dipakai di situ
karena penulisnya hendak mengatakan, bahwa tulisannya itu adalah tulisan
apokaliptis yang sudah sejak dari zaman Daniel dahulu.
Berita yang hendak
disampaikan oleh para penulis apokaliptis itu ialah, bahwa meskipun keadaan
zaman ini penuh dengan kekacauan dan kesulitan, orang harus tetap setia, karena
kehendak Allah tentu akan segera dan tetap menang. Dengan demikian bahwa dapat
dilihat bahwa penulis kitab Daniel hendak menyampaikan berita itu kepada
orang-orang beriman zaman Makkabeus. (W.Wahono,
Op.
Cit, hlm. 275-276. Bnd: L.
Newell, SERI TAFSIRAN ALKITAB Kitab
Daniel, (Malang: Seminari
Alkitab Asia Tenggara), 1996, hlm. 2-41; S. Siahaan, et. all, KITAB
DANIEL Latar Belakang,Tafsiran dan Pesan, (Jakarta, BPK GM, 1994, hlm. 21-41); J. Collins, Daniel,
(Yogyakarta, Kanisius, 1998), hlm 11-18
[177] Lihat Lampiran (hlm. 124)
[178] S. Siahaan, et. all, Op. Cit, hlm. 166-167
[179] J. Collins, Op. Cit, hlm. 70-71
[180] J. Douglas, Ensiklopedi ALkitab Masa Kini
Jilid II M-Z, (Jakarta:
YKBK/OMF, 2007), hlm. 627
[181]
L. Newell, Op. Cit, hlm. 272-273
[182] Penulis
kitab Maleakhi tidak diketahui secara pasti. Namun dari isinya jelas bahwa
kitab ini ditulis pada masa sesudah pembuangan di Babel. Isinya sangat
menekankan ibadah dan memprotes kesalahan-kesalahan yang berkaitan dengan ibadah
itu (kesalahan korban, kealpaan para imam, dll 1:6-2:9; 3:7-12). Pasal 3:1 dan
4:5-6 dikutip oleh penulis injil Lukas (Luk 1:17) sebagai nubuat akan
kedatangan Yohanes Pembabtis. Meskipun kitab ini adalah kitab terakhir dalam
urutan PL yang dimiliki (LAI), kitab ini bukanlah kitab yang ditulis paling
akhir. Masa sesudah pembuangan itu berlangsung lama, dan selama itu cukup
banyak kitab yang ditulis sesudah kitab Maleakhi (W. Wahono, Op. Cit
hlm. 266. Bnd: A.Hill-J.Walton, Survei PL, (Malang: Gandum Mas, 1996), hlm. 702-703; W. S Lasor, et.
all, Pengantar PL 2 Sastra dan Nubuat, (Jakarta: BPK GM, 1994); Bloomendaal, hlm. 143-144).
[183] R. Paterson, Tafsiran
Alkitab Kitab Nabi Maleakhi, (Jakarta: BPK GM, 1985), hlm. 43
[185]http://dedewijaya.blog.friendster.com/2006/04/siapakah-yang-dimaksud-dengan-”malaikat-tuhan”-atau-”malaikat-allah”-atau-”malaikat-perjanjian”-maleakhi-32-dalam-perjanjian-lama/
[187] Lih: Frans Donald, Op.
Cit, Kasus Besar yang Keliru: ternyata
Yesus Malaikat, hlm. 110-111
[188] Lihat lampiran (hlm. 125)
[190] Lihat lampiran (hlm. 125-127)
[191]
Puisi terdiri dari baris-baris (nama lain untuk baris ialah larik, kolon
atau stikhus). Setiap ayat puisi Ibrani pada umumnya terdiri dari dua baris
atau bikolase tetapi kadang-kadang juga tiga baris atau trikolase. Apabilah
dalam satu ayat ada empat baris, maka itu menunjukkan trikolase, serta baris
terakhir membentuk biloklase dengan baris pertama dari ayat yang berikut. Dalam
Alkitab baris kedua dicetak sedikit ke dalam, sedang apabilah ada trikolase
baris ketiga dicetak sejajar dengan baris kedua. (M. Bartha-B. Pareira, Tafsiran
Alkitab KITAB MAZMUR1-72, Pembimbing dan Tafsirannya, (Jakarta: BPK GM, 1997), hlm. 42
[192] Dalam puisi
Ibrani ada yang dimaksud dengan irama. Irama ialah kesejajaran atau perimbangan
gagasan atau pikiran antar baris. Istilah yang lebih
terkenal ialah pararellisme atau paralisme memborum. Pararellisme ini termasuk
ciri khas bukan saja dari pusi Ibrani, tetapi pusi Semit pada umumnya.
Pararellisme ini tampat dalam empat macam bentuk:
1. Pararellisme
yang sinonim (serarti), artinya gagasan dalam baris pertama diperdalam dalam
baris kedua, contoh: Mzm 2:3, 114:4
2. Pararellisme
yang antitesis, artinya baris kedua menegaskan gagasan dari baris pertama dari
sudut yang berlawanan, contoh: Mzm 20:9, 37:22
3. Pararellisme
yang sintesis, artinya baris kedua melanjutkan atau melengkapi gagasan dalam
baris pertama, contoh: Mzm 2:6,
4.
Pararellisme perbandingan, artinya baris yang satu memperjelas
gagasan dalam baris yang lain melalui suatu perbandingan, contoh: Mzm 4:2 (M. Barth-B. Pareira, Op. Cit, hlm. 42-43. Bnd: Lassor, et.
all, Op. Cit, hlm. 26-31;
hlm. 26-31; A. Hill-J. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandung
Mas, 1996), hlm. 407-408).
[193] W. Barclay, Pemahaman Alkitab setiap Hari,
IBRANI, (BPK GM Jakarta,
1981), hlm. 22-27; Bnd: Brill, W, Tafsiran surat Ibrani, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1993),
hlm. 22-36; Lembaga Biblika Indonesia, Surat-surat
Ibrani, (Kanisius:
Yogyakarta, 1985), hlm. 20-34; Peter Wonso, Eksposisi Doktrin Alkitab Surat
Ibrani, (Malang: Seminari
Alkitab Asia Tenggara (SAAT)), 1997, hlm. 90-95, 109-113
[194]
W. Barclay, Ibid
[195] Ibid
[196] Ibid
[197] Ibid
[198] Ibid
[200] Peter Wongso, Op. Cit, hlm. 112. Bnd: W. Nicoll (ed), The
Expositori’s Greek Testament, (New
York and London Press, 1978), hlm. 256; G. Kittel (ed), Theological Dictionary of The New
Testament Vol II, (Michigan:
William B. Eerdmans Publishing Company, 1964), hlm. 830-832; H. Balz-G.
Schneide (ed), EXEGETICAL DICTIONARY OF THE NEW TESTAMENT VOLUME II, (Michigan: William B. Eerdmans Publishing
Company, 1991), hlm. 420
[201] P. Wongso, Ibid, hlm. 110
[202] Ibid
[203] Kitab
Wahyu adalah kitab yang paling penuh teka-teki dari semua tulisan dalam PB.
Kitab ini ditulis oleh seseorang yang disebut Yohanes, di pulau Patmos,
kira-kira pada zaman pemerintahan Domitianus. Kitab wahyu adalah tulisan atau
sastra apokaliptis Kristen. Kitab ini muncul dari pengalaman penderitaan yang
berkesinambungan dari persekutuan Kristen pada zaman kekaisaran Romawi. Dalam
penderitaan seperti itu muncullah perngharapan yang kuat. Dan kitab Wahyu
ditulis untuk menopang dan memperkuat orang-orang Kristen yang mengalami
penyiksaan dan penderitaan itu. Berita yang disampaikannya bersifat simbolis,
angka-angka, pedang, trompet, sangkakala, materai, mahkota, jubah putih, jumlah
hari 7, 12 dan 1260, jumlah bulan, angka 666 dsb. Semua simbol itu ternyata
sangat menarik perhatian orang Kristen sepanjang abad dan segala tempat (W.
Wahono, Op. Cit, hlm. 471).
[204] Bnd: D. Hagelberg, Tafsiran
kitab Wahyu; DARI BAHASA YUNANI, (Yogya:
Yayasan Andi, 2005), hlm. 182-192); Y. Bambang Mulyono, Teologi Ketabahan; Ulasan atas
Kitab Wahyu Yohanes, (Jakarta: BPK GM, 1993), hlm. 95-114; Drs. J.de
Heer, Tafsiran Alkitab WAHYU YOHANES II, (Jakarta: BPK GM, 1978), hlm. 15-25; A. Pos, Tafsiran WAHYU, (Jakarta: BPK GM, 1966), hlm. 113-118
[205]
“Naga
dilemparkan ke bawah” (Wahyu 12:9).
Kata “dilemparkan” diterjemahkan dari
bahasa Yunani, yaitu eblhqh. eblhqh
adalah kata kerja aorist pasif indikatif
orang ke III singular dari kata ballw (melemparkan), artinya “dia
telah dilemparkan”. Dalam konteks ayat ini, dalam peperangan dengan Mikhael dan
malaikatnya “iblis telah dilemparkan ke bawah”.
“Yesus memusnahkan
Iblis” (Ibrani 2:14). Kata “memusnahkan” diterjemahkan dari bahasa Yunani,
yaitu katargesh. katargesh
adalah kata kerja aorist aktf subjuntif
orang ke III singular, dari kata katargew (memusnahkan), artinya Dia
telah memusnahkan. Dalam konteks ayat ini, “oleh kematian Yesus, Ia memusnahkan
iblis”.
[206] Pada awal pertumbuhan orang Kristen dianiaya oleh penguasa
Roma dan disuruh untuk menyangkal Yesus dan menyembah Kaisar. Tapi sejarah
mencatat banyak orang yang relah mati agar tidak menyangkal Yesus Kristus dan
menyembah Kaisar. Karena umat meyakini bahwa hanyalah Yesus Kristus
satu-satunya Kyrios yang patut
disembahh. Ada banyak kyrios lain
seperti Kaisar. Tapi kyrios-kyrios itu
bukanlah Allah, Tuhan. Hanya Yesuslah yang patut disebut sebagai Allah, Tuhan
satu-satunya yang berkuasa atas seluruh ciptaan-Nya, yang memiliki seluruh
ciptan-Nya, sehingga ciptan-Nya harus tunduk dalam kuasanya, menyembahnya
sebagai satu-satunya Tuhan, Allah yang berkuasa (Lihat lampiran hlm. 128-130).
Kata Kyrios memiliki padanan yang sama dengan
kata Yahweh, Adonai (Ibrani), Mara (Aram). Dalam tradisi Yahudi nama
Allahnya Israel dikenal sebagai YHWH.
Kemudian juga disebut Yahweh. Yahweh ini adalah nama yang sakral bagi
orang Yahudi. Nama diri Allah Israel ini tidak boleh diucapkan dengan
sembarangan sehingga kata ini diterjemahkan dengan kata adonai. Dengan demikian umat Israel terhindar dari penyebutan nama Yahweh sehingga bisa menjaga ke-sakralan-nya
(bnd hukum ke-3 dari hukum taurat). Kata
ini diambil dari tradisi Yahudi yang erat kaitannya dengan kebudayaan waktu
itu. Adonai dapat diartikan dengan
kata “Tuan”dalam bahasa Indonesia. Kata “Tuan” atau adonai ini adalah sebutan kepada suatu penguasa terhada segala
miliknya. Kata ini diambil dalam tradisi pertanian Israel. Seorang Tuan adalah
serorang yang paling berkuasa atas segala miliknya. Dan oleh karena itu segala
miliknya itu harus tunduk, menyembah, dan mengakui dari kekuasaan Tuan itu.
Kata YHWH disebut juga dengan Adonai adalah sebutan khusus untuk Allah
Israel yang berkuasa atas seluruh umatnya, yang patut disembahh oleh umatnya, YHWH/Adonai
adalah penguasa dari umat Israel, umat Israel adalah milik dari Yahweh/Adonai. Hanya YHWH/Adonai-lah yang satu-satunya patut
disembahh oleh umat Israel dan tidak ada yang lain. Kemudian, nama Yahweh juga menjadi diri dari Allah
Israel. Kata ini diterjemahkan dengan kata kyrios
dalam bahasa Yunani. (Bnd. Niftrik-Boland, Dogmatika
Masa Kini, (Jakarta: BPK GM,
2001), hlm. 212-225; Groenen, Op. Cit, hlm. 43-45,73; Y. Saruan, Iman
Kristen, (Tomohon: Lembaga Penerbit Diakonos, 2005), hlm.
3-39).
Untuk mengerti kata kyrios ini perlu dipahami dua hal yang
pertama pengertian secara harfiah dan secara teologis. Secara harfiah cocoklah adonai, Yahweh diterjmahkan dengan kata kyrios. Karena dalam budaya Yunani kyrios itu juga sebutan untuk oknum
penguasa tertentu baik dalam hubungan tuan dengan hambanya, sebutan untuk
Kaisar. Tapi kata ini akan sangat dalam jika dilihat dari arti teologisnya.
Kata kyrios adalah kata (yang dipakai
oleh penulis LXX ketika menyalin kitab PL dalam bahasa Ibrani ke bahasa Yunani)
yang dipakai untuk terjemahan kata adonai,
Yahweh. Seperti dijelaskan sebelumnya kata ini memiliki arti yang mendalam
bagi umat Israel. Kata ini adalah nama diri Allah sehingga tidak boleh disebut
sembarangan, Nama ini adalah menjurus pada sebutan Allah Israel untuk Allah
yang selalu menjaga, berkuasa atas hidup Israel dan yang patut disembahh
hanyalah YHWH saja. Ada banyak elohim, kyrios yang lain tapi hanya kyrios/YHWH adonai/Yahweh yang patut disembahh. Kyrios
memiliki arti teologis atau
memiliki substansi ilahi yang jelas dari tradisi Yahudi yang menujuk pada Allah
Israel yang patut disembahh, yang berkuasa penuh atas ciptaannya, oleh karena
itu ciptannya patut menyembahnya sebagai Allah yang satu-satunya. Dan gelar ini
dalam perjanjian baru dikenakkan pada Yesus Kristus.
[207] Lih: Frans Donald, Op. Cit,
ALLAH
DALAM ALKITAB & AL QUR’AN, hlm. xxv
[208] Frans Donald, Op. Cit, Kasus
Besar yang Keliru: Ternyata Yesus Malaikat, hlm. 49-50
[209] Istilah ini digunakan oleh Adji Sutama dalam menanggapi kerja
tafsir James Tabor (A. Sutama, Yesus Tidak Bangkit? Menyingkap Rekayasa
Yesus Historis dan Makam Talpiot,
(Jakarta: BPK GM, 2007), hlm. 8 dst.
[211] Hal ini memembutuhkan penelitian
yang lebih lanjut
[213] Ibid, hlm. 132
[214] Ibid, hlm. 131
[215] N. Dister Op. Cit, hlm. 153; Bnd: Groenen, Op.
Cit, hlm. 128-132.
[216] N. Dister, Op. Cit, hlm. 223
[217] Ibid, hlm. 226; bnd: Groenen, op.cit,
hlm. 166
[218] Alkitab Bahasa Ibrani terbita
LAI
[219] Terjemahan Baru
[220] Septuaginta adalah terjemahan Alkitab Perjanjian Lama ke bahasa
Yunan oleh 70 ahli kitab yang dilakukan
pada kr. abad II/III sM.
[221] Terjemahan Frans Donald
[222] Terjemahan Frans Donald
syalom... mau apakah setiap skripsi harus pake angket?
BalasHapus